Santri, Teknologi, dan Kerendahan Hati Inan Esai 23 Oktober 2019 0 4 min read sumber gambar: pixabay Penulis: Inan Dibandingkan sepuluh atau lima belas tahun lalu, hari-hari kita saat ini mungkin terasa lebih mudah. Anda yang pernah hidup pada masa-masa itu tentu tidak akan menduga bahwa dewasa ini kita bisa mengirim pesan penting atau sekadar menyapa kerabat dalam waktu singkat. Begitu pula saat kita mampu berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain tanpa ada kesulitan berarti. Nampaknya, hari-hari yang lama dan membosankan itu sudah lewat dan sebagai gantinya, kita ditawari oleh segala sesuatu yang bersifat cepat juga efisien. Kita tahu, itu semua berkat teknologi. Hampir segala urusan manusia sekarang telah dipermudah olehnya. Dari wilayah pendidikan, informasi, birokrasi, bahkan sampai ekonomi. Tak mau repot datang ke toko? Anda sekarang bisa membeli melalui gawai. Butuh informasi cepat? Anda dapat langsung mengaksesnya dari genggaman tangan. Meskipun demikian, faktanya teknologi tak selamanya membantu kita menjadi lebih baik. Sedikit contoh, di media cetak saat ini, kita bisa menemukan banyak kabar tentang kasus penipuan berbasis online. Ada pula berita terkait terorisme yang setelah dilakukan penelusuran, ternyata direncanakan melalui media sosial. Juga, kasus kecanduan terhadap gadget yang berujung pada kematian. Ibarat pisau bermata dua, yang dapat digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, adakalanya teknologi berubah menjadi hal yang mengkhawatirkan. Saya sendiri pernah punya pengalaman tidak mengenakkan dengan teknologi. Pada sebuah obrolan, seorang teman bertanya kepada saya tentang suatu topik. Saat itu saya tidak mampu menjawabnya karena saya memang tidak memiliki pengetahuan di bidang tersebut. Baca juga: Cara Gus Baha Tentang Mendidik AnakDan apa yang terjadi selanjutnya tentu saja sudah dapat ditebak: pertanyaan itu terjawab dengan mudah melalui gawai. Dalam kasus ini, kita dapat melihat bahwa kecanggihan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan perkembangan kemampuan seseorang. Adakalanya ketergantungan pada teknologi membuat sebagian orang malas untuk melakukan sesuatu. Barangkali, inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Gus Dur tentang keterpengaruhan teknologi dalam kebudayaan dan etika, hingga kita kesulitan apa dan siapa yang mempunyai otoritas kebenaran di media daring. Dan, mungkin kalau sama-sama dilepas lalu berada di tempat terpencil, kemampuan bertahan hidup para pendahulu kita lebih hebat daripada kita. Ini karena faktor ketergantungan teknologi yang sulit kita kontrol. Agaknya, regresi (mundur kembali) adalah kemustahilan. Sebab semua hal sudah terlanjur terintegrasi dengan teknologi dan seseorang hanya akan memperoleh kerepotan apabila menolaknya. Ada sebuah cerita dari abad 19 M sewaktu Revolusi Industri terjadi di kota London. Kala itu, ada sekelompok orang menamai dirinya Luddites. Mereka adalah kelompok pekerja yang menolak otomatisasi pabrik melalui mesin tenun. Alasannya, penerapan mesin tenun mengancam lapangan pekerjaan mereka. Gerakan ini sempat membuat pemerintah Britania kerepotan sehingga harus mengirimkan banyak pasukan untuk memadamkan kericuhan tersebut. Namun, lambat laun mereka yang menolak mesin tenun akhirnya tetap tersingkirkan juga karena pada akhirnya teknologi hanya bisa dihambat, bukan dihentikan. Dan mungkin, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah berkompromi. Baca juga: Jika Barokah Bisa Didapatkan Lewat Nyolong, Mbah Mun Dulu Ngambil Apa kok Bisa Sealim Sekarang?Soal ini, ada baiknya kita mengingat kembali petuah masyhur di kalangan pesantren. Bahwa sebagai santri, mempertahankan tradisi lama yang masih layak serta menerima secara kritis terhadap hal-hal baru adalah sebuah keniscayaan. Sebab dengan itu santri bisa bergerak sesuai dengan zaman. Untuk konteks sekarang, menjadi santri berarti menjadi pribadi yang tidak alergi terhadap hal baru termasuk teknologi. Sudah saatnya teknologi dimanfaatkan untuk mencetak kebaikan karena di hadapan teknologi, pilihan seseorang hanya dua: menjadi subyek atau obyek. Sebagai subyek, seseorang mampu mengarahkan teknologi untuk hal-hal yang bermanfaat. Lahirnya kanal berita daring (dalam jaringan) yang diinisiasi oleh beberapa santri seperti nuonline, islami.co, sabak.or.id serta alif.id adalah beberapa contohnya. Hal ini akan berbeda andaikan seseorang menjadi obyek dari teknologi. Sebagai obyek, seseorang hanya akan diperalat olehnya. Kita tentu saja tidak asing dengan siklus berikut ini: mengawali dan menutup hari-hari dengan gawai. Akan tetapi, meskipun segudang prestasi telah dihasilkan melalui teknologi yang ada, bagi santri tetap saja akhlak yang baik adalah hal yang paling utama. Akhlak menjadi penting agar seseorang tidak kaku dan fanatik termasuk dalam beragama. Akhlak ialah soal bagaimana caranya agar seseorang dapat berbuat baik kepada orang lain. Adapun budaya kafir-mengkafirkan, menuduh bid’ah, dan ujaran kebencian muncul akibat minimnya perkara akhlak. Baca juga: KH. Munawwir Abdul Fattah dan Amal SalehItulah sebabnya di pesantren seseorang diajarkan untuk berakhlak dengan baik. Di sana, perbedaan pendapat menjadi hal yang wajar sebab akhlak mengajarkan santri untuk selalu rendah hati, menghormati dan menghargai keputusan orang lain. Di pesantren pula seseorang mendapatkan pendidikan akhlak tidak hanya dari mengaji melainkan juga dari teladan kyai dan laku tirakat seperti puasa senin-kamis, ndaud, dan dalail. Guru atau kyai di pesantren pun memiliki perbedaan dengan di tempat-tempat lain. Di pesantren, guru dan murid memiliki hubungan yang lebih dekat. Di sana, guru tidak hanya sekedar transfer ilmu belaka akan tetapi juga terdapat upaya untuk merawat, mendidik, dan yang terpenting: mendoakan. Sedangkan puasa menjadi utama sebab ia bukan perkara menahan lapar saja. Sebagaimana kata Nabi, orang yang berpuasa tidak hanya menahan hawa nafsu tapi juga mengontrol emosinya. Karena sebanyak apapun prestasi yang diperoleh, selama tidak punya akhlak yang baik, itu semua akan gugur, tidak memiliki nilai. Sebagaimana nasihat yang pernah disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada orang yang berilmu. Kalau hanya ilmu, Iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia.” *Materi ini disampaikan saat orientasi pengenalan Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri pada tanggal 05 Oktober 2019 dengan tema Santri Milenial: Berprestasi Tinggi, Jiwa Membumi. Komentar Facebook 0