Pendulum Arus Baru Islam Indonesia Pasca 212

Tangkapan drone Reuni Akbar 212. Youtube/FrontTV
Penulis: Muhammad Said

Sejak 2014 umat Islam Indonesia terbelah menjadi dua kubu;pendukung Jokowi dan Pendukung Prabowo. Jokowi didukung oleh kalangan mayoritas Islam tradisional, sedangkan Prabowo didukung oleh sebagian besar kalangan Islam modernis, dan kelompok Islam baru yang tumbuh-berkecambah pasca runtuhnya Orde Baru. 

Kondisi keterbelahan ini kemudian semakin diperkuat oleh momentum pemilihan gubernur DKI Jakarta 2016: Basuki Cahaya Purnama (Ahok) versus Anies Baswedan. 


Dua sosok tersebut sebetulnya sama-sama berasal dari kalangan minoritas secara etnis, yakni Cina dan Arab. Namun, status minoritas keduanya mendapat perlakuan yang berbeda, sebab Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam.

Situasi inilah yang kemudian menyebabkan Ahok secara teologis tidak bisa diterima menjadi pemimpin Jakarta oleh sebagian kelompok Islam. Ahok kemudian didakwa menista Islam terkait pernyatannya di Pulau Seribu yang diviralkan.

Peristiwa ini lalu melahirkan gempa politik.Sehingganarasi-narasi pekik perang dan anti terhadap kelompok yang berbeda semakin menyesaki ruang publik. Rangkaian peristiwakolosal soal “bela-belaan” yang berjilid-jilid itu juga menyebabkan likuifaksi nalar. Sehingga percakapan-percakapan perihalkebangsaan dan keindonesiaan didominasi oleh sikap saling rundung dan penuh kebencian.

Tentu saja pergolakan dan polarisasi ini dimungkinkan terjadi karena menguatnya cara pandang “kita” versus “mereka.”

Secara historis, apa yang disebut “mereka” dalam lintasan sejarah politik Indonesia bersifat situasional. Pada tahun 1920-an, misalnya, “mereka” merujuk kepada Belanda (Londo), di tahun 1930-an,1940-a hingga 50-an “mereka” itu merujuk kepada PKI (Partai komunis Indonesia), kemudian pasca tahun 1960-an “mereka”masih merujuk ke keturunan PKI, dan juga “Cina”.

Rasialisme terhadap Cina bahkan berlanjut hingga tahun1998.

Lalu sekarang, dalam situasi politik Indonesia terkini, siapakah “mereka” itu? tentu saja “pemerintah” dalam perspektif massa Islam 212. Sebab mereka berkeyakinan bahwa rezim saat ini anti-Islam dan gemar mengkriminalisasi ulama.

Baca juga:  Jika Cebong dan Kampret Dipakai Untuk Para Pendukung Capres, Lalu Sebutan Apa Untuk Menggantikannya

Lalu apa sesungguhnya yang menjadi dasar kegairahan kelompok Islam pasca 212?

Pertama, tidak bisa dipungkiri, faktor utamanya adalah pertarungan politik dua kubu besar sejak 2014 antara kubu Jokowi (sekarang petahana) versus Prabowo (opoisisi). 


Tidak hadirnya poros ketiga dalam pilpres 2014 juga telah turut membentuk iklim fanatisme politik yang begitu akut di tengah masyarakat.

Kedua, infiltirasi media sosial dalam lanskap dakwah Islam. Hal ini dapat ditengok dari kebangkitan trend dakwah virtual seturut dengan tumbuhnya arus baru spirit keagamaan masyarakat perkotaan (urban).

Tak dapat disangkal, bahwa kehadiran otoritas baru yang populer melalui aktivitas ceramah virtual memberi dampak signifikan dalam menciptakan arus baru keislaman di Indonesia. Masifnya trend hijrah di kalangan artis, misalnya, menjadi bukti sahih kuatnya pengaruh para penceramah virtual.

Artis-artis hijrah ini kemudian menggandeng para penceramah virtual mengadakan gelaran festival keagamaan semacam halal fest


Event semacam ini agaknya menjadi lokus penempaan spritualitas keislaman alternatif bagi kalangan muslim perkotaan yang tak memiliki basis keislaman tradisional (baca:pesantren), dan boleh jadi hal ini memengaruhi generasi muslim milenial yang sedang bertumbuh dalam kepungan budaya modern dan fase digital age.

Dari sini, meskipun agak prematur dan sedikit terburu-buru, kita bisa membangun satu tesis bahwa pendulum keislaman generasi milenial tampaknya mulai bergerak ke arah keislaman yang festifalistis dan populer.

