Jangan Malu Bilang Tidak Tahu Sebab Tahu Diri Bukan Berarti Merendahkan Diri Tajul Muluk Esai 28 Februari 2019 0 4 min read Oleh: Tajul Muluk Era millenial ini, semua serba mudah didapat, bukan hanya barang kebutuhan sehari-hari, eksistensi pun bisa dengan mudah diperoleh. Informasi apa pun mudah ditemui berseliweran membanjiri laman-laman media sosial. Ada yang menarik untuk diperhatikan, di tengah genangan banjir informasi di berbagai media saat ini, yaitu komentar para nitizen dalam menanggapi berita yang mereka terima. Polah tingkah mereka sangat beragam, mulai dari yang tampak elegan-berilmu sampai yang norak-sok tahu. Tapi ya, fenomena ini sulit dihadang apalagi dihentikan, melawan banjir bandang tanpa alat pengambang adalah bagian dari jenis kejununan dalam bentuk yang lain. Ha… Namun demikian tetap saja sebagai sesama muslim, sesama anak bangsa dan sesama anak cucu Adam, kita tetap diberi ruang untuk saling berkisah tentang generasi emas sekian abad silam. Itu cara Tuhan yang direkomendasikan untuk ditiru ketika hendak memberikan cahaya pada gelapnya moral dan perilaku manusia. Keinginan untuk eksis sebenarnya sah-sah saja dan sangat manusiawi. Keberadaan kita di dunia, apalagi bagi umat islam, eksistensi itu suatu keniscayaan agar misi amar makruf dapat lebih mudah terlaksana. Namun yang perlu dicatat adalah cara meraihnya, jangan sampai menghalalkan segala cara atau setidaknya over capacity, melakukan sesuatu di luar kemampuan dan kapasitasnya. Jangan lah memplesetkan jargon para filosof keren itu menjadi, aku berkomentar maka aku ada, atau menjadi, aku keminter maka aku eksis? Yaa Allah, amit amit jabang bayi. Mari kita belajar tahu diri, karena tahu diri itu tidak sama dengan merendahkan diri sendiri. Tahu diri itu menurut para sufi adalah kunci mengenal Allah. Sebabnya, para shulaha’ itu sangat serius mencari tahu jadi dirinya. Para intelektual dan ulama hebat di masa lalu mengajarkan kita untuk tahu diri. Sekelas Imam As-Syafi’i misalnya, beliau tak segan menyebut dirinya bukan bagian dari orang shalih, beliau hanya memposisikan sebagai pecinta orang shalih. احب الصالحين ولست منهم . Lalu, apakah ungkapan demikian membuat beliau rendah dan terhina derajatnya? Tidak sama sekali. Bahkan beliau semakin disegani dan meninggi derajatnya. Baca juga: Islamic Boarding School dan Istilah Pesantren yang MembagongkanSyeikh Burhanuddin Az-Zarnuji menuliskan nasehat dalam syi’irnya: ان التواضع من خصال المتقي # وبه التقي الى المعال يرتقي Dalam bait syair di atas, Az-Zarnuji meyakinkan kita bahwa, sikap tahu diri, menahan diri, tidak akan menyebabkan rendah terhina, justru sikap tahu diri adalah tangga pendakian menuju derajat yang lebih tinggi. Apa yang disampaikan oleh Az-Zarnuji sangat realistis, sesuai dengan kenyataan. Bersikap seolah tahu tentang segala hal dan menguasai berbagai macam persoalan tidak serta merta meninggikan level sosial apalagi spiritual. Jika pun secara sosial meningkat levelnya, paling sebentar saja sampai ketahuan bahwa ia benar-benar tidak tahu yang sebenarnya. Hari ini, sangat mudah dijumpai, perbincangan tentang yang sangat serius, tentang agama misalnya, dibicarakan seringan-ringannya dan sengawur-ngawurnya oleh orang-orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Sungguh ini adalah suatu keberanian dan nyali yang sangat bagus mesti tak beraturan. Bagaimana tidak kacau, mereka menyampaikan pandangannya tentang permasalahan agama dengan menggunakan kalimat pembuka yang sakti, “kalau menurut saya” dan kalimat sejenisnya. Sungguh ini adalah argumentasi yang akal sekali, atau akal-akalan sekali? Islam memang memberi ruang pada akal untuk memahami teks-teks suci, tetapi memproduksi pemikiran dan pemahaman agama semata hasil olah akalnya semata, adalah bertentangan dengan tradisi islam itu sendiri. Rasulullah saw. memberikan penegasan sekaligus peringatan keras dalam hal ini. