Problematika Guru di Zaman Sekarang; Mendidik Sesuai Zamannya


Penulis: Ahmad Sangidu


Belum lama ini, Indonesia kehilangan sosok ulama karismatik sekaligus tokoh publik yang hangat dalam berpolitik, yaitu KH. Maimun Zubair. Ada quote dari beliau, “sekarang zaman generasi milenial, bukan zaman nabi. Maka berdakwahlah sesuai dengan zaman, agar Islam tetap jaya sampai kiamat”. Sebuah sentilan nasihat untuk para guru. 


Sesuaikan cara belajar dengan kondisi dan situasi anak pada zaman yang berlangsung disamping mempersiapkan masa yang akan datang. Senada dengan quote Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. “didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan pada zamanmu”.

Bila kita cermati, kedua quote itu mempunyai sebuah pesan yang sama. Bahwa, cara mendidik atau mengajar harus disesuaikan dengan zaman, tepatnya sesuai pada situasi dan kondisi yang berlangsung. 


Kendati demikian, bukan berarti cara tradisional sudah punah dan harus dibuang semua. Pengajar bisa saja mengintegralkan cara tradisional dengan cara modern. 

Sehingga memunculkan cara baru yang relevan, unik, kreatif, dan bisa diterima dengan lapang dada oleh peserta didik. Contoh kecil, cara belajar dahulu ada di masjid atau musala dengan metode ceramah, sekarang bisa saja dengan belajar di kafe sambil ngopi. Kan asik dan nyaman.

Sayangnya, usaha ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak pengajar yang dihajar karena salah ajar. Kasus di dunia pendidikan hampir setiap hari kita nikmati. 


Ada guru (sebutan pengajar) yang harus bertemu polisi sebab tindakan mendidiknya. Orang tua datang ke sekolah marah-marah sebab anaknya dijewer dan memberikan sanksi kepada sang guru dengan mudah.

Coba tengok media sosial, banyak guru yang mengalami nasib sial. Guru harus berurusan dengan polisi karena memukul siswanya dengan sapu seperti yang terjadi di sebuah SD di Kota Medan.


Padahal sang guru menyelamatkan nyawa anak tersebut. Berulang kali bermain di tangga dan susah ditegur, saking khawatirnya sang guru reflek memakai sapu untuk menegur siswa tersebut.

Baca juga:  Kisah Menulis KH Bisri Mustofa dan Sejarah Pegon Jawa

Di Maumere, orang tua tidak terima rambut anaknya digunting. Lalu datang ke sekolah memberikan kisas dengan menggunting balik sang guru. 


Ini juga terjadi kepada siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Lagi-lagi, iktikad guru berujung sial. Tentu saja peringatan sudah diberikan ke siswa tersebut. Tidak mungkin guru berbuat hal demikian bila tidak karena agar para siswa jera dan tertib.

Sekilas, saya jadi ingat suasana di pesantren. Di mana ustaz atau kiai melakukan hal seperti itu sangat lazim. Ustaz atau kiai hobinya mengajar sambil menghajar santri dengan tongkat sakti, sebut saja rotan. 


Hanya salah baca saja santri dipukul, apalagi melakukan pelanggaran, bakal ditakzir: penggundulan, siram comberan, karantina, dan masih banyak lagi siksaan. Tetapi, para santri malah senang sebab merasa diperhatikan. Selain itu, para santri dan orang tua malah bersyukur. Sebab, dengan begitu berkah dari ustaz atau kiai ini tersalurkan. 

Ke bayangkan? 

Jika ustaz atau kiai ini pada dilaporkan, maka punah sudah ulama nasantara kita. Lalu siapa yang akan melindungi dan merawat kebhinekaan di Indonesia? Oiya, jangan lupa akan jasa mereka, setiap tanggal 22 Oktober kita mengenang pejuangan mereka untuk bangsa Indonesia dengan mengikuti apel Hari Santri Nasional.

Baik. Kembali ke ‘laptop’. 


Banyak yang putus asa jadi guru. Saya yang jurusan Tarbiyah saja lebih memilih bercita-cita jadi presiden dari pada jadi guru. 

Di Fakultas Tarbiyah yang sedang saya tempuh sekarang juga lebih banyak yang ingin jadi pengusaha ketimbang jadi guru. Tantangan memang pernah dirasakan kami saat PPL di suatu sekolah. 

Ketika guru berbuat agak keras, para peserta didiknya atau bahkan orang tua menyalahkan guru salah mendidik. Tetapi kalau terlalu acuh, akibatnya juga fatal, dan lagi-lagi guru yang kena. Repot bukan? 

Di sisi lain, guru dituntut untuk memberikan materi dan uswah. Para siswa harus punya 18 karakter. Ini yang dikedepankan dalam rapor siswa, sikap: disiplin, tanggung jawab, toleransi, dan seterusnya. Cocok sekali catatan Najwa Shihab ini, 

“apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk”. 