Jika meminjam perspektif Ariel Heryanto, ekspresi keagamaan semacam itu dapat disebut jenis “ketakwaan post-Islamisme”, dalam artian, seseorang merasa bisa menjadi muslim yang saleh sekaligus menikmati produk modernitas; melalui event keagamaan yang mewah-meriah dan fashionable.

Baca juga:  Cerita tentang Sandal Pesantren; dari yang Keramat sampai Kasmaran

Gejala ini lalu tidak hanya stagnan di wilayah perkotaan, bahkan mulai merambah ke pedesaan-pedesaan yang merupakan basis Islam tradisional.

Sekali lagi, kecanggihan media komunikasi telpon pintar telah mempercepat proses-proses perubahan itu. Otoritas-otoritas keagamaan tradisional di tingkat lokal-pedesaan mulai tersaingi oleh viralitas konten-konten keagamaan yang diproduksi via media sosial.

Kondisi ini, mau tidak mau, memaksa kalangan Islam tradisional merespon, yakni dengan ikut masuk dalam pasar bebas virtual untuk menyuguhkan konten-konten Islam tradisional melalui web, video ceramah, dan gerakan jihad medsos para santri.

Dengan demikian, gelombang pertarungan ideologi keislaman tumpah ruah di jagad virtual. Gejala ini boleh dikatakan suatu bentuk mobilitas arus literasi keislaman tradisional menuju literasi keislaman digital.

Seperti kita bincangkan di awal, bahwa arus baru keislaman ini muncul dari multi faktor, salah satunya adalah politik. Maka gelombang gerakan ini juga rentan dikapitalisasi dan terjebak pada kepentingan politik tertentu (in political trap).

Seperti yang kita saksikan dalam Reuni 212-2018 yang bertajuk “Dengan Tauhid Kita Menuju Kejayaan NKRI”. Meskipun gerakan ini tidak sudi disebut gerakan politik, namun tak bisa dibantah bahwa aktor-aktor utama dalam acara ini adalah tokoh-tokoh pengusung tagar #2019gantiPresiden dan tim kampanye nasional Prabowo.

Kelompok 212 ini sering merasa ditindas oleh rezim Jokowi. Lalu mereka membangun narasi kerinduan terhadap zaman Soeharto yang, dianggap mampu menghadirkan keamanan, dan berpihak pada umat Islam.

Anggapan semacam itu tentu cacat dan tuna sejarah. Cacatan Sidney Jones di dalam Majalah Prisma no. 09 september 1982, misalnya, menjelaskan bahwa sejak kebijakan fusi partai pada tahun 1973, hanya ada PPP sebagai kanal aspirasi politik umat Islam. 


PPP benar-benar menjadi partai politik yang dikebiri oleh Orde Baru. PPP menguasai kurang dari sepertiga kursi di parlemen. Selebihnya, kursi menjadi milik mutlak Golkar.

Baca juga:  Syndrome Media Sosial; Silatur-rahim yang berujung Silatul-misuh

Selain itu, hampir tidak ada perwakilan kepentigan Islam dalam birokrasi Orde Baru. Kecualidi Departemen Agama. Namun demikian, atas kehendak Soeharto departemen Agama pun dimpimpin oleh menteri-militer, yakni Letnan Jenderal Alamsjah.


Tentu saja hal ini dilakukan sebagai langkah taktis Soeharto untuk mengontrol agenda-agenda PPP selaku kanal aspirasi politik umat Islam yang harus diwaspadai.

Barangkali, hidup memang sekadar pengulangan sejarah, bahwa sebelum aksi gerakan 212 yang sedang ngepop hari-hari ini dan merasa paling mewakili Islam. Dahulu di tahun 1977 para kiai dari kalangan PPP dan segenap Islam tradisional pernah memobilisasi massa untukdemonstrasi besar-besaran menentang rezim Orde Baru.

Mereka mengkritik ketimpangan ekonomi, hutang luar negeri, teror pada umat Islam, juga soal Pancasila yang dipakai sebagai alat politik Orde Baru melalui program P4. 


Lalu apa yang terjadi? Paramiliter angakatan muda Siliwangi mengobrak-abrik rumah para elit PPP dan para Kiai.

Di tahun-tahun itu (1977) kekerasan dan penangkapan terhadap tokoh Islam sering terjadi. Kepentingan politik umat Islam benar-benar dipatahkan.


Dengan demikian, menjadi paradoks, ketika banyak orang hari-hari ini tiba-tiba rindu ingin kembali ke zaman Suharto dan seperangkat Orde Barunya. 


Rindu itu berat jenderal!!!

Muhammad Said
Presiden Angkringan, Kandidat doktor UIN Sunan Kalijaga
Komentar Facebook
0