Virus Bernama Suhita dan Enak Tidaknya Dijodohkan Bagi Santri

Foto oleh: Niam

Suhita adalah judul dari cerbung gubahan Khilma Anis, penulis novel Jadilah Purnamaku, Ning dan Wigati. Tokoh utamanya bernama Alina Suhita seorang santri yang, sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah sudah dijodohkan dengan Al Birruni,  seorang gus pewaris tunggal dari sebuah pesantren ternama.


Setelah melewati berbagai perjuangan panjang agar bisa menjadi seorang yang pantas disandingkan dengan Gus Birru, tibalah hari pernikahan yang diimpikannya.
Tapi apa yang dikatakan si Gus di malam pertama? “Aku mau nikah sama kamu karena Umi, aku tidak mencintaimu, atau tepatnya belum mencintaimu.” Maktratap, Suhita perasaannya menjadi butiran debu.

Sejak itu, dimulai lah perang dingin antara Suhita dan Birru. Tak pernah ngobrol, bercanda, alih-alih bermesraan. Hanya ketika di depan orang tua dan kondangan saja, berakting layaknya pengantin (baru).

Satu hal yang bikin gregetan dari novel ini tentu saja  adalah betapa cuek-bebek-angsanya Gus Birru yang belum bisa mencintai Suhita, tapi tak pernah ada usaha sedikit pun untuk jadi lebih dekat hingga mencintainya.
Namun menurut saya, hal yang paling menarik menurut saya adalah betapa teguhnya Alina Suhita memegang nilai-nilai filsafat Jawa yang luhur. Alina tak ingin menyerah karena dalam namanya tersemat suhita, yang diambil dari nama  seorang ratu tangguh dari Majapahit bernama Dewi Suhita.

Dalam novel ini memang banyak cerita yang diambil dari cerita pewayangan, juga banyak tokoh yang dianalogikan dengan tokoh wayang. Penulis novel ini begitu apik dalam ngemix cerita tentang perempuan, kepesantrenan dan filsafat jawa.
Tiga variabel yang masih jarang menjadi fokus sastra di Indonesia.

Nah, saking bagusnya cerbung yang kemudian akan dijadikan novel ini, meledaklah ia di fesbuk.  Para warganet yang kebanyakan perempuan sedang heboh-hebohnya membicarakan tentang Suhita. Topik Suhita seperti virus flu yang gampang menular, dibicarakan di mana saja , dijadikan status fesbuk dan wasap bahkan jadi pembuka iklan olshop. hehe.
Bahkan, di grup wasap alumni pondok saya yang isinya kebanyakan ibu-ibu muda, heboh dan sibuk berkomentar “Duh baper tenaan moco Suhita. Nganti anakku nangis tak jarno.”

“Iyo, Yuuu, asah-asahanku sakgunung kae yo tak jarno, ketungkul moco suhita, wkwkwkwk.” Timpal yang lain.
Ada juga yang komentarnya unik “Makane aku  emoh dijodokne, wedi dadi koyo Suhita.”

Suhita sebagai pengantar saja, jadi begini, apakah dijodohkan semengerikan itu, termasuk bagi santri?

Perjodohan, apalagi di kalangan santri dan keluarga kiai, merupakan hal yang sangat jamak terjadi, hingga dianggap sebagai wajar dan biasa saja. Biasanya santri akan manut-manut saja saat dijodohkan oleh gurunya, kecuali bagi yang tidak manut tentunya, tak peduli  betapa asingnya calon istri atau suaminya tersebut.
Bahkan dalam keluarga kiai, praktik perjodohan sudah jamak dan sangat umum terjadi, biasanya juga sesama keluarga kiai agar kedua pesantren saling berhubungan kuat.

Namun, sebagaimana segala sesuatu  yang ada di muka bumi ini dan sebagaimana yang pernah dikatakan Sudjiwo Tedjo “Di dunia ini apa sih yang tidak paradoks?. Karenanya, yang namanya perjodohan pasti ada enak dan tidaknya.
Salah satu hal yang paling enak dari dijodohkan kiai adalah  calon yang diajukan insyaallah terjamin kualitasnya. Ciye kualitas, kayak barang aja, Om?

Bagaimana pun guru atau kiai adalah orang yang kita luhurkan derajatnya sebagai orang yang kita percaya sebagai alim dan dekat dengan gusti Allah, sehingga  tidak sembarang menjodohkan. Pasti ada pengamatan secara lahir dan batinnya. Kemungkinan besar juga, sebelum menjodohkan, sang kiai melakukan salat istikharah, sehingga santri tidak perlu repot-repot lagi untuk berpikir. Tinggal manut saja.

