Ta’dzim (Episode 3)

Ilustrasi oleh: instagram.com/tsalisunisae

Seperti balap motor, sekencang-kencang gas ditarik, salip-menyalip, namun hanya berputar-putar di sirkuit. Tapi tak pernah kemana-mana, hanya di situ-situ saja. Itulah yang dirasakan Burhan. Perjuangannya seperti tak menuai hasil.

Tak mau rasa kalutnya terbawa pulang, Burhan mengarahkan motornya ke Curug Kaliurip, untuk menenangkan diri. Berharap suara gemercik air meringankan rasa suntuknya.

Setelah motor diparkir, segera ia susuri jalan setapak menuju curug. Di setiap tapak kaki yang tertinggal, Burhan berharap kalutnya juga tertinggal. Berharap semilir angin yang sejuk mengipasi hatinya yang panas. Pikirannya melayang entah ke mana sekalipun matanya masih sadar jalan menuju curug.

Saat hawa sejuk mulai merasuk, sebuah suara yang tak asing di telinga memanggil, “Han, Burhan!”

Burhan menoleh. “Gus Dion?” Batin Burhan. Ingatannya lalu tertuju saat ia masih di pondok. Ia mengenal Dion karena Gus Aris, gusnya di pondok.

Tersenyum ia, lalu menghampiri lelaki itu. “Mancing, Gus? Sendirian?” Sapa Burhan sambil membungkuk, kemudian meraih tangan Dion.

“Dapat, Gus?”

“Untuk hiburan, Kang. Sampean ngapain di sini?” Tanya Dion sambil meraih joran pancingnya. Lalu menggulung senar. “Stres? Masalah cewek? Haa…” tawa Dion mengejek.

Burhan tak menjawab, senyum-senyum, sambil mencari batu yang enak untuk duduk. “Kayaknya sampean sudah menjadi wali, Gus!” Canda Burhan.

“Wali? Wali ulo, Kang? Hee…”

“Nyatanya bisa menebak.”

“Ndak perlu jadi wali Kang untuk menebak setiap santri yang baru boyong. Lha pasti masalahnya ya cuma itu to?”

“Ada solusi Gus?”

“Pacarmu bimbang?”

“Dari mana tahunya Gus?”

“Kalau ndak stres ya ndak akan main ke sini sendirian.”

Burhan tersenyum.

“Setiap santri yang mau nikah, minimal pilihannya ada tiga. Itu rumus.”

“Maksudnya, Gus?”

“Berapa cewek yang sampean taksir, sekarang?”

Burhan tersenyum kecil. Tanda bahwa perkataan Dion benar. Tapi kurang tepat karena hanya Lili yang benar-benar di hatinya.

Burhan tak melanjutkan tanya saat melihat Dion sibuk menggulung kailnya.

“Bajingan! Apa ini? Haha…” tawa Dion sambil menunjukkan apa yang ia dapat ke Burhan.

Kali ini Burhan tersenyum mengejek balik ke Dion. “Rejeki Gus. Itu namanya…”

Dion kemudian sibuk membereskan celana dalam yang menyangkut di kailnya. “Asyu, bolong-bolong gini…” Keluhnya lirih.

“Cewek itu emang narsis keterlaluan…” gumam Burhan.

“Kok sinis, Kang?”

“Bukan. Itu ini lho, Gus, celana dalamnya.” Jawab Burhan sambil menunjuk celana dalam yang dimaksud. “Wong ndak kelihatan aja kok pakai motif kembang-kembang.” Jawab Burhan setengah menggumam.

Kali ini Dion senyum-senyum sendiri mendengar perkataan Burhan.

Setelah hening, Dion melanjutkan pertanyaan, “Bener stres, Kang? Gabut?” Lalu melemparkan kail ke kedung di depannya.

Baca juga:  Moral Pesantren Masa Kini; Mulai Perut ke Kepala atau Perut ke Kaki?

“Jodoh itu seperti bayangan ya Gus?”

Dion melemparkan pandangan ke Burhan. Dia berusaha memahami ucapan Burhan.

“Saat kita diam dia menari-nari. Saat kita kejar, dia berlari.” Lanjut Burhan sambil melempar matanya ke dedaunan di atasnya. Lalu merebahkan punggungnya di rerumputan.

“Bisa juga seperti itu. Tapi, jika kita yakin, jodoh itu seperti bayangan; dia ada dan selalu membayangi kita. Ia sangat dekat, Kang. Dia bisa juga seperti akik. Saat kita diam, bisa saja dia menghampiri.” Balas Dion sambil merogoh sakunya, mengeluarkan rokok dan korek.

Burhan yang tersentak mendengar ucapan Dion bangkit dari rebahannya. Memperhatikan Dion menyulut rokok, menyesap panjang, lalu menghamburkan asapnya sekuat tenaga. Lalu mengulungkan rokok ke Burhan.

