Syndrome Media Sosial; Silatur-rahim yang berujung Silatul-misuh


Penulis: Wahyu Musthofa


Dewasa ini, kita telah memasuki era globalisasi yang dibarengi dengan perkembangan teknologi. Globalisasi sendiri ditandai dengan penyebar-luasan hasil kebudayaan dari masyarakat dengan pencapaian industri teknologi yang massif digalakkan di se antero dunia. Sebut saja salah satunya dengan terciptanya gadgetsmartphone yang merupakan produk negara maju, telah meluas sampai masyarakat dengan kebudayaan terprimitif sekalipun, pasti mengenalnya. Siapa yang tidak dimanjakan dengan fitur-fitur yang ada di dalamnya?

Fitur-fitur tersebut digandrungi oleh hampir semua kalangan, mulai dari generasi alpha para milenial,sampai para generasi X orang tua. Anda pasti mengenal beberapa orang tua di sekitar kita juga turut meramaikan jagad dunia media sosial; facebook-twitter-instagram menjadi idola semua kalangan. Efek candunya menimbulkan ketergantungan yang nyata. Setiap hari setelah bangun tidur, hal yang pertama dicari adalah: smartphone!

Benar atau tidak, Saudara?

Entah hanya sekedar cek WA, lihat berita kawan, atau yang sedikit bermutu adalah membaca opini beberapa influencer yang rajin update menanggapi banyak isu terkini.

Tak ayal para penulis esai dan opini tersebut membawa dampak terhadap perkembangan nalar berpikir para penggunanya, apalagi bila tanpa adanya filter, hampir semua kata-kata obrolan yang kita ucapkan dalam sesi coffe-time, selalu merujuk opini dan esai dari para influencer.

Dari kata yang tersusun rapi, dengan berbagai majaz metafora. Kita dibuai pada alam bawah sadar kita. Tergerak berpotensi mencintai dan peduli, sekaligus di saat yang sama membenci dan memaki. Padahal apakah kita mengenal baik siapa saja orang yang tengah diperbincangkan di jagad media sosial?

Baca juga:  PJ. Zoetmulder, Panteisme, dan Pendekatan terhadap Tasawuf

Seakan seseorang bisa menghakimi manusia lain tanpa secara langsung berinteraksi di dunia nyata. Bahkan yang namanya emosi kerap lebih banyak ditampilkan di media sosial, timbang di dunia nyata.


Di dunia nyata, kita mungkin akan sedikit membungkus dan meringkas emosi kita, kalau di dunia maya? Langsung gas pol, jempol bergerak dengan kecepatan 100 km (baca: kata per menit) Dan jangan lupa sandingkan google di belakang layar. Biar kritikan kita terlihat penuh wibawa.

Ya, kan?

Einstein (yang juga saya kutip dari google) berkata,

“Aku takut suatu hari teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi idiot”.

Ketergantungan penduduk era ini terhadap penggunaan trio media sosial facebook-twitter-instagram pada akhirnya menimbulkan gejala yang saya sebut dengan “syndrome mediasosial; dari silatur-rahim menuju silatul-misuh”.

Silat artinya menyambung, rahim artinya kasih. Awal mulanya berusaha menyambung-kasih mencoba mencari saudara. Tapi karena beda pandangan, seperti pilihan politik contohnya. Maka beralih menjadi silatul-misuh, silat artinya menyambung, misuh artinya umpatan. Menyambung umpatan sesama pengguna media sosial. Yes! Saya benar, kan?

Saya kutipkan dari google lagi, banyak dari parapengguna media sosial mengalami gejala kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition). Ketidak-sukaan terhadap opini medsos tidak berdasar argumen logis, namun sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). 


Sikap itu merupakan bias seseorang yang tak lagi melihat sebuah problem masalah secara jernih dan logis. Pendapat kita terfragmentasi tak utuh karena pra-pemahaman yang sudah membenci sebelum mengapresiasi.

Baca juga:  Kisah Menulis KH Bisri Mustofa dan Sejarah Pegon Jawa

Wuih… Keren kan bahasa saya?