Guru berusaha memupuk akhlak agar lebih peka terhadap lingkungan, bukan pada nilai yang melebihi KKM.

Baca juga:  Membincang Viralnya Prosesi Wisuda PAUD-SMA

Pemirsa sabak mungkin pernah lihat dua film yang sedikit melukiskan perjuangan guru. Pertama film “Big Brother”. Henry Chen melamar menjadi guru setelah pensiun dari tentara. Menjadi wali kelas dengan kelas yang diajarnya sangat kacau. Semua siswa nakal. Masuk kelas ada siswa yang masak, gitaran, main game, dan sebagainya. Sekolahnya juga kacau, antar kelas saja sering berkelahi dan siswanya sering dikeluarkan sebab itu.

Metode Henry Chen dalam mengajar sangat inkonvensional. 


Saat dia diberi buku panduan guru, dia justru lebih memilih membuka catatan atau identitas siswa. Dia tidak belajar agar bisa menyampaikan materi atau pengajaran yang asik. Malah belajar mengenal siapa siswa yang diajar, bagaimana karakteristiknya dan sebagainya. 

Dari seorang tentara menjadi guru, jelas dia tidak punya skill mengajar. Bahkan, dari awal cara mengajarnya sama sampai akhir, seperti tidak punya metode mengajar lain, hanya ceramah dan tanya jawab, membosakan, seharusnya. 

Tapi dengan pendekatan terhadap siswanya, dia berhasil merubah yang semula kelas ramai suara tidak jelas, menjadi suara berondongan pertanyaan terhadap materi yang diberikan.

Kedua film Stip & Pensil. Film ini memang sebagai potret sosial, bukan ke arah pendidikan. Namun coba cermati kritik pendidikan yang disempilkan. Empat siswa SMA yang berusaha menyelesaikan tugas esainya dengan mengambil tema anak pinggiran. 


Mereka berempat banting tulang agar anak-anak pinggiran bisa sekolah, lalu mereka membuka sekolah darurat. Di samping itu, mereka sudah mengetahui bahwa anak-anak pinggiran itu lebih suka mengamen karena bisa menghasilkan duit, sedangkan sekolah justru menghabiskan duit. 

Akhirnya anak pinggiran yang bertahan belajar tinggal satu orang. Sebab belajar membosankan dan menghabiskan waktu.

Baca juga:  Nasib Film The Santri di Tangan Sineas Tersohor Livi Zheng

Usaha guru untuk mengajar memang sangat susah dan butuh waktu yang relatif panjang. Sekeras apapun usaha guru, akan sangat melelahkan bila dua tokoh ini tidak mensuport: orang tua dan pemerintah. Bisa dikatakan tiga orang ini adalah pilar pendidikan kita. Simpelnya begini, guru melakukan tugasnya, mengajar. 


Lalu orang tua mendukungnya dan berdoa buat sang anak agar ilmu dapat dia terima dengan baik. Sedangkan pemerintah, mereka adalah fasilitator keduanya, dengan kata lain, kebijakan yang ambil harus jeli karena menentukan arah pendidikan. 

Belum lama ini, ada apresiasi Kemendikbud yang sangat baik, dengan mengadakan pemilihan guru dan tenaga kependidikan berprestasi dan berdedikasi tingkat nasional tanggal 13 sampai 18 Agustus 2019 lalu. 

Ini tentu saja membuat guru semakin profesional dan arah pendidikan terus diperhatikan dengan baik. Berarti, tinggal tugas orang tua, yakni mendukung keduanya secara penuh. Jangan sampai salah sedikit langsung protes, sebab guru dan pemerintah sedang melakukan inovasi dan kreativitas barunya. Butuh proses yang kadang perlu waktu agak lama untuk mencapai kata sukses.

Sekarang ada terobosan unik, misalkan munculnya Ruangguru yang semakin naik rating. Menyediakan bimbingan belajar online semua tingkatan kelas hanya dalam satu aplikasi. Memberikan pelatihan dan sebagainya. 


Mungkin, ke depan sudah tidak ada ruang kelas atau malah tidak ada sekolah. Para siswa belajar di rumah lewat aplikasi saja ya? 

Pasti guru akan sangat terbantu, tidak perlu mengatasi siswa nakal karena mereka tidak bertemu. Lewat aplikasi lain seperti WhatsApp juga guru bisa terbantu, misalkan dibuat grup layaknya kelas. 

Oiya, pernah membaca esai yang berjudul ‘apa iya pendidikan abad 21 cuma bekal berisi belajar online, doang?’. Mungkin patut diamini bareng. Kan kasian kerja keras guru kalau harus digaji hotel prodeo. Dengan kelas online pasti guru juga sangat terbantu dan santai, bisa mengajar sambil mengurus anak di rumah. 

Setuju? Bagaimana?
Komentar Facebook
0