Sambil mengambil rokok dari tangan Dion, Burhan memberanikan diri bertanya, “Jenengan juga sama Gus? Galau? Ndak biasanya mancing sendirian. Jauh lagi.”

“Jauh?”

“Pituruh ke sini kan jauh Gus. Sendiri lagi.”

“Ngantar adikku main ke temennya.” Jawab Dion lalu melipat tangan, lalu ditaruh di atas lututnya, kemudian memperhatikan ujung joran pancingnya. “Deket. Di sini. Tapi biasa saja. Standar.” Sambil tangannya menuding ke arah kampung.

“Jenengan tinggal?”

Dion menatap Burhan, “Dikenalkan sama temannya.” Jawab Dion sambil meraih ponsel.

Dion tersenyum melihat ponselnya. “Senang bertemu lagi dengan jenengan Gus.” Chat dari Lili.

“Dasar cewek.” Ucapnya lirih. Lalu membalas, “Bapakku ketemu bapakmu kemarin kapan. Kebetulan aku kenal kamu.”

“Siapa, Gus? Yang lain lagi?” Burhan menelisik.

“Temen di Mbulus, Kang.”

“Kok senyum-senyum? Pacar Gus?”

“Ndak tahu Kang.”

“Temannya adik yang jenengan ceritakan tadi?”

“Bukan.”

Burhan tersenyum. Lalu melempar canda, “Enak ya Gus, kalau jadi gus. Repot nolak daripada lelah mencari.”

“Sama aja, Kang. Itu hanya pandangan sampeyan saja. Sementara kita itu, hanya butuh satu kok. Dan menanggung beban beberapa yang patah hati. Di situ beratnya.”

“Terus yang ini,” Burhan menunjuk ke arah kampung dengan dagunya, “temennya adik jenengan?”

“Bukan dikenalkan. Aku disuruh nganter, sekalian melihatnya. Apa saya suka atau ndak. Jadi ndak kenalan, gitu. Menyamar.”

Burhan diam. Ia membayangkan posisinya adalah seorang gus. Banyak pilihan tentu saja lebih mudah memilih daripada memperjuangkan seseorang dengan hasil yang belum jelas.

“Sampeyan mau dengan temannya adikku? Cantik kok.”

Sekalipun mau, tapi Burhan malu untuk menjawab ‘iya’.

“Gus Aris dimana sekarang?” Dion merubah arah pembicaraan. Padahal Burhan berharap ia meneruskan tentang teman adiknya.

“Terakhir ke pondok, katanya, Gus Aris pergi terus. Ngalap barokah, katanya. Empat-puluhannya pindah-pindah.”

Baca juga:  Gus Macam Apa (Episode 2)

Dion kemudian diam. Tanpa sebab. Burhan juga diam.

Burhan mengingat kembali saat awal bertemu Dion. Saat Dion mencari Gus Aris, Burhanlah yang selalu mencarikannya. Karena Gus Aris tak pernah di pondok, selalu main entah kemana. Seperti ta’dzim santri pada umumnya, Burhan tak akan pulang sebelum Gus Dion ketemu, demi tak mengecewakan setiap tamu yang sowan ke ndalem. Semakin lama, sebelum Dion datang, Burhan yang selalu dihubungi, karena Gus Aris tak pegang ponsel.

Juga, karena Burhan santri ndalem, kemanapun perginya Gus Aris, Burhan yang selalu diminta menemani.

Siang itu, seperti sungai yang mengalirkan air dari Curug Kaliurip, perbincangan mereka mengalir dan gemericik. Perbincangan masuk ke ranah pribadi. Mengorek masalah apa, kenapa, mengapa, lalu dikomentari.

Seperti disiram embun, Burhan merasakan sejuk di dekat Gus Dion. Setelah beberapa puntung rokok mereka lemparkan, setelah Dion menerima pesan dari adiknya, keduanya beranjak.

“Pulang, Kang. Sudah sore.” Ucap Dion sambil melangkah meninggalkan sungai.

“Kesimpulannya, Gus?” Tanya Burhan sambil mengikuti Dion.

“Usaha tak mengkhianati hasil, Kang. Perempuan itu hanya perlu diperhatikan tanpa lelah. Diperjuangkan. Ia juga butuh laki-laki. Saat ia sudah jatuh ke sesuatu yang nyaman, ia tak mau pergi ke lain hati.”

“Tapi, Gus, kata jenengan tadi, setiap santri yang mau menikah minimal ada tiga pilihan?”

“Pertanyaanmu karena kamu kurang pede, Kang. Itu saja.”

“Itu saja Gus?”

Yang paling penting, perempuan itu punya kemandirian dalam memilih. Mutlak. Tak dapat diganggu gugat. Ini yang tak bisa diusahakan.” Dion berhenti sebentar lalu berucap: “Dan yang lebih penting dari itu, cewek itu lebih mengandalkan insting.” Sambil menunjuk kepalanya sendiri dengan telunjuk.