Baca juga:  Ruang Baca Pembaca "Hati Suhita" (Bag. 2)

Ada sebuah cerita, di suatu pesantren seorang santri ditimbali oleh kiai, sesampainya di ndalem, sang kiai dhawuh; “Kowe tak jodokne karo mbak Mawar, yo?”


Karena kebiasaan langsung sendiko dhawuh, tanpa pikir panjang santri tersebut langsung menjawab, “Inggih, Kiai.” sekembalinya dari ndalem si santri tersebut dilanda gundah. Pikirannya sibuk berspekulasi. Bagaimana kalau ternyata kami nanti tidak cocok? Bagaimana kalau dia ternyata tidak suka denganku? Dan berbagai bagaimana bersliweran dipikirannya.

Lalu santri tersebut memutuskan untuk salat istikharah. Ketika baru saja  masuk mushola dan hendak menggelar sajadah, ternyata sang kiai sudah di depan mushola dan dhawuh “Wis tho. Nggak usah istikharah, kok ndak percoyo men karo aku?” santri itu pun langsung speechless. Mak klakep diam seribu tingkah.

Singkat cerita, akhirnya kang dan mbak itu jadi menikah dan sekarang hidup ayem tentrem dan telah membina sebuah pondok pesantren.

Dijodohkan oleh kiai bisa juga berarti prosentase kegagalan berumah tangga bisa diminimalisir. Bila nantinya terjadi konflik yang bisa mengarah pada perpisahan, tentunya keluarga ndalem akan ikut urun suara karena merasa bertanggung jawab sebagai pihak yang menjodohkan.

Hal ini saya simpulkan dari cerita seorang Ning yang pernah bertanya pada ibunya ”Buk, mbak Melati katanya mau cerai sama suaminya lho. Kok Abah Ibuk ndak gimana-gimana, tho? “.

”Lho yang njodohin kan bukan abah ibu, Nduk. Dulu yang nyariin calon bapaknya sendiri,  jadi kami ya sarukalau mau ikut campur, tho?.” Jawab ibunya.

Begitu banyak cerita yang membuktikan bahwa selain sebagai murabbi, kiai juga sebagai mak comblang yang ulung. Itulah enaknya jadi santri, di pondok ngaji, dapat berkah ilmu dari para kiai, dan jika sudah dol alias khatam, pasangan sudah siap menanti. Hehe.

Biasanya santri yang diatur perjodohannya oleh kiai memang santri senior atau sudah mengabdi lama di pondoknya. Santri model begini biasanya juga langsung manut tanpa pikir panjang, kecuali sudah punya calon sendiri.

Namun sebagaimana segala sesuatu yang ada di dunia, yang namanya dijodohkan juga ada tidak enaknya.
Salah satu tidak enaknya adalah jika ada orang nyinyir mengomentari bahwa kedua orang yang dijodohkan tidak sepadan, misalnya “Ih si mbak itu kan cantik dan pinter, kok mau-maunya ya dijodohkan sama kang anu yang biasa2 aja” atau sebaliknya “Kang pengurus  yang  ganteng dan pinter itu kok mau ya dijodohkan dengan mbak ndalem yang imut, alias ireng-klumut itu”.

Dan lama-kelamaan orang-orang  yang komen tersebut akan berkesimpulan “Ah, pasti ndak bisa nolak karena ndak enak sama Pak Kiai” mbak atau kang yang di-underestimate-kan demikian, mungkin sakit hati bila mendengar komentar demikian.

Padahal, siapa yang tahu jika kedua belah pihak menerima karena meyakini bahwa pilihan gurunyalah yang terbaik?

Bagaimana pun, guru di pesantren adalah orang tua kedua setelah orang tua yang telah melahirkan kita, karenanya harus sama-sama menghormatinya dan mematuhi dawuh-dawuhnya. Jika orang tua kandung telah melahirkan dan memberikan kita kasih sayang yang utuh, kiai kita merupakan orang tua yang mendidik kita secara intelektual dan spiritual.
Sebab demikian, Para santri biasanya membahasakan kiai mereka dengan istilah murabbirruhi atau sang guru spiritual yang mendidik hati secara batiniah.

Penulis: Shofiya, Ibu Muda.

Baca juga:  Cerita tentang Sandal Pesantren; dari yang Keramat sampai Kasmaran
Komentar Facebook
0