Gus Macam Apa (Episode 1)

Penulis: Jintung Idjam

Sebelum berangkat aku masih menyempatkan bercermin sekali lagi. Kalau saja ada yang janggal dari wajahku. Aku takut di wajahku terlihat aura dosa atau semacamnya, yang bisa saja ditangkap mata batin Gusku. Tapi tidak, aku merasa tidak ada yang salah dengan wajahku. Tapi, keyakinanku selalu tidak penuh saat aku akan bertemu gusku. Aku selalu merasa harus menutupi isi hatiku di depannya, sekalipun itu tidak mungkin. Ia akan tahu, sekalipun tak pernah membicarakannya denganku.

Tidak diragukan lagi, semua kriteria gus ada padanya. Ramah dan murah senyum. Berkharisma tapi suka bercanda. Tatap matanya seperti kucing condromowo, tajam dan membuat setiap mata yang bertemu matanya akan tertunduk. Tubuhnya ceking karena jarang makan.

Wajahnya dingin dan suka menyendiri. Tak pernah suka dengan perdebatan, sekalipun dia tahu dan menguasai ilmunya.

Di antara segala pujiku untuk ke-gus-annya, tapi aku harus bertanya ‘mengapa begini?’ Mengapa aku harus mendatangi resepsi pernikahan ke dua kekasihku. Iya, dua kali dalam tiga purnama. Semua kekasihku datang karena gusku, aku bahagia karena itu. Dan semuanya menikah karena gusku, aku pura-pura bahagia mereka menikah dengan temanku.

Dan guskulah yang memintaku mengabadikan pernikahan Galuh, dambaan hatiku. Mengabadikan pernikahannya melalui kameraku. Resepsi pernikahan yang digelar bukan di rumah mempelai wanita, karena satu dan lain hal.

Dan aku tak akan pernah bisa membantah perintahnya.

Dan dengan keletihan jiwaku, setelah selesai bercermin, aku berangkat ke resepsi pernikahan Galuh, yang digelar rumah mempelai laki-laki. Perempuan paling kuharapkan setelah satu yang telah mendahuluiku. Mengkhianatiku.

Sepanjang jalan menuju pernikahan Galuh, dadaku seperti mau pecah. Remuk redam. Aku hampir tak percaya gusku memisahkanku untuk ke dua kalinya. Di saat aku dan Galuh sedang hangat-hangatnya, sedang sayang-sayangnya, ia pamit.

“Aku tak bisa menolak perintah Bapak, Mas. Tidak mungkin Bapak menolak lamaran Kiai Fadhilah.

“Aku sendiri juga ndak berhak punya alasan menerima atau menolak. Aku hanya bisa bilang ‘siap’ dan ‘sendiko dawuh’.

“Sampean kudoakan mendapat yang lebih baik dariku. Ini adalah takdir.”

Tiga paragraf di atas dikirim Galuh lewat chat WhatsApp, beberapa waktu lalu. Tiga paragraf yang benar-benar membuatku tidak habis pikir.

Lamunanku terhenti sejenak, karena motorku telah sampai di depan Ndalem Kiai Fadhilah. Tarub agung tampak berdiri megah menyambut tamu-tamu. Suasana masih terlalu pagi saat aku sampai. Aku lalu menuju ruang paes. Untuk mengabadikan beberapa momen saat rias manten berlangsung.

Sebelum masuk ruang paes, Indri dan Kang Soleh menyambutku dengan senyuman. Mereka tampak bahagia sejak resmi menikah bulan lalu. “Teman kok tega makan teman.” Batinku.

Kali ini keduanya diperintah Bu Nyai untuk menjadi among tamu para alumni yang datang sowan untuk memberi hormat pada calon mempelai.

“Sudah ‘dapat’ Kang Soleh?” Aku memulai dengan basa-basi.

“Alhamdulillah. Belum. Dinikmati aja dulu, Kang. Kan masih bulan madu. Hee….” jawab Kang Soleh dengan muka bahagia.

Indri hanya tersenyum mendengar candaan suaminya. Lalu mencubitnya dengan manja.

Hatiku sebetulnya menjerit melihat mereka bahagia. Tepat tiga bulan lalu, Kang Solehlah yang mengenalkanku pada Indri, atas perintah gusku.

“Sudah hafidz, Kang. Cantik. Kalem. Lesung pipitnya, wuiiihhh … Bapaknya sudah mengejar-ngejarnya untuk segera menikah.” Begitu terang Kang Soleh saat akan mengantarkan aku berkunjung ke kompleknya Indri.

“Sampean beruntung, Gus Yahya memilihkan Indri untuk sampean.” Lanjutnya waktu itu. “Padahal banyak yang menaruh hati pada Indri.”

