Membincang Viralnya Prosesi Wisuda PAUD-SMA

 

Bulan Juni merupakan bulan tersibuk di lembaga pendidikan sekolah. Pasalnya, di bulan ini, rangkaian akhir kegiatan di kalender akademiknya tertumpuk. Mulai ujian akhir sekolah, ujian nasional, pembagian raport, piknik/family gathering, dan ditutup dengan prosesi wisuda bagi kelas akhir.

Tentu berbagai rangkaian panjang itu memerlukan banyak tenaga, pikiran, dan pembiayaan. Yang akhirnya, tak jarang para orang tua menjadikan bulan ini sebagai bulan ‘horor’ dan keramat karena berbagai pertimbangan di atas.

Kebetulan saja, tahun ini merupakan tahun di mana anak saya lulus dari jenjang PAUDnya. Sebagai orangtua yang baru memiliki anak pertama, tentu persiapan demi persiapan kami lakukan. Mulai persiapan kelulusan sampai persiapan pendaftaran ke jenjang berikutnya.

Tapi yang menarik (sekaligus menggelitik) adalah persiapan kelulusan dengan adanya prosesi wisuda di dalamnya. Mengapa menarik dan menggelitik? Ya karena prosesi wisuda yang semestinya sakral dan penuh hikmat, mendadak menjadi penuh canda tawa dan terkadang banyak tangisan ‘ngambek’ di atas panggung oleh para peserta wisuda. Semua tertawa geli. Ada pula orangtua yang sedikit malu melihat tingkah polah anaknya di atas panggung. Penuh keriuhan.

Maka seketika sampai rumah, sayapun dengan cepat berkelakar kepada anak saya, “Dik, sampean kan wis diwisuda. Kono langsung ndang kerjo neng Jakarta po Suroboyo yo!!”. (Dik, kamu kan sudah diwisuda. Sana langsung kerja ke Jakarta atau Surabaya (seperti orang pada umumnya). Iapun terdiam, sambil mikir apa maksud bapaknya itu.

Baca juga:  Pulang Bersama Rasulullah

Mengapa saya berkelakar seperti itu, karena selama ini wisuda merupakan akhir dari proses pendidikan tinggi. Setelah mendapatkan ijazah, seseorang tentu akan segera bekerja atau mengaktualisasikan diri sesuai ijazah yang didapatkannya itu. Artinya, prosesi wisuda merupakan momen yang penting. Titik wisuda yang mestinya diraih dengan penuh kelegaan atas kucuran darah dan keringat menuntaskan pencarian ilmu di bangku kuliah bertahun-tahun, mendadak melihat momen wisuda anak saya ini justru terkesan ‘bubrah’ semua.

Maka saya mendadak berpikir ulang, sejak kapan prosesi wisuda (yang persis dengan prosesi wisuda sarjana) ini diselenggarakan di jenjang PAUD, TK, SMP, SMA? Sebenarnya, apa tujuannya sehingga wisuda di jenjang itu dilakukan? Saya melihat, kesakralan wisuda menjadi ‘hambar’ ketika prosesi wisuda diadakan tidak semestinya. Terkesan memaksa dan dipaksakan.

Semua memahami bahwa zaman terus berubah, tapi perlu sadar bahwa tidak semua hal harus ikut berubah, kan? Ada kearifan lokal yang harus dijaga dan dipertahankan. Ada ilmu yang perlu dimuliakan dalam pendidikan, apalagi pendidikan kesarjanaan. Kita juga memahami bahwa zaman sudah berbeda, terkadang keinginan manusia juga terus ingin ikut berbeda. Ini menjadi kewajaran belaka. Sayapun sangat menyadari. Tapi memaksa dan terpaksa untuk mengikuti perubahan secara serampangan tentu kurang bijaksana.

Baca juga:  KH. Munawwir Abdul Fattah dan Amal Saleh

Kelulusan dengan adanya wisuda yang semestinya ada kebanggan tersendiri karena telah meraih apa yang dicitakan (sebagaimana kelulusan sarjana), justru di beberapa hal hari ini dijadikan ajang pesta-pesta semata. Pesta jasa rias, pesta jasa sewa kebaya, pesta jasa foto, pesta jasa sewa gedung, pesta-pesta lainnya yang terkadang terlalu berlebihan. Kelulusan sebagai momen syukur dan bahagia, terkadang menjadi foya-foya belaka, padahal di momen itu telah menghamburkan banyak biaya orangtua. Di titik itulah yang menjadi pro-kontra viralnya prosesi wisuda di bawah jenjang sarjana ini.

Sebagai bagian kecil ademisi, saya melihat setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam konteks ini:

Pertama, jika prosesi wisuda terus dilakukan seperti ini dengan mendasarkan pada kiblat pendidikan sekolah di Eropa dan Amerika, tentu dari berbagai aspek tidak bisa disepadankan secara apple to apple, baik dari sosial, budaya, religiusitas, moral ketimuran, dan kualitas pendidikannya. Tentu, semua itu sangat berbeda.

Kedua, dalam realitasnya, banyak orangtua mengeluh betapa beratnya membayar prosesi wisuda di jenjang sekolah ini. Tapi di sisi lain, orangtua tidak punya pilihan lagi untuk tidak mengikuti agenda bahagia anaknya itu. Karena di beberapa sekolah, orangtua hanya diberi dua pilihan: mau diadakan wisuda atau tidak untuk anak-anaknya? Tentu, demi anak, orangtua akan memilih wisuda (walaupun secara terpaksa). Sebuah jawaban yang pasti.

Baca juga:  Pendekatan Pembelajaran Reggio Emilia Menurut Malaquzzi

Ketiga, sekolah perlu memberikan alternatif pilihan sebagai pengganti wisuda. Mestinya masih banyak cara lain untuk mengekspresikan kelulusan sekolah tanpa men-copypaste acara wisuda di perguruan tinggi. Mungkin seperti adanya pentas seni, ajang amal bakti di panti sosial, educational field trip, atau wisuda dengan busana adat daerah, dan seterusnya. Banyak alternatif pilihan jika ingin menjunjung tinggi kearifan lokal sesuai dengan ciri khas masing-masing sekolah.

Keempat, jenjang pendidikan berbeda, maka perlakuan prosesi kelulusannya juga semestinya berbeda. Jika PAUD dan TK merupakan usia bermain dan berceria-ria, maka kelulusannya perlu punya karakteristik keceriaan. Jika SD merupakan usia anak paling dasar, maka kelulusannya seharusnya berkarakteristik penguatan moral dan karakter ketimuran. Jika SMP dan SMA merupakan usia berkembang dan penuh gairah semangat kehidupan, maka kelulusannya perlu mendasarkan pada berbagai kreatifitas pertunjukan. Jika kuliah merupakan usia kematangan pendidikan, maka kelulusannya harus mendasarkan pada kedewasaan dan kewibawaan.

Untuk itu, untuk merespon viralnya prosesi wisuda usia PAUD sampai SMA di berbagai platform media hari-hari ini, poin penting saya di tulisan singkat ini adalah bagaimana kita semua lebih arif dan peka terhadap dinamika realitas yang ada. Mengikuti zaman merupakan keniscayaan, tetapi menjaga kearifan lokal sekaligus berkreasi-inovasi di dalamnya harus terus digaungkan, agar kehidupan ini terus berimbang dan berkembang.

Komentar Facebook
2