Kemerdekaan Akal Budi

Jokowi sebagai Firaun, Luhut sebagai Haman, dan Anthoni Salim sebagai Qorun. Pernyataan Cak Nun ini bisa benar ketika dimaknai sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah Kabinet Maju dalam konteks: yang dikritik adalah Jokowi sebagai kepala negara bukan kepala rumah tangga. Demikian respon Rocky Gerung saat dilaporkan karena sebut Jokowi “bajingan tolol”. Fakta narasi tersebut mendesak kita kembali pulang pada hakikat makna ‘merdeka dari’ dan ‘merdeka untuk’.

Kata ‘merdeka’ berasal dari bahasa Sanskerta ‘mahardhika’, yang berarti: luar biasa, khusus, sempurna, bijaksana, berbudi, dan orang suci. Luar biasa dapat merujuk pada filosofi hidup yang mengajarkan tentang arti hayat yang sebenarnya, seperti hidup untuk saling memberi, saling menolong, dan saling membantu sesama tanpa ada rasa pamrih. Kesempurnaan dalam kehidupan sehari-hari dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap hari, melalui perbaikan dalam hal-hal kecil dan terus berkembang.

Berbudi merupakan sikap dan perilaku yang baik dalam kehidupan, baik dalam pergaulan, pekerjaan, maupun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Orang suci bisa dimaknai sebagai sosok mulia yang menjadi teladan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan kebajikan dan moralitas. Sebagai animal rationale, kita memiliki kekuatan berakal budi guna merealisasikan makna merdeka dari dan merdeka untuk. Dengan berpikir, kita berproses reflektif dari budi yang mengacu pada kejernihan, kebenaran, dan kebijaksanaan.

Merdeka Dari

Merdeka dari cara pandang yang ‘bajingan’ dapat diartikan sebagai keadaan seseorang tidak terpengaruh oleh pandangan yang keliru dalam memahami suatu hal. Ini meliputi kemampuan melihat sesuatu secara objektif, mempertimbangkan berbagai world view, dan menggunakan informasi yang akurat dan valid dalam membentuk pemahaman yang pas.

Baca juga:  Love Language, Trik Belajar buat Mahasiswa

Dalam konteks yang lebih luas, hal ini bisa berhubungan dengan prinsip-prinsip seperti kemerdekaan berpendapat yang didasarkan pada pondasi yang benar, kemampuan berpikir kritis untuk melihat dunia dengan objektivitas, atau bahkan kemampuan untuk mengatasi masalah hidup dengan pemahaman yang tepat. Bagaimana cara memastikan world view tidak melenceng?

Pertama, kita memastikan cara pandang yang tidak ambyar dengan menggunakan sumber informasi yang terpercaya. Ini mencakup sumber-sumber, seperti jurnal ilmiah, buku teks, atau situs web yang dikelola oleh organisasi atau institusi yang bereputasi baik. Di era post-truth, perbedaan antara kebenaran dan kepalsuan, serta kejujuran dan kebohongan, telah menjadi perhatian utama kehidupan publik. Ini adalah era di mana kebohongan dapat disamarkan sebagai kebenaran dengan memainkan emosi dan perasaan orang. Fakta objektif kurang penting dalam membentuk opini publik daripada emosi dan keyakinan pribadi. Kemerdekaan akal budi wajib diaktifkan agar tidak terbawa arus yang tengah mengalir deras.

Kedua, penting bagi kita mempertimbangkan pelbagai word view dalam membentuk pandangan tentang suatu hal. Ini membantu kita melihat masalah dari berbagai perspektif guna memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan akurat. Dalam membangun cara pandang, kita menggunakan akal budi dan bukti sahih. Ini dapat meyakinkan, bahwa pandangan kita didasarkan pada fakta dan bukan pada asumsi yang serong. Kita selamat dari keputusan yang berat sebelah. Problem kelar.

Ketiga, kita berakal sehat untuk mempertanyakan dan mengevaluasi informasi dengan kritis dan objektif. Dengan berpikir kritis, kita bisa menentukan sikap yang didasarkan pada rasionalitas yang berkualitas dan tidak terpengaruh oleh emosi atau bias. Kita mendayagunakan akal secara serius, karena inilah jati diri kita sebagai manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya. Akal sehat versus akal dungu.