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Sayiidah ‘Aisyah: Baca juga: Memaknai Kasus Grace Natalie; Penistaan atau Pencitraan Agama?“مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدّ”ٌ” Dalam hadits ini, secara tegas Rasulullah tidak menghendaki, tidak berkenan menerima, hal-hal baru dalam perkara agama. Selama ini, hadis ini oleh sebagian umat islam dipahami secara sempit saja. Menurut mereka, hadis ini mengecam atau menyasar umat islam lainnya yang melakukan praktik ibadah yang diduga tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw., padahal tidak demikian. Makna hadits tersebut memiliki makna yang luas. Dalam diskursus ilmu tafsir, terdapat ungkapan popular terkait teks agama, bahwa teks agama itu memiliki makna batin selain makna lahirnya. Artinya, setiap teks itu selalu membuka diri untuk dibaca dan dimaknai secara beragam. Hadis tersebut memiliki makna yang sangat penting selain makna pada umumnya seperti yang dijelaskan di atas. Makna penting tersebut adalah, hadis ini selain bersifat yuridis juga bersifat prefentif [pencegahan]. Praktiik beragama adalah hasil dari simpulan suatu pemahaman, ia tidak serta merta muncul dalam tataran praksis apalagi berdiri sendiri tanpa didahului atau dikaitkan dengan pemahaman. Jika ditilik dari teori ini, maka tradisi kekinian yang dilakukan dan dikampanyekan oleh sebagian umat islam dalam membahas problematika agama, hanya dengan modal kalimat sakti “kalau menurut saya”, adalah tradisi yang benar-benar baru dan akal-akalan semata. Baca juga: Meneladani KH. Arwani Amin Kudus, Penulis Kitab Faidhul Barakat Fi Sab'il QiraatMembicarakan suatu permasalahan di luar kapasitas kemampuan dan pengetahuan sangat tidak dianjurkan. Bahkan dengan sangat jelas, dalam al-Qur’an dan hadits disebutkan larangan membicarakan suatu yang tidak dipahami dan dikuasai dengan baik beserta dampak buruknya. Dalam QS. Al-Isra’;36, Allah swt. menyatakan “laa taqfu”. Menurut Ibnu Abbas, maksud ayat ini, jangan memberi kesaksian kecuali kau lihat sendiri dengan kedua matamu, kau dengar sendiri dengan telingamu, kau ketahui sendiri dengan penuh kesadaran. Imam Qatadah menjelaskan tentang maksud ayat ini; jangan kamu berkata, “saya telah mendengar” padahal belum mendengar, dan jangan kamu berkata, “saya telah mendengar”, padahal belum mendengar, dan jangan kamu berkata, “saya telah mengetahui” padahal engkau belum mengetahui. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. memperingatkan bahwa, sesuatu apa pun yang turut ditangani oleh orang yang tidak punya kapasitas dan kemampuan yang memadai, hanya akan memicu dan menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, pelajaran baik yang bisa diambil adalah, menahan diri dari turut campur dalam suatu hal yang tidak dipahami, tidak dimampui, justru termasuk bentuk ketaatan dan ibadah, bukan suatu maksiat dan kehinaan. Ketidak-ikut sertaan seseorang dalam mengurusi segala sesuatu di luar kemampuannya akan jauh lebih positif dan produktif. Jadi, tahu diri bukan berarti merendahkan diri, tetapi tahu diri adalah tindakan nyata meyelamatkan diri. Sebaliknya, orang yang tak bisa mengukur kapasitas dan kemampuannya sendiri, lalu bertindak sekehendaknya sendiri, bisa jadi ia berusaha mempermalukan dirinya sendiri. Komentar Facebook 0