Novel alina Suhita

Bagaimana Proses Persalinan Novel Hati Suhita? (Bag. 1)

Penulis Akhiriyati Sundari AS
(Editor novel “Hati Suhita”. Tinggal di Gejayan Yogyakarta)

Sekurang-kurangnya sembilan bulan, terhitung sejak cerita bersambung (cerbung) Hati Suhita diposting secara berkala di beranda medsos akun facebook Khilma Anis, penulisnya, hingga kini mewujud dalam sebuah buku fisik, masih tak luput dari perbincangan. Terutama dari para pembaca setianya. Kerap kali saya ditanya bagaimana terlibat “memroses” naskah mentah itu mulanya hingga rampung dan sampai ke tangan pembaca.

Sebagai seorang yang bekerja mengedit naskah, saya ‘ditemui’ oleh penulisnya ketika naskah belum jadi. Tiga belas bab ketika itu dan telah diposting ke publik. Saya justru baru membacanya ketika publik sudah riuh dengan euforianya. Bahkan, sebelumnya saya tidak tahu ada cerbung yang ramai dibicarakan publik. Persahabatan saya yang sangat karib dengan penulis adalah tidak menjamin bahwa saya mengetahui apa yang tengah dikerjakannya. Hehe..

Saya masih ingat betul. Rentang waktu Khilma mempublikasikan secara berkala, saat itu pula malam-malam biasanya dia chat lama dengan saya. Namun yang kami bahas bukanlah Suhita, melainkan novel Wigati untuk progres kedua.

Ya, saya memang mengikuti Wigati sejak pertama kali dituliskan, ketika masih starting kira-kira 30 persenan. Sebenarnya novel Wigati ini juga memiliki cerita tak kalah panjang dari Suhita. Menebalkan keyakinan bahwa setiap karya memiliki jalan nasibnya masing-masing.

Kembali ke novel Hati Suhita (selanjutnya saya singkat HS). Saya dihubungi dan menjalin komunikasi intens sejak HS mulai masuk offline usai periode ke-13 dari 34 bab keseluruhan. Jadi mulai bab ke-14 hingga tamat saya ‘mendampingi’ diskusi dengan penulis. Bukan hanya dengan saya saja penulis berdiskusi, namun dengan saya mungkin agak lebih banyak karena saya editornya.

Pola ‘kerja’ HS sungguh sebuah proses unik yang belum pernah saya lakoni sebelumnya. Penulis tidak menyampaikan apa yang menjadi langkah alur selanjutnya, maupun ending-nya akan bagaimana. Saya juga tidak menanyakan.

Baca juga:  Gus Dur Sastrawan Besar dan Nama Alissa

Semua mengalir begitu saja. Saya hanya ‘berperan’ mendiskusikan bagaimana gagasan itu dikembangkan per bab, juga meneropong hal-hal menyangkut isi/materi. Menelisik secara logika kepenulisan maupun track materi. Setelah itu penulis menuliskan resapan-resapan hasil diskusi kami dengan bekal lain yang sudah dimilikinya ke dalam gugusan paragaf.

Ketika satu bab selesai, penulis menyerahkannya kepada saya. Kadang juga dua sampai tiga bab. Saya lakukan pembacaan. Sedetil mungkin. Setelah itu terjadi diskusi lagi. Namun terbatas soal muatan tulisan. Begitu terus dilakukan sampai bab terakhir selesai.

Proses pembacaan yang saya dan penulis lakukan tidak serta merta menyelesaikan hal-hal yang diindikasikan untuk dilakukan revisi atau perbaikan. Namun memilih hanya poin-poin penting saja yang dianggap perlu untuk segera dilakukan perbaikan, baik dituliskan sebelum maupun untuk episode selanjutnya. Seluruhnya dibaca secara bersama-sama. Diulang-ulang hingga ada kata “oke” untuk naskah.

Ketika seluruh proses pembacaan ulang dan revisi tulisan dianggap selesai, barulah saya ‘bekerja’ sebagai seorang editor. Menelisik paragraf satu-satu, menyelaraskan bahasa, juga meneroka gagasan yang masih didapati atau diindikasi ‘keluar’ dari arah perbincangan semula. Berkali-kali sambil sesekali saya lakukan editing di ranah teknisnya (penyesuaian terhadap PUEBI).

Begitu naskah saya anggap final dari proses editing, saya serahkan ke penulis. Olehnya, naskah itu kemudian dicetak/diprint out. Dijilid tebal, lalu dikirimkan via pos ke alamat saya. Setelah menerimanya, saya melakukan pembacaan kembali melalui naskah fisik itu.

Berbekal pena merah seperti biasa, corat-coret lebih mudah dan tampak lebih teliti saya melakukannya. Lalu naskah kembali direvisi. Terus berulang-ulang hingga lima sampai tujuh kali kalau tidak salah ingat. Jogja-Jember menjadi jalanan panjang dan ruang yang lapang bagi HS.