Baca juga:  Love Language, Trik Belajar buat Mahasiswa

Keempat, stereotip dan prasangka dapat mempengaruhi pandangan kita tentang suatu hal dan menyebabkan kesimpulan yang amburadul. Oleh karena itu, kita menghindari stereotip dan prasangka yang besar kemungkinan meracuni rasionalitas. Stereotip bisa positif atau negatif dan seringnya didasarkan pada informasi terbatas. Kita perlu mempertimbangkan konteks dalam menetapkan world view yang bernas, yaitu didasarkan pada pemahaman komprehensif tentang situasi politik identitas menjelang pemilu 2024.

Merdeka Untuk

Kita merdeka untuk membaca apa saja guna memperoleh informasi dan pengetahuan baru mengenai berbagai topik, seperti ilmu pengetahuan, sejarah, teknologi, dan lain sebagainya. Dengan akal budi, kita merdeka untuk meningkatkan kemampuan literasi informasi dengan kemampuan mencari, mengevaluasi, dan menggunakannya secara efektif. Sebagai contoh, kebebasan pers memberikan keleluasaan media massa untuk menafsirkan sendiri apa yang pantas dan tidak pantas untuk dipublikasikan. Kita bisa meningkatkan kemerdekaan berekspresi sebagai buah akal sehat dalam bentuk buku, jurnal, website, majalah, youtube, dan lain-lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, kebebasan berekspresi telah diakui sebagai hak asasi manusia dalam Pasal 28 dan Pasal 28E Konstitusi.

Akal budi menuntun kemerdekaan kita untuk hidup berdampingan dengan rasa saling menghormati dan menghargai antara individu dan kelompok. Sikap saling menghormati setiap suku dan budaya berbeda di Indonesia. Kita sadar, bahwa hal tersebut adalah kekayaan nusantara. Melalui dialog yang terbuka dan pengalaman bersama, kita bisa memperdalam pemahaman tentang perbedaan suku dan budaya. Mengakui keunikan suku dan budaya akan menciptakan lingkungan yang inklusif dan harmonis. Upaya mempelajari dan memahami suku dan budaya lain dapat mengurangi prasangka dan stereotip yang mungkin menyengsarakan. Mengenali tradisi, bahasa, makanan, dan nilai-nilai budaya suku lain memperkaya sikap moderasi dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Baca juga:  Love Language, Trik Belajar buat Mahasiswa

Di Indonesia, terdapat ragam agama dan keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan gaib. Kemerdekaan dalam konteks spiritual dapat diartikan sebagai kebebasan untuk memilih agama atau keyakinan dan menjalankan ajaran agama juga keyakinannya. Akal sehat mengabarkan: kita merdeka untuk menyaksikan dan mengindahkan realitas tersebut guna mencapai kemerdekaan ritual dan kedamaian batin.

Kita merdeka untuk membangun networking dan collaboration. Akal budi mengajak kita jalin koneksi dengan orang-orang sekitar yang memiliki minat dan tujuan serupa. Kita berkolaborasi dengan orang lain dapat membantu kita untuk belajar dari pengalamannya dan mencapai target bersama. Dengan keterampilan komunikasi yang baik, kita bisa membangun hubungan yang sehat dan sukses dalam kehidupan pribadi dan profesional. Bahkan, hal ini meningkatkan kualitas diri dan kesempatan karir yang lebih menjanjikan.

Akal budi menjadi kekuatan kita sebagai manusia untuk berpikir secara rasional dan mempertimbangkan baik buruk dalam tindakan dan perilaku. Kita bisa merasa bebas dari dan untuk apa saja juga siapa saja, tapi ingat pesan Baruch Spinoza: kalau manusia memang terlahir bebas, mereka tidak akan membuat pembagian tentang baik dan buruk.

 

Maghfur M. Ramin, Dosen Filsafat IIQ An Nur Yogyakarta.

Komentar Facebook
0