Imajinasi Kesalehan Hidup Konsumen Produk Halal


Penulis: Mujib Romadlon

Beberapa tahun terakhir ini kita mendapati beberapa produk komoditas yang menambahkan kata halal dan syar’i. Mulai dari jasa seperti perbankan, koperasi BMT. Barang seperti produk susu, madu, kosmetik, bahkan sampai lemari es pun memakai stempel halal. Seakan-akan bila tidak ada logo halalnya, konsumen menjadi kurang yakin atas status produk yang hendak ia beli.

Bagi produsen, pasar indonesia sendiri tentu sangat menggiurkan lha wong dengan 200-an juta penduduk muslim. Produk stempel halal menjadi iklan wajib yang selalu disematkan ketika menawarkan sebuah produk. Konsumen pun merasa dihipnotis untuk membedakan mana yang halal dan haram. Fungsi awal logo halal pun berubah bertransformasi menjadi seakan penilaian standard mutu macam ‘top brand’ atau SNI. Bahkan bintang iklannya pun para ustadz yang biasa mengisi pengajian di TV nasional. Mantablah sudah…

Produk iklan halal dan syar’i seakan menyatakan “gaya hidup islami hanya terjadi apabila kita sebagai muslim juga menggunakan produk yang halal”.

Dengan memakai produk halal seakan lebih saleh daripada orang yang memakai produk tanpa stempel halal. Muslim yang saleh adalah ketika ia berhati-hati memilih produk. Jika hendak minum susu dengan protein dan vitamin D sekaligus anda muslim ya yang Hilo soleha, karena bila tak Hilo soleha berarti kamu juga tak salehah.

Baca juga:  Bahagia ala Stoa

Sejak kapan minum susu bisa berpengaruh dengan kesalehan spiritual?

Yang paling parah adalah jenis manusia muslim milenial yang menganggap uang kertas itu tidak halal dan syar’i, dan bahkan langsung bilang haram dan riba! Jenis kaum ini merasa bahwa yang paling halal adalah dengan emas dan perak. Anda bayangkan saja jika sampai itu benar-benar terjadi menjadi aksi massa, uang kertas yang sudah sangat praktis dapat dilipat-lipat dimasukkan dompet, efisien dan efektif! Kemudian berubah ribet bepergian kemana-mana membawa segepok uang emas-perak.

Atau bisa seperti ini: anda hendak membeli permen Yupi senilai 500 rupiah, namun dengan sekeping emas yang nilai materialnya melebihi harga dari 500 rupiah. Seumpama satu keping 500 rupiah dinilaikan dengan emas 1 gram. Kalau itu benar terjadi, saya lebih baik melebur saja kepingan 1 gram emas itu, kemudian saya jual kembali jadi anting atau cincin. Malah untung bukan? Daripada hanya ngemut Yupi.

Pengaturan pembuatan uang kertas itu sudah diatur mekanismenya. Sehingga perputaran alat tukar menggunakan uang kertas itu selaras dengan jumlah komoditas yang ada pada kurun waktu tertentu. Sehingga hal itu berpengaruh pada sistem penentuan interest bunga perbankan yang diatur sedemikian rupa oleh ahlinya agar tidak terjadi inflasi atau deflasi.

Baca juga:  Keutamaan dan Sejarah Hajar Aswad

Akan sangat kontras perbedaan prinsipilnya bila menyandingkan riba jahiliyah abad 7 M dengan sistem interest perbankan di abad 21 ini. Prinsip pengharaman riba kala Rasulullah hidup itu ada karena riba pada awalnya muncul dalam wujud rente guna melawan pertumbuhan ekonomi kaum Muhajirin di Madinah. Sedang bunga bank interest saat ini ada pada keharusan (dlaruri) untuk mengatur kestabilitasan harga di pasar. prinsipnya adalah ta’awun (tolong-menolong).

Kalau masalah uang kertas saja masih diharamkan?

Bagaimana pula dengan keberadaan crypto-currency seperti bit-coin?

Alih-alih daripada menganggap segala produk perbankan itu kredit haram, hutang haram. Lebih baik kuliah saja di jurusan perbankan syariah atau ekonomi syariah. Setidaknya kelak bila gagasan perbankan konvensional yang bersistem kapitalis itu terlalu kuat. Gagasan wacana ekonomi dan perbankan syari’ah bisa menjadi kritik alternatif bagi yang konvensional.

Bahkan menyangkut keilmuan ini yang relatif masih baru telah diafirmasi beberapa pesantren yang sudah terbuka membuat jurusan ekonomi dan perbankan syari’ah. Seperti di IIQ An-Nur Ngrukem atau di al-Muhsin Krapyak. Daripada hanya sekedar nyinyir promosi haram-haraman gara-gara ikut seminar antah-berantah yang tak jelas menginduk ke tujuan ekonomi yang mana?

Baca juga:  Jika Cebong dan Kampret Dipakai Untuk Para Pendukung Capres, Lalu Sebutan Apa Untuk Menggantikannya

Memakai produk halal atau syar’i itu belum tentu menjadikan diri kita menjadi lebih saleh secara spiritual.

Kita malah semakin terjebak bertahan pada gaya hidup konsumtif yang dibranding halal dan syar’i. Karena pada dasarnya tujuan perusahaan bukanlah menjadikan anda meninggalkan dunia dengan hanya bertujuan pada akhirat. Malah sebaliknya anda dipaksa untuk semakin banyak membeli produk dan terjebak pada lingkaran setan arus kapitalisme.

Mimik susu dulu yuk bosku…

Biar jadi salehah…

Komentar Facebook
0