Google kok dilawan…

Saya lanjutkan

“syndrome silatul-misuh” menyebabkan terputusnya 3 pilar dalam pengetahuan; Epistemologi, ontologi dan aksiologi. Episteme mengenai sumber pengetahuan, ontologi substansi pengetahuan, dan aksiologi mengenai fungsi dari pengetahuan. Apa ada yang berpendapat ‘sebuah misuh’ dan benci itu bisa menjadi sebuah aksiologi?

3 nalar berpengetahuan tersebut tak dapat ditemui dari para pengguna media sosial, simak saja diskusi yang hanya berkutat kepada hal-hal receh:

Berapa banyak follower?

Berapa banyak like?

Berapa banyak share?

Dampak dari “syndrome media silatul-misuh”. Telah menjalar luas hingga pada para civitas-akademika yang seharusnya memikul tanggung jawab sebagai kalangan yang menjaga kemurnian dan kejernihan ilmu pengetahuan. Sebuah komunitas masyarakatyang menjadi simbol atas norma-nilai pengetahuan yang selayaknya ada dan tak selayaknya ada.

Bukannya meluruskan, malah justru ikut meramaikan arus konyol media-sosial yang berkutat pada makan-minum, seks, tahta dan selebritas. Mereka kehilangan standar’objektif’ yang seidealnya selalu mereka emban dalam lingkup sehari-hari.

Alih-alih mereka berpikir secara kritis, radikal dan sistematis. eh malah kemudian terputus begitu saja kepada satu sumber yang di dapat dari sebuah opini di media sosial.

Ingatlah bahwa basis dasar pengetahuan itu ialah trial and eror. Bukan sebatas membudayakan pengetahuan dari akses terhadap media sosial. Apalagi hanya berdasar tolak ukur banyak-tidaknya like di postingan tersebut.

Dulu ada orang bernama Ibrahim Tan Malaka berkata “ selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali, kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi”.

Maka era sekarang berubah menjadi “selama kuota masih ada, selama itu juga media masih bisa diakses, kalau perlu perbanyak kuota unlimited agar selalu bisa update di media sosial dan makin eksis”.

Baca juga:  Eksistensi Pesantren di Era Milenial

Fungsi media-pun bergeser dari yang sekedar untuk sarana hiburan dan menjalin komunikasi secara virtual, berubah menjadi ajang selebritas eksistensi diri, sekaligus ebagai sumber informasi yang kredibel.

Apa yang menghiasi medsos adalah selbritas dan pop-culture.Sekedar mengikuti trend yang sedang hits, sekalipun tanpamemiliki sebuah esensi. Jangan harap ada kontribusi nyata yang dihasilkan oleh para aktivis media-sosial. Masih ingat populernya goyang keong-racun dan briptu Norman?Sekarang dimana ya kira-kira?

Membaca postingan di media sosialtidak akan menambah nalar kritis untuk menggali sumber informasi yang lebih konkrit dan komprehensif.

Nah, apabila para civitas-akademika kehilangan filter penyaring, padahal tuntutankebutuhan gizi pengetahuan selalu dibutuhkankarena arus informasi yang begitu cepatnya. Maka gelar S1-S2-doktor-profesor akan sangat kelihatan kerdil, ketika citra-dirinya

Wajar jika sekarang kita memiliki generasi muda yang memmpunyai karakteristik populis, konsumerisme, dan pragmatis. Karena sekarang semakin sedikit orang menacari sumber informasi dari referensi utama yakni membaca (buku) dan diskusi.Tidak heran apabila kemudian semakin sedekit genrasi muda yang mawas, dan bersikap kritis akan fenomena yang sedang berkembang di negaranya.

Maka jangan heran jika suatu kali anda membuka akun media sosial anda kemudian yang bermunculan ialah konten-konten yang bersifat memblei dan tidak penting. Karena konten-konten demikianlah yang lebih banyak di akses dan dikonsumsi oleh warga netijen yang maha benar dan bijaksana.

Komentar Facebook
0