KH. Munawwir Abdul Fattah dan Amal Saleh

KH. Munawwir Abdul Fattah nomor 1 dari kanan.

Penulis: Inan

Menjelang akhir tahun kabar duka kembali tersiar. Kali ini kabar itu terdengar dari kampung Krapyak, Yogyakarta. KH. Munawwir Abdul Fattah–seorang kyai, penulis, pendakwah dan “mungkin” sedikit yang tersisa dari murid-murid KH. Ali Maksum–telah dipanggil oleh Allah menyusul guru kinasihnya itu.

Kiai yang akrab disapa Pak Awing itu lahir di Jepara pada tahun 1945, beliau merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya, KH. Abdul Fattah, adalah seorang kyai di daerah Robayan, Pecangaan, Jepara. Desa yang dahulu dikenal sebagai industri kretek.

Bahkan saking terkenalnya, di wilayah tersebut terdapat sebuah masjid yang dipugar menjadi mewah berkat para donatur yang konon adalah pengusaha rokok. Walhasil masjid itu pun di kemudian hari dikenal pula dengan sebutan Masjid Kretek.

Tak seperti lazimnya kebanyakan santri, selama hidupnya Pak Awing tercatat hanya nyantri di pesantren Krapyak saja meskipun pernah menghabiskan satu tahun waktunya di Mekkah untuk belajar. Bersama dengan kedua saudaranya, beliau berangkat menuju Krapyak dan menimba ilmu kepada KH. Ali Maksum.

Baca juga:  Peran Sayyidah Aisyah ra. dalam Memerangi Paham Misoginis

Sebagai seorang penulis, KH. Munawwir Abdul Fattah diketahui telah menghasilkan banyak karya baik dalam wujud esai maupun buku. Tema karangannya pun beragam. Mulai dari ilmu gramatika bahasa arab, kumpulan doa dan wirid hingga terjemahan kitab ulama-ulama klasik.

Di antara sebagian bukunya adalah: Lahir Khitan Menikah Meninggal: Panduan Prosesi dan Tata Cara Mengelola, Pantulan Cahaya Rasul, Tuntunan Praktis Ziarah Kubur, Mengintip Pintu-Pintu Surga Lewat Ayat-Ayat Suci dan Hadis Nabi dan Tradisi Orang-Orang NU. Semasa hidupnya, beliau juga tercatat sebagai kontributor tetap majalah Bangkit milik PWNU DIY.

Hari ini, salah satu karyanya yang mungkin sangat akrab di telinga para santri adalah kamus Arab-Indonesia/Indonesia-Arab dengan judul al-Bisri. Kamus itu beliau tulis bersama adik Gus Mus yakni KH. Adib Bisri almarhum.

Berbicara soal tulisan beliau, saya pernah menemukan tulisan ihwal amal saleh dalam salah satu bukunya. Katanya, amal saleh tidak hanya terbatas pada ibadah-ibadah fardhu seperti salat, puasa, zakat, dan haji saja. Di dalam Alquran sendiri anjuran untuk beramal saleh disebut lebih dari sepuluh kali dengan berbagai macam redaksinya.

Baca juga:  Syndrome Media Sosial; Silatur-rahim yang berujung Silatul-misuh

Meskipun demikian, saat ini tak banyak orang yang mengetahui apa itu pengertian amal saleh. Mereka mengira bahwa semua kegiatan muslim sehari-hari yang disandarkan kepada Allah tidak termasuk amal saleh.

Sebut saja hal-hal sederhana seperti doa setelah bangun tidur, masuk kamar mandi dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan, berwudhu, berdoa setelah wudhu, bertemu kawan lalu berjabat tangan, tersenyum, menebar salam, i’tikaf, membaca selawat dan seterusnya.

Atau bisa jadi dengan hal-hal yang lebih besar seperti menolong orang yang kecelakaan, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, bertetangga dengan baik, mengikuti majelis pengajian, ikut membina keamanan masyarakat, cinta tanah air, membela negara dan lain-lain.

“Itu semua,” tulis beliau, “adalah amal saleh. Alangkah mudahnya hidup orang-orang yang mengetahui hal itu. Dengan menyandarkan semua kegiatan amalnya kepada Allah, penuhlah pundi-pundi amalnya. Tetapi alangkah naïf jika seorang mukmin tidak tahu bahwa yang dikerjakan itu sebenarnya adalah amal saleh tetapi ia tidak mengetahuinya.”

Mengenai amal saleh ini agaknya beliau telah memperluas maknanya sehingga memudahkan orang-orang yang memiliki banyak kesibukan tapi tak banyak waktu untuk tetap beramal saleh.

Baca juga:  Simbahku Pencinta Tinju

Selain itu, beliau tak sekedar memberikan penjelasan beserta contohnya saja melainkan juga telah mempraktikkannya sendiri. Ini terlihat dari amal beliau baik dalam bentuk tulisan, nasihat-nasihat atau ceramahnya yang akan selalu dikenang oleh para sahabat, keluarga dan santri-santri yang pernah mengaji kepadanya.

Pada hari Kamis malam Jum’at 27 Desember kemarin, berita duka itu tersiar melalui pengeras suara masjid Krapyak di mana beliau biasa melakukan khotbah Jum’at.

Beberapa waktu sebelumnya, KH. Munawwir Abdul Fattah sempat memiliki keinginan untuk membeli tanah di dekat tempat tinggalnya. Kata beliau, tanah tersebut akan dijadikan sebagai makam keluarga. Dan sampai saat wafatnya, saya sendiri tak pernah tahu apakah keinginan itu telah terwujud atau belum.


Baca esai menarik lainnya yang ditulis oleh INAN.
Komentar Facebook
0