Gayung bersambut. Pucuk dipinta ulampun tiba. Penantian lamaku terbayar dengan hadirnya seorang Indri, begitu gumamku waktu itu.

Baca juga:  Moral Pesantren Masa Kini; Mulai Perut ke Kepala atau Perut ke Kaki?

Bu Nyai Ida alias bu nyainya Indri, juga setuju aku berkenalan dengan Indri, karena wasilah dari Gus Yahya, keponakannya. Sempurna sekali, aku mendapat dukungan penuh dari beberapa stake holder pondok.

Beberapa waktu, setiap sore, aku sempatkan menunggu chat dari hape komplek L. Kompleknya Indri. Hape kompleklah yang membuatku dan Indri semakin dekat, karena santri Putri tak pernah diijinkan memegang hape selama di pondok.

Kata ‘Hei’ menjadi semacam kode bahwa itu adalah chat dari Indri, agar aku tidak kena prank teman-temannya yang sok usil mengerjaiku dengan chat-chat mesra penuh harapan.

“Kenapa melamun, Kang?” Sela Indri di antara lamunanku.

“Dekornya bagus, ya?” Aku yang tersentak menjawab sekenanya, lalu mengarahkan pandangan ke dekorasi pengantin di seberang jalan.

“Kami ke ndalem dulu, Kang!” Kang Soleh segera berpamitan. Seakan memberiku ruang untuk meneruskan merenungi kenangan pahit ini.

“Bisa makan teman kok bahagia! Tak berperikemanusiaan!” Dengusku dalam hati.

Aku hanya tak habis pikir, kenapa bisa bisa Indri dan Soleh tampak serasi. Yang lebih mengherankan, mengapa mereka bisa menikmati kebahagian dan pamer kemesraan di depanku, yang dua bulan lalu Indri masih mendambakanku, dan Kang Soleh dengan tulus mengantarkanku mendekati Indri.

Waktu itu, harapan menghancurkan status perjakaku semakin dekat saat aku dipersilahkan main ke rumah Indri, saat dia pulang ke rumah.

Entah mengapa status perjaka semakin membebaniku. Status yang aku tidak meminta, tapi datang dengan sendirinya. Lalu mereka membuliku karena status yang aku sendiri tak faham kenapa status itu mendatangiku. Salahku apa? Aku tidak berbuat apa-apa, tapi seakan dengan status itu aku punya kesalahan besar, sedang punya masalah besar. Heran, aku!

Waktu itu, setelah bapaknya mempersilahkan aku masuk dan berbasa-basi sebentar, aku ditinggalkan sendirian di ruang tamu.

Lalu muncullah Indri dengan segelas teh dan sepiring jajanan. Sore itu ia manis sekali dengan balutan kain batik panjang. Mengenakan atasan warna krem yang serasi dengan bawahannya. Wajah bulat dengan hidung bangir dan lesung pipit yang dilingkari jilbab dengan warna senada bajunya, membuatnya tampak sempurna sebagai seorang santri.

“Bapakmu kemana tadi?” Tanyaku setelah ia duduk di kursi yang berhadapan denganku. Aku bertanya begitu karena berharap secepat mungkin memastikan bahwa aku akan mendapat jawaban ‘iya’ dari bapaknya.

“Sampean kok datang kemari? Gus Yahya belum bilang ke sampean, Kang?”

“Bilang apa?”

“Gus Yahya melamarku untuk Kang Soleh, Kang! Dan Bapak setuju.”

Seperti petir menggelegar di saat terik, kagetku amat sangat. Mukaku mendadak tegang. Aku yang tadinya pede kini mati gaya. Seperti ingin kusembunyikan mukaku, tapi di mana.

Sore itu aku langsung pamit. Marah. Aku enggak habis pikir dengan gusku. Aku langsung menuju ke rumah beliau.

Saat sampai di ndalem, gusku sedang menunjukkan kelemahannya, menurutku. Sebagai seorang gus, kenapa dia menjadi Sobat Ambyar; penggila Didi Kempot. Kali ini, seperti biasanya, walau hanya sesekali, ia mengundang teman-temannya yang bisa bermain gitar untuk mengiringinya bernyanyi lagu-lagunya The God father of Brokenhert, Didi Kempot.

Dan ia tampak bahagia walau sedang menyanyikan lagu-lagu melo. Aku menunggu di luar sekira sejam. Sampai gusku keluar dan langsung memberikan dawuhnya, “Jodoh, rizki, dan mati itu dari Pengeran, Mas. Sampean memang nggak kuat punya istri hafidz. Sampean tidak layak mendapatkan amanah itu. Dzikirnya Indri itu istikamah.”

