Gus Macam Apa (Episode 2)

Penulis: Jintung Idjam

Sementara gelisahku tak kunjung dapat solusi, gusku bulan madu entah kapan pulang, aku takut Tika diambil orang. Buah masak siapa yang tahu, siapa duluan yang memetiknya.

Keinginan memanglah adalah sumber penderitaan. Sementara senyum Tika masih terus membayangi malam-malamku yang sunyi, hatiku berontak ingin segera bertemu dengannya. Aku juga merasa, lewat mata dan senyumnya, ia selalu mengingatku saat dia merasa lelah dengan deresannya. Aku merasakan itu. Dan ia pasti merasakannya.

Tapi, keyakinan dan bayangan tidak mungkin lebih nyata dari sebuah pertemuan, sekalipun akhirnya pahit. Setidak chat-an, akan lebih nyata dibanding hanya saling berkirim Fatihah.

“Saya belum tahu kapan pulangnya, Mas. Sedang sibuk ini.” Balas gusku saat kutanyakan kabarnya. Sekalipun aku hanya tanya kabar, ia tentu saja faham apa yang kumaksud.

Tapi kata ‘sibuk’-nya tentu saja membuatku geli. Sibuk apaan? Sibuk mengarungi malam syahdu bersama Galuh di hotel mewah di sekitaran Mekah? Menggandeng tangan Galuh sambil menikmati gemerlap cahaya dari gedung-gedung tinggi yang mengelilingi Ka’bah?

Tiga hari umroh lalu selebihnya, setiap malam membacakan puisi-puisi kasamaran dari Kahlil Gibran untuk Galuh? Lalu Galuh sesekali memeluknya dari belakang saat ia sedang melihat malam di jendela hotel dari lantai atas memandangi Ka’bah yang agung sambil sesekali mengucap ”subhanallah” untuk mengagumi bulan madunya yang suci karena dilakukan di Tanah Haram?

Sementara aku masih bingung bagaimana caranya menghubungi Tika, dan hanya bisa mencumbui bayang-bayang Tika? Gus Macam Apa, itu.

Tapi aku bisa apa!

Tapi ternyata aku bisa berbuat sesuatu. Seminggu setelah tiap malam mengirimkan Fatihah, ada sebuah chat masuk. “Kang, saya temannya Tika …”

“Iya, gimana. Ada yang bisa saya bantu?” Balasku pura-pura menawarkan bantuan. Walau aku sebenarnya tahu apa maksud chat-nya.

“Aku sudah ngobrol sama Tika, dan dia senyum-senyum saat saat kutanya tentang sampean.” Balasnya. Dan tebakanku tidak meleset, ialah comblang yang dikirim Gus Yahya. “Sampean gimana?” Lanjutnya.

“Aku ikut saja …” balasku pendek. Juga berusaha mengirimkan sinyal bahwa aku tenang. Sabar. Tidak grusah-grusuh menghadapi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tika. Sekalipun tidak demikian aslinya. Aku hanya pura-pura tenang.

*

Sore hari sehabis Asar, saat aku sedang mencari rokok koperasi pondok, Siska muncul. Memberiku kode untuk keluar sebentar, duduk di bawah pohon rambutan di luar koperasi. Selain menanyakan keseriusanku, ia juga menanyakan sejauh mana kapasitas dan reputasiku. Semua perfect, kukira.

Baca juga:  Eric dan Kiai Setempat

Langkah selanjutnya, ia yang mengambil alih semua masalah terkait Tika. Ia mengatakan akan bertanggungjawab penuh tentang hubunganku dan Tika untuk selanjutnya. Roboh dan berdirinya hubunganku ada di tangannya, sekarang.

*

Sore itu aku berdandan total untuk ketemuan dengan Tika. Total tapi seadanya. Aku juga bingung menjelaskannya. Sudahlah, lewati saja bagian ini. Hee…

Di sebuah tempat bernama Piramid, di Jalan Parangtritis, sore itu kita janjian untuk ketemuan. Sepanjang jalan aku juga masih enggak percaya, apa maksud dan tujuan pertemuan itu. Masih kurang lima juz, tentu bukan hal ideal untuk sebuah pertemuan model beginian.