“Biar sampeyan semangat lagi, ingatlah yang baik-baik dari cewek sampeyan; tentang harapan yang dia berikan dan senyuman termanisnya.”

“Itu bisa membantu, Gus?”

“Enggak. Supaya sampeyan ndak bunuh diri aja.” Kata Dion sambil meninggalkannya. Lalu tertawa ngakak dengan nada mengejek, puas.

Burhan diam, karena mungkin yang dikatakan Dion benar, ia kurang ‘pede’. Tapi kemungkinan kedua lebih telak menyerang jantung, menyesakkan, percaya diri tak bisa memaksa perempuan merubah keputusannya.

Saat sebelum sampai parkiran, setelah mereka berpapasan dengan sepasang remaja yang sedang menuju curug, Dion berbisik ke Burhan, “Bawa nasi, Kang?”

“Apa Gus?”

“Bawa nasi?”

“Buat apa Gus?”

“Ada lauk.” Jawab Dion sambil mengakat dagunya dan melirikkan matanya ke samping, memberi tanda ke Burhan untuk melihat ke belakang.

Setelah menengok ke belakang, Burhan hanya mendapati sepotong celana gemes menempel di pinggang seorang gadis yang sedang dirangkul seorang lelaki. Tak paham dengan maksud Dion, Burhan berbisik, “Lauk, Gus?”

Baca juga:  Ta'dzim (Episode 2)

“Paha!” Bisik Dion sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Tertawa lirih.

Kemudian mereka berdua menengok ke belakang bersamaan. Lalu, sambil berjalan, mereka terus tertawa cekikikan.

“Gus kok pikirannya mesum.” Sergah Burhan setelah mereka jauh.

“Pandangan pertama kan rejeki to Kang. Yang haram itu melihat yang kedua. Haa…”

Di parkiran, sesaat sebelum Burhan mengambil motor, pandangnya menempel ke dua gadis berjilbab. Yang mengherankan, keduanya melempar senyum ke arahnya. Ia membalas senyum. Dadanya semakin berdetak saat keduanya berjalan ke arahnya. Saat mereka semakin dekat, Burhan menepuk pundak Dion, lalu berbisik, “Cewek, Gus!”

Dion kemudian mengangkat satu tangannya, melambai ke arah dua gadis itu. “Kenalkan, Kang. Yang ini Rina, adikku.” Dion mengenalkan yang berjilbab kuning kembang-kembang. “Ini Antika.” Lanjutnya mengenalkan yang berlesung pipit dan celak tebal di matanya.”

Burhan menundukkan kepala ke mereka berdua bergantian, sambil sedikit mencuri pandang. “Saya Burhan.”

“Kok sudah pulang, Mas? Kan baru aku susul.” Rina menyerang Dion dengan suara manja, seakan sedang tebar pesona ke Burhan.

“Kenapa nyusul?”

“Lama sih, Mas. Ya udah, traktir kelapa muda aja di situ.”

“Pulang aja, besok lagi lah.”

Dua gadis itu tampak tak suka dengan jawaban Dion. Tapi mereka tak membantah.

Burhan tentu saja kecewa dengan keputusan Dion. Setidaknya ia berharap bisa bercengkrama dengan dua gadis itu lebih lama. Jika sampai tak ada percakapan, tentu saja hanya sebatas kenalan tanpa harapan.

Saat Rina dan Antika membalikkan motornya lalu jalan, Dion memberi aba-aba ke Burhan untuk mendekat. “Antika cantik Kang? Kalau mau, sikat aja!”

Burhan menatap tajam ke Dion.

“Santri Daruttauhid. Temannya adikku waktu mondok.”

“Adik sampeyan lebih cantik juga, Gus?” Hampir Burhan berkata begitu, tapi tak berani.

“Biar nanti adikku yang nyomblangin sampeyan.”

Burhan tersenyum gembira. “Ada dawuh tentang masalah saya tadi Gus.”

“Anu aja, Kang. Emm… ini… emm… Jangan sampai lah, urusan beginian membuatmu lupa apa itu agama! Menikahnya sunah, tapi cinta-cintaannya adalah mara bahaya.”

Burhan merasa dialah orang yang tertuduh dalam bahaya.

“Istri itu hanya teman menunggu mati. Bukan tujuan hidup yang sebenarnya. Nanti aku hubungi sampeyan. Intinya mau kan, kenalan sama Antika?” Ucap Dion lalu menarik gas motornya.

Burhan seperti mati gaya mendengar kalimat terakhir Dion. Membisu. Tak dapat berkata apa. Ia lalu beranjak ke motornya setelah motor Antika dan Rina hilang ditelan belokan.

Komentar Facebook
0