Tak Ada yang Baru Dalam Perdebatan Tahun Baru


Penulis: Inan


Menjelang akhir tahun, jagat dunia maya nyaris sesak dengan riuh-rendahnya perdebatan umat Islam Indonesia ihwal boleh atau tidaknya mengikuti perayaan Tahun Baru. Satu perdebatan, yang kita tahu, telah menjadi semacam tradisi rutinan selama beberapa tahun belakangan ini.

Bahkan, bagi mereka yang tak sepakat dengan perayaan tersebut sudah mempersiapkan segala macam amunisi penolakan jauh-jauh hari sebelumya melalui selebaran dalam khotbah Jum’at, pesan berantai di WAG dan baliho-baliho besar.

Dan sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun lalu, arah perdebatan ini mudah untuk diprediksi karena pada akhirnya akan mengerucut juga–meski tak serta merta dapat kita sederhanakan begitu saja–ke dalam dua aliran besar yakni: mereka yang melarang dan mereka yang memperbolehkannya.

Bagi orang-orang yang masuk pada golongan pertama, merayakan Tahun Baru mutlak menjadi sebuah larangan karena praktik tersebut tidak ada dalam Islam. Mereka bersikukuh bahwa baik Alquran maupun Alhadis tak pernah memberikan pernyataan terkait hal ini sehingga praktik-praktik yang demikian masuk dalam kategori bid’ah.

Ada pula yang menolak lantaran khawatir menyerupai umat beragama lain yang pada ujungnya menyebabkan umat Islam tak memiliki identitas atau bahkan, pada tahap tertentu, berpotensi mendangkalkan akidah. Alasannya: keserupaan dalam perkara lahir turut memengaruhi keserupaan dalam ihwal batin.

Pada berbagai macam perdebatan, tentu saja hadis populer yang sering dirujuk untuk melegitimasi pendapat mereka ialah: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut” atau “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami.”

Baca juga:  Gus Dur dan Teknologi di Era Milenial

Dalam memperlakukan kedua teks di atas, para penolak pada dasarnya merupakan golongan yang menggunakan pendekatan harfiah untuk memahami teks-teks keagamaan.

Mereka berpendapat bahwa redaksi kedua hadis tersebut sudah gamblang menjelaskan ihwal boleh tidaknya mengikuti perayaan Tahun Baru. Dua hadis tersebut tak perlu ditafsir ulang sebab makna harfiahnya memang seperti itu adanya. Mengapa harus repot-repot mencari makna di balik teks jika yang di permukaan saja sudah terlihat?

Berkebalikan dengan kelompok pertama, mereka yang memperbolehkan justru berpendapat bahwa mengikuti perayaan Tahun Baru tak lantas menggoyahkan iman. Hal ini disandarkan pada argumen yang menyatakan bahwa tidak ada kaitan yang cukup logis untuk menjelaskan bahwa dengan berperilaku demikian, umat Islam secara otomatis menjadi murtad.

Lebih lanjut, kelompok kedua beranggapan bahwa hadis-hadis itu hendaknya dikontekstualisasikan agar dapat beriringan dengan roh (zeitgeist) zaman. Dengan adanya penafsiran ulang, mereka berharap persatuan di tengah-tengah komunitas multi etnis, agama dan budaya dapat terwujud sehingga hubungan baik terjaga.

Sampai di sini saya kira perdebatan itu sebenarnya sudah selesai. Tidak ada yang baru lagi. Mereka yang menolak, sedari awal memang memahami teks keagamaan secara literal sementara pihak yang mendukung mendekatinya melalui cara kontekstual.

Pada berbagai kesempatan, tiap pihak tetap berpegang teguh pada pendapatnya meskipun mereka telah tanding argumen berulang kali. Hal itu kemudian menjadi lumrah karena secara metodologis keduanya berangkat dari pendekatan yang berbeda.

Baca juga:  Sejumlah Alasan Mengapa Ekstremisme Dalam Beragama Sulit Tumbuh di Pesantren

Memang, tak menutup kemungkinan adanya celah dialog dan kompromi guna menyelaraskan kedua belah pihak. Para penulis, cendekiawan dan ulama–baik yang hidup di masa kini atau masa lalu–telah meracik berbagai macam metode untuk menyikapi perdebatan itu. Mulai dari yang sederhana hingga yang rumit.

Pendapat-pendapat mereka pun semakin mudah diakses bila dibandingkan beberapa tahun lalu. Demikian pula penyebaran informasi yang hari ini tak kalah cepatnya dengan membalik telapak tangan.

Dahulu sekali, saya pernah berprasangka bahwa mereka yang meramaikan perdebatan tak berujung di media sosial adalah orang-orang yang punya masalah dengan kesabaran. Mereka adalah penyembah kecepatan yang selalu terburu-buru menghakimi namun enggan menelaah secara telaten persoalan di depan mata. Bahkan, kemungkinan terburuknya, mereka lah orang-orang yang malas membaca.

Akan tetapi, setelah beberapa tahun, asumsi itu salah belaka. Faktanya, mereka yang berdebat adalah orang-orang yang memiliki ketekunan dan ketelatenan. Mereka saling lempar argumen menggunakan sumber-sumber yang beragam: dari kitab suci, hadis Nabi hingga warisan khazanah Islam abad pertengahan. Dalam artian, mereka adalah pribadi-pribadi yang juga giat membaca.

Namun, setelah melewati berbagai argumen yang bertebaran di media sosial, yang terus menerus diulang selama beberapa tahun, mengapa mereka tetap bersepakat untuk melanjutkan perdebatan?

Baca juga:  Jadi Ulama itu Berat, Kamu Tidak Akan Kuat, Jadi Ubaru Saja

Agaknya, di era post-truth kebenaran tak lagi diposisikan sebagai jawaban atas suatu pencarian. Dalam situasi ini, kompromi atas ide dan gagasan adalah sebuah kesia-sian. Sebagian orang tak lagi berdebat mencari titik temu melainkan untuk memenuhi dorongan hasrat yang barangkali tak terpuaskan di dunia nyata.

Mereka ini adalah orang-orang yang hanya ingin melihat kekacauan bekerja. Mereka tak dapat diubah, dipaksa, maupun dirayu. Hasrat untuk berdebat pun tak pernah berbanding lurus dengan keinginan untuk memperoleh kesimpulan.

Meminjam terminologi Jean Paul Sartre (1905-1980), mereka adalah orang-orang yang lebih mudah mendengarkan gema (echo) dalam dirinya sendiri daripada jawaban. Saat bertanya maupun mengkritik, masing-masing pihak sebenarnya sudah memiliki pendirian. Yang diinginkan dari perdebatan tak lain adalah pandangan diri mereka sendiri yang terus memantul.

Dengan kata lain, mereka tidak siap untuk mendengarkan liyan. Maka dari itu, tiap-tiap jawaban hanya diterima apa bila sesuai dengan preferensi pribadi. Yang tidak cocok lalu ditinggalkan. Dan seandainya diterima, tujuannya hanya untuk dicari kesalahan-kesalahannya.

Bagi saya, orang-orang ini tak lebih baik satu sama lain. Sebab, sementara perdebatan tak kunjung selesai juga, sebagian orang tetap saja kelaparan, beberapa wanita masih mengalami pelecehan seksual dan polusi udara semakin menebal.


Baca ESAI menarik lainnya yang ditulis oleh INAN.
Komentar Facebook
0