Lima juz terakhir itu sedang berat-beratnya. Karena selain harus merawat dua puluh lima juz yang sudah didapat, lima juz terlahir godaan utamanya akan sangat kuat: ingin cepat menikah. Itulah godaan utamanya. Tika paham godaan itu.

Dan reputasinya sebagai calon hafidz dipertaruhkan di sini. Dan akulah penggodanya. Akulah yang menghalanginya menyelesaikan lima juz terakhirnya.

Aku tahu ini belum saatnya, tapi apa boleh buat, Gus Yahya yang perintah. Akupun menyukai senyumnya. Dan sorot matanya waktu itu juga mengisyaratkan hal yang sama. Atau aku salah duga waktu itu? Entahlah.

Sampai di Piramid, hal pertama yang aku tak habis pikir adalah, setelah aku bertanya ke Siska, ternyata bukan Gus Yahya yang menyuruhnya mengenalkan aku pada Tika, namun Gus Fatih, putra bu nyainya Tika.

Saat kutanya mengapa Gus Fatih menyuruhnya, dia pun tak tahu alasannya. Dia menjawab hanya nderek dawuh.

Mungkin Gus Yahya minta tolong Gus Fatih? Entahlah.

Sepanjang sore itu, aku hanya mengobrol akrab dengan Siska. Sesekali kucuri pandang ke Tika. Selain dianya pendiam, aku juga enggak mau salah kata di depannya. Tujuanku cuma satu; melihat raut wajahnya. Melihat caranya menjawab pertanyaan dan memperhatikannya mendengarkan orang bercerita. Itu saja. Tidak ada yang lain.

Aku dan Siska sama sekali tak membahas apa inti pertemuan itu. Aku hanya mengikuti arah pembicaraan Siska. Dan aku mulai menyukai saat dia cerita tentang Gus Fatih. Gus yang aku rasa, sebagai manusia normal, dia sedang galau-galaunya.

Baca juga:  Dukun Selawat

Aku tahu karena ia juga teman cangkrukan. Gus sejati. Gus asli. Gus yang berstatus sebagai pewaris tunggal sebuah pondok pesantren milik budhenya yang telah mengangkatnya menjadi anaknya. Santrinya ribuan. Dan statusnya sebagai pengganti pamannya baru saja digenggamnya. Dan urusan jodohlah masalah salanjutnya.

Iya, masalah. Masalah kerena ibunya punya jagoan untuknya, sedangkan ia tak berani bilang bila sudah punya calon sendiri.

Benar-benar sebuah masalah pelik urusan percintaan di dunia pesantren.

Saat Siska sedang asik-asiknya bercerita, kubertanya dalam hati: kenapa Tika hanya diam saja?

Dan tepat sesaat setelah kudengungkan namanya, Tika tiba-tiba saja mencuri pandang. Dan mata kita bersatu beberapa saat. Aku yang kepergok mencuri pandang tidak begitu saja menarik mataku. Karena rasa gengsi itu ada, masak laki-laki menunduk saat bertatap mata dengan perempuan yang dipujanya.

Tapi legenda itu benar adanya; mata wanita bisa mengacaukan fokus para pria. Dan bayanganku tentang Gus Fatih hilang sekeTika.

Aku lalu memfokuskan pandangan ke Siska yang masih antusias menceritakan tentang Gus Fatih. Namun di hatiku masih melekat celak di mata pujaanku, caranya tersenyum, caranya menundukan wajah setelah bertemu mata. Dan jilbab bunga-bunga yang ia kenakan sangatlah membuatnya tampak sebagai wanita yang agung malam ini.

Perbincangan berjalan dengan landai-landai saja. Tak ada bahasan tentangku dan Tika. Dan aku suka. Aku cukup mengetahui Tika dari gerak-geriknya saja. Semoga aku tidak salah duga. Ia menyukaiku, itu perkiraanku.

