Mengkultuskan Kitab Kuning

Menurut saya yang awam, “kitab kuning” memang harus dikultuskan, kenapa? Karena itu bagian dari warisan islam golden age yang otoritatif. Cara mengkultuskannya di era sekarang tentu berbeda dengan cara lama, langsung kutip ibarat, dan keluarlah tahkim.

Tetapi yang pertama, perlu mendialogkan dengan “kitab putih”, yaitu produk ulama mu’tabar kontemporer yang telah banyak mengalami perubahan sosial dan menemukan perjumpaan dengan fenomena sains, yang dulu belum pernah ada ketika kitab kuning itu ditulis, sehingga pengambilan qiyas tidak terlalu meleset.

Misal definisi (tasfir) wujudnya benda dalam syarat sahnya transaksi jual beli. Dulu benda itu ya ain musyahadah, ada fisiknya dan di tempat ketika transaksi, tetapi sekarang wujud benda sudah mengelami perluasan ruang, yaitu berupa digital, data dan pada layar smartphone.

Cara mengkultuskan berikutnya adalah “tidak boleh” pembacaan kitab kuning dibiarkan sendiri, tetapi harus disertai “kitab putih”, ilmu-ilmu modern yang telah terbukti memberi sumbangsih yang luar biasa pada peradaban.

Masih ingat, sekitar dua tahun yang lalu, sehabis shalat Isya, seperti biasanya tiap Malam Kamis, saya sering menyimak pengajian dan tabarukan dari seorang Kiai Sepuh. Beliau membaca kitab Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin, karangan Syaikh Salim bin Ied Al Hilali.

Baca juga:  Dilema Lagu Ayo Mondok: Jika Terus-terusan Digalakkan Ayo Mondok, Lalu Kapan Boyongnya?

Setelah bab salam selesai dibacakan, salah satu jama’ah ada yang memberanikan diri bertanya; Kiai, bagaimana hukumnya menjawab salam dari saudara kita yang nonmuslim? Kiai itu tanpa sedikitpun ragu menjawab; haram hukumnya! Katakan pada mereka, seperti inilah ajaran Islam kami!

Dalam hati, benarkah begitu Kiai? Saya kemudian meraba sendiri jawabnya: Sang kiyai menjawab seperti itu, mungkin karena beliau alpa membaca antropologi dan sejarah. Bahwa kitab yang dijadikan sandaran hukum itu ditulis tak jauh dari perang Salib.

Dari sinilah saya seperti disadarkan pada Charles Pierce, Talal As’ad, Paul Tillich, Habermas dan tentu saja Wittgenstein. Bahwa pembacaan teks tak bisa dibiarkan sendirian, sebab di sana ada peran lain yang tak kalah pentingnya; pergulatan bahasa, ruang, simbol, sejarah dan antropologi.

Tetapi yang lebih penting dari uneg-uneg itu, saya ikut ngaji itu, tentu selain ilmu, niatnya adalah tabarukan, dan belum lengkap jika pulang sebelum mencium tangan Kiai wolak-walik. Jadi bagaimanapun, kitab kuning harus jadi rujukan dan akhlak harus diutamakan, sebelum berdebat soal produk fiqih. Wallahu’alam.

Baca juga:  Petani Santri: Term Yang Akan Membangkitkan Semangat Ketahanan Pangan Indonesia
Komentar Facebook
0