Aku diam. Tapi hatiku tersentak. Merasa bersalah karena beberapa hari lalu aku bangun saat subuh, hingga tidak kebagian tahajud dan amalan Yasin yang beliau kasihkan. Laku prihatin untuk menjemput Indri.

Baca juga:  Hape Telolet Untuk Jono

Inikah alasannya? Batinku.

Mendongak, memberanikan diri menatap wajahnya, ia balik menatapku tajam. Aku salah tingkah. Tingkahku semakin salah ketika secara berurutan ia melihat tajam ke hape di sakuku, lalu menatap tajam mataku, kemudian memperhatikan telapak tanganku. Seakan dia tahu apa yang aku lalukan malam kapan dengan hape, mata, dan tanganku.

Dan tatapannya seakan memberi jawaban bahwa itulah yang membuatku tak berjodoh dengan Indri….

Tanpa banyak bicara, setelah tahu jawabannnya lewat sorot matanya, aku segera pamit.

Sepanjang jalan aku terus bertanya, waktu itu, kenapa Indri harus dengan Kang Soleh. Kang yang mengantarku berkenalan dengan Indri?

Entahlah. Aku sendiri tak tahu gus macam apa dia. Seringkali sikapnya tak bisa difahami. Dan aku tak hatus tahu bagaimana sikap dan pikirannya bisa begitu.

Aku kadang juga gelisah saat bertemu dengannya. Segala hal yang kulakukan dia tahu. Segala yang datang membawa persoalan, dia bisa mencarikan solusinya di kitab-kitabnya yang hampir dua lemari penuh.

Sekali tempo, ia curhat tentang mantan-mantannya. Sungguh gus yang kurang lazim, masak gus pacaran. Sekalipun hanya surat-suratan, tapi itu kurang kaffah.

Setelah Soleh dan Indri lenyap ditelan tarup agung dan berbaur dengan tamu yang mulai berdatangan, aku masuk ke ruang paes untuk mengambil beberapa gambar. Dan aku tak habis pikir lagi kenapa aku harus mengabadikan pernikahan Fatimah.

Masuk ruangan paes, dan Galuh tersenyum manis padaku. Aku masih ingat betul kapan pertama kali melihat wanita agung yang ‘pembawa’ Alquran dan qiro’ah sab’ah di depanku ini.

Waktu itu Gus Yahya datang ke rumah, setelah seminggu Indri dan Kang Soleh menikah. Lalu mengajakku jalan entah kemana, yang ujungnya mampir ke rumah Galuh, anak Kiai Ridho, di pesisir selatan Yogja. Yang sekarang Galuhku di depanku kini.

“Saya nderek Gus Yahya saja. Saya percaya Gus Yahya akan memberikan yang terbaik untuk anak saya.” Jawab kiai Ridho, waktu itu, setelah Gus Yahya memohon ijin untuk mengenalkan putrinya denganku.

Dan tepat setelah itu, gadis yang bernama Galuh muncul dari balik tirai. Berjalan dengan lutut, tangannya menyangga baki, berjalan sambil menunduk, celak tebal di kedua matanya, gelang tasbih melingkari tangannya, tubuh kurus karena kuatnya tirakat; sempurna sekali sebagai seorang santri.

“Apa tidak telalu sempurna, Mas, kalau si Galuh itu buat saya?” Aku beranikan bertanya saat perjalanan pulang.

“Jodoh siapa yang tau, Mas?” Jawab Gus Yahya. Lalu diam. Tak meneruskan jawab pertanyaanku setelahnya, sepatah katapun.

Dan saat seperti itu, saat gusku hanya diam, pertanda ia sedang tidak mau dibantah dawuhnya. Aku hanya boleh diam sambil menunggu perintah berikutnya. Apalagi setelah kejadian Indri, aku masih dikasih kesempatan lagi.

Sambil menunggu momentum di antara sela tukang rias yang mempercantik wajahnya, sesekali kuarahkan lensa padanya. Galuh sempat tersenyum ke arahku sekali. Entah mengapa hari ini senyumnya manis sekali. Sambil mengambil gambarnya sambil kupuaskan menikmati wajahnya. Saat perias menguaskan sesuatu di pipinya, aku menjepret alisnya yang tebal yang terlihat sempurna. Gigi kelincinya sesekali nongol saat bibir merah tipisnya merekah.

Di antara lamunan dan jepretan kamera, Gus Yahya muncul dari ruang sebelah. Mengenakan kain batik dan surjan, juga blangkon khas Yogja, kharismanya semakin menjadi. Ia mengampiriku seperti tanpa rasa bersalah.

Baca juga:  Tujuh Alasan Mengapa Santriwati adalah Pilihan Ideal Dijadikan Istri

“Sehat, Mas?” Sapanya ramah mendahuluiku.