Tapi itu hanya perkiraan, tapi hatiku tidak mengatakan yakin. Perkiraan ya hanya perkiraan, hanya khayalan. Sedang keyakinan adalah kepastian. Aku belum yakin, sekalipun otakku mengatakan iya.

Namun tiba-tiba angin semilir, mendung di atas Piramid menyingkir, saat Siska pamit ke belakang. Dan aku menyukai keadaan ini: kami saling diam, tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, dan lama sekali tak ada yang mau memulainya.

Hanya jantung yang suara detaknya semakin keras, semakin terdengar di telinga. Sesekali dia membuang muka saat mencoba mengangkat dagunya menatapku tapi mata kita bertemu. Ia satukan tangan, ditaruh di atas pahanya. Matanya melirik ke kiri lalu ke kanan, tampak bingung menaruh tatapannya ke mana.

Baca juga:  Dua Sejoli Santri Ndalem

Sesekali tangannya membenahi jilbab dan bajunya, menandakan ia tidak pede. Kakinya yang jinjit bergerak tak henti-henti, mirip penggebuk drum memainkan bassnya. Sangat sempurna; caranya malu dan salah tingkahnya sudah benar. Dialah gadis itu.

Aku sesekali menunduk, tapi mataku menyebar. Memperhatikan setiap inci gerak-geriknya. Dadaku berdebar parah saat bibirnya sesekali merekah. Tersenyum. Seakan aku ingin bercermin saat itu, supaya bisa membenahi rambutku kalau-kalau tidak pada tempatnya.

Lima menit berlalu serasa sangat lama. Suasana masih hening. Kita berdua seakan mati gaya. Namun asyik, rasanya.

“Aku masih 25, Kang.” ia memulai pembicaraan dengan suara lirih.

“Oh ….” jawabku. Lalu melemparkan mataku ke matanya. Ia menunduk.

“Aku masih jauh …”

“Aku punya seribu tahun untuk menunggumu.”

“Aku dilarang jatuh cinta, Kang.”

“Siapa yang melarang?”

“Keadaan …”

“Apakah godaan saat hampir selesai itu bertemu orang yang mengajak nikah?”

Sampean pasti juga sudah tahu itu, kan?

“Kita sedang berdua di sini. Untuk apa?”

“Nderek kata Gus Fatih, Kang.”

“Hanya itu?”

“Hanya itu, Kang!”

Hening. Aku tak tahu harus mengarahkan pembicaraan ke mana. Dari jawabannya, ia belum ada rasa. Atau ia sedang menyambunyikan sesuatu?

Saat Siska sudah balik dari kamar mandi, suasana menjadi hening lagi. Dan suasana kembali normal, mulai menjemukan. Dan saat setelah azan isya’ terdengar, Siska pamit balik. Takut kemalaman sampai di pondok.

Sungguh pertemuan yang hampir sia-sia. Tidak ada progress. Tak ada jawaban bahwa ia memintaku menunggunya. Dan itu adalah jawaban, kurasa.

Sekalipun begitu, masih samar, tali sungguh, dia adalah sebuah mimpi yang sempurna.

Bukan Tuhan, aku manusia. Manusia adalah manusia. Bukan Tuhan. Hanya berhak meminta, bukan menentukan.

Sore itu benar-benar hambar. Menyebalkan. Namun malamnya agak berbeda, saat Siska mengirimkan fotonya dengan mengenakan sandalnya Tika.

“Jangankan melihatnya, melihat sandalnya pun aku bahagia.” Balasku.

Siska mengirimkan emoticon ketawa terbahak-bahak.

“Kang, tahu nggak, dia sampai di pondok senyum-senyum, lho. Dan teman-temannya menyorakinya. ‘Wah, jadi kondangan ni nanti’, gitu kata teman-temannya.”

“Ia jawab gimana?”

“Ia senyum-senyum.”

Ah, kalau hanya senyum. Hitler pun tersenyum. Batinku, sadis. Karena malas mendengar selain kata ‘iya’. Karena aku kadung punya harapan.

Komentar Facebook
0