Baca juga:  Hati Suhita; Penanda “Kebangkitan” Sastra Pesantren? (Bag. 3 - Selesai)

Di dalam proses awal diskusi saya dengan penulis, ada 13 episode yang telah tayang di media sosial di mana saya tidak diberi kewenangan untuk melakukan editing. Praktis hanya sedikit membenahi di ranah teknisnya. Namun, “episode offline”-nya saya lakukan editing yang semestinya. Tidak terlalu payah untuk mengoreksi sisi tulisan di mana saya hapal bagaimana si penulis begitu lihai menarikan kalimat-kalimatnya.

Namun, ketika menemukan diksi yang kurang pas, alhasil butuh waktu dan pemikiran tersendiri juga. Ada satu bab yang tidak saya sertakan dalam naskah itu (baca: saya buang). Tentu saja dengan argumentasi yang patut dipertanggungjawabkan sebagai seorang editor. Lalu setelah naskah utuh dan saya nyatakan OKE FIX, barulah sama penulis langsung disetorkan ke percetakan.

Saya menjadi ‘penentu akhir’ pula apakah naskah sudah layak naik cetak atau belum. Jadi kalau ada hal terkait ‘kekurangan’ dari HS, publik boleh menggugat saya. Wkwk..

Behind the Scene

Pengalaman ‘mendampingi’ kelahiran HS, berada di belakang ‘dapur’ akan selalu menjadi sesuatu yang saya kenang. Ada kisah unik melatari proses kepenulisan HS. Ada emosi yang merangsek terlibat. Baik emosi penulis maupun emosi saya sendiri sebagai editor.

Ada situasi yang kami rasakan berdua begitu sentimentil. Yang demikian ini bisa terjadi lantaran hubungan saya dengan penulis tidak terbatas pada hubungan dalam ranah kreatif sastra dan kepenulisan, namun hubungan persahabatan antar dua pribadi yang terbangun sudah cukup lama dan mapan.

Kami terlibat perasaan sentimentil sebagai sahabat ketika saling mencurahkan apa yang dirasakan hati masing-masing berkait kisah HS. Kebetulan narasi dari kisah yang sedang ditulis turut berperan menopangnya. Jadilah tak sekali dua kami menangis bersama. Wah, saya jadi malu kalau mengingatnya.

Baca juga:  Memaknai Kasus Grace Natalie; Penistaan atau Pencitraan Agama?

Baper detected! Lalu tak dinyana, grafik sentimental bergerak naik itulah yang saya rasa memantik penulis hingga menelurkan gugusan paragraf yang membuat pembaca termehek-mehek.

Keterlibatan emosi secara penuh dalam proses diskusi karya itu lambat laun membuat saya menyadari bahwa sebuah tulisan kerap kali diciptakan di luar ‘kuasa’ diri. Seperti ada yang mencelos begitu saja dari dalam diri dan tidak bisa dikendalikan. Ia bisa berupa ‘momen prosaik’ tertentu yang lebih sering menggugah kedalaman makna dari yang selama ini mungkin tersembunyi. Berkelindan dengan pengalaman, rintisan pengetahuan, juga perasan akan ragam perasaan yang tak kesampaian untuk digundahkan dalam tulisan.

Selayak paket komplit. Jadi, ada dua hal bersifat ‘materi’ dan ‘immateri’ dalam perjumpaan naskah HS. Satu hal ‘materi’ lebih pada bagaimana gugusan kalimat itu muncul berkesinambungan murni sebagai sebuah produk karya sastra, satu hal ‘immateri’ lain muncul dari kedalaman hubungan antara saya dengan penulis selama ini. Sebagai dua sahabat yang terlibat pembicaraan tentang segala persoalan hidup, terutama bagaimana “ngayahi” ingatan akan hal yang telah terlampaui.

Akan tetapi, hal paling terkenang adalah terlibatnya ‘emosi massa’ pembaca. Ditopang oleh revolusi digital melalui media sosial, HS membawa fenomena baru dalam risalah kepenulisan novel di negeri ini.

Saya tidak pernah menemukan sebelumnya bagaimana “massa” bisa begitu riuh membaca dan menanggapi sebuah cerita bersambung yang “on going” hingga lalu berakhir menjadi sebuah buku novel yang teramat digandrungi.

Kesabaran netizen menantikan HS mewujud menjadi sebuah cerita yang berakhir dalam bentuk buku sungguh luar biasa. Tidak sedikit satu dua yang menghubungi saya menanyakan progres penulisan HS. Sampai-sampai ada yang request akan jalannya cerita. Padahal saya hanya seorang editor.

Komentar Facebook
0