“Alhamdulillah. Pengestu panjenengan, sehat wal’afiat, Gus.” jawabku sedikit canggung. Aku bersalaman, berusaha mencium tangannya, dan seperti biasa, ia menarik tangannya cepat.

Dialah. Iya. Iyalah gusku. Gusku yang akan menikahi perempuan yang ia kenalkan padaku. Keadaan yang hampir mustahil, mengingat ialah junjunganku. Panutanku. Orang yang sangat aku hormati. Tapi ialah yang mengkhianatiku. Menikamku dari belakang.

Sebulan lalu, seminggu setelah aku main ke rumah Galuh diantar gusku, dan dalam kurun waktu seminggu itu aku dan Galuh memuaskan diri saling berkenalan lewat chat, Kiai Fadhilah, abahnya gusku, melamarnya untuk gusku. Lamaran yang tidak mungkin ditolak ayahnya Galuh karena, selain Galuh adalah santrinya Kiai Fadhilah, ayahnya Galuh adalah teman Kiai Fadhilah sewaktu mondok di Krapyak.

“Sudahlah, Mas. Jangan bersedih. Sampean tidak bahagia melihatku menikah?” Lanjut Gus Yahya menghancurkan lamunanku. Ia kemudian menyeret lenganku menjauhi Galuh yang sedang dirias. Lalu berbisik padaku, “Aku sudah lama naksir sama Galuh, dia pun sebaliknya, Mas.”

“Tapi, Mas?” Sahutku cepat. Dengan berbisik pula.

“Aku kasihan sama sampean waktu itu, hingga aku ikhlaskan Galuh untuk sampean.”

“Kok hasilnya?”

“Sampean ingin aku membantah orang tua?”

Glek. 

Inilah yang menurut istilah politik sedang terjadi konflik kepentingan. Perintah orang tua adalah mutlak di lingkungan dzuriah, hingga bahasan tentang cinta dan hati yang patah hanyalah omong kosong belaka. Dan tepat di posisi ini, kepentinganku dan bhaktinya pada orang tua bertabrakan. Dan akilah korbannya.

“Tapi Galuh waktu itu menyukaiku, Gus!”

“Karena Galuh nurut kalau sama aku!” Saut Gus Yahya cepat. Dengan nada tinggi.

Aku diam. Aku memang sudah harus diam. Karena suasananya menunjukkan kalau aku hanya harus diam saat nada suara gusku sudah mulai meninggi.

Sekarang suasananya menjadi kikuk. Aku tundukkan wajahku. Suasana hening. Saling kikuk.

Gus Yahya kemudian mengeluarkan hapenya, mengarahkan layar hapenya padaku. “Cantik ini, Mas! Selesai 25 juz. Santrinya Bu Lek Aini. Komplek K. Temannya Galuh.”

Setelah kuperhatikan sekilas, lalu aku mataku memandang gusku. Aku menatapnya tajam, berharap bahwa ia paham bahwa mataku sedang bertanya ‘yang bener, Mas?’.

Dan gusku menjawab ‘nek sampean mau?’ lewat matanya.

“Aku mesakno sampean, Mas. Yang lain sudah bulan madu, sampean makin menjadi bulan-bulanan. Ketika yang lain nyandung nyampar, pada ‘payu rabi’, sampean kulihat makin kesandung-sandung dan kesampar-sampar. Haahaha…”

Tawa gusku terbahak, seakan sedang merasa puas sudah bisa menertawaiku. Awalnya aku hanya senyum, kecut. Kemudian akupun ikut tertawa. Dua orang tertawa bersama tapi lontelsnya berbeda: Ia menertawaiku, sedang aku menertawai nasibku. Dan tawa kami seakan mengampuni dosa pengkhianatannya padaku.

Hingga tawaku terhenti saat seorang santri putri masuk membawa baki berisi teh dan jajanan. Aku menduganya santri karena selain celak tebal di matanya, juga gelang koka dan gelang akar bahar melingkar di pergelangan tangannya.

Aku segera menatap ke arah Gus Yahya, memberi pertanyaan lewat mata apakah santri pembawa baki itu adalah foto di hape gusku tadi.

Gus Yahya kemudian mendekati gadis itu, “Nduk, ini yang mau saya kenalkan sama sampean. Mas Idjam, namanya …”

Santriwati itu mendongak ke gusku, lalu mengarahkan pandangannya padaku. Aku lempar senyum padanya. Ia membalas tipis. Aku beranikan mendekat ke arahnya, memberanikan diri bertanya, “Gus Yahya kalau memanggil sampean siapa?”

Ia bengong sebentar, setelah paham dengan maksud pertanyaanku, ia menjawab lirih malu-malu, “Tika, Kang ….”

Komentar Facebook
0