Santri yang Mempunyai KTP Berstatus Mahasiswa, Apa Iya Bisa Disamakan?

Para santri sedang ngobos alias ngobrol santai di depan kamar. Lokasi Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta. foto oleh Fihry

Saat ditanya tentang hukum berdasar ajaran agama, seorang santri umumnya tak pernah memberi jawaban secara cepat seperti makanan siap saji. Berjilid jilid kitab yang mereka pelajari bukannya membuat mereka makin PD, melainkan justru ngepeer saat menentukan suatu hukum. Kata “setahu saya…. Dan berdasar pendapat …. Di kitab…” seolah menjadi SOP dalam menjawab pertanyaan.

Di suatu siang yang terik, tepat setelah adzan dzuhur selesai dikumandangkan, adik dan sepupuku, Dhani (19) dan Toni (22) tiba di rumah. Dengan senyum dan wajah sumringah yang tak biasa, mereka menyapaku.

“Assalamu’alaikum”

“Kenapa senyum-senyum? Habis ketemu cewek cakep?” Tanyaku usai menjawab salam.

Mereka tak menjawab. Hanya saling pandang lalu berjalan ke arahku. Mengambil tempat duduk di depan dan sisi kiriku. Menyahut cangkir kopiku yang terletak di atas meja lalu secara bergantian menyeruputnya.

Setelah itu, keduanya merogoh saku baju, mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang baru saja mereka ambil dari dinas kependudukan dan catatan sipil (disdukcapil).

“Nih!” Seru mereka bersamaan sambil menunjuk kolom pekerjaan di KTP baru mereka.

Saat kubaca, di situ tertulis kata mahasiswa. Dan tanpa dikomando, tawa kami bertiga pecah.

“Kok bisa? Mahasiswa dari mana?” Tanyaku heran.

Adik dan sepupuku ini tak pernah merasakan duduk di bangku perguruan tinggi. Bahkan SMA pun mereka belum pernah. Begitu lulus SMP, mereka langsung mondok di Magelang. Di Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo yang didirikan oleh KH. Chudlori lebih dari setengah abad lalu.

Setelah tawa kami reda, sambil menyulut rokok, adikku bercerita. Beberapa waktu lalu, pengurus pondok menginstruksikan semua santri yang berasal dari Jawa Tengah dan Jogja yang sudah dewasa namun belum mempunyai KTP untuk segera diurus. Alasanya untuk apa? Mereka tak tahu dan tidak ingin tahu.

Intruksi tersebut tentunya disambut dengan sangat gembira oleh para santri. Tanpa alasan-alasan seperti ini, sangat sulit bagi santri meninggalkan lingkungan pondok.

Singkat cerita, usai proses scaning sidik jadi dan retina, petugas Disdukcapil bertanya.

“Usianya berapa, Mas?”

“Sembilan belas tahun,” jawab Dhani.

“Sekolah atau kerja di mana?” Tanya petugas lagi.

“Emm…. sudah tidak sekolah dan tidak kerja,” jawab Adikku dengan senyum menahan sedikit malu.

“Terus kegiatannya apa? Pendidikan terakhirnya?”

“Mondok. SMP.”

“Ohhhh…, sudah, Mas, cukup.” katanya sambil menyerahkan selembar kertas untuk mengambil KTP hari itu juga.

Cerita adik saya di atas, meski terasa aneh, namun setelah berpikir sejenak, penyematan status mahasiswa bagi para santri pondok pesantren sebenarnya bukanlah hal salah atau berlebihan. Memang tak banyak yang tahu, sejak tahun 2007 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dengan kesetaraan mulai dari tingkat pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.

Bahkan, di Bab III Pasal 26 ayat 3 dinyatakan, jika lulusan pesantren bisa menjadi tenaga pendidik di semua jenjang pendidikan formal, termasuk sebagai dosen. Tentunya setelah mengikuti uji kompetensi dari lembaga pemerintah.

Pun jika ditilik dari segi keilmuan. Seandainya kitab-kitab  yang dipelajari di pesantren diajarkan dengan cara yang sama –secara urut dengan kaidah pemaknaan dan periwayatan yang ketat – pada mahasiswa di perguruan tinggi (PT) formal, maka sangat patut jika lulusan pesantren disejajarkan dengan mereka yang menyandang gelar sarjana, doktor atau master.

Hal ini bisa dilihat dari keunggulan lulusan salah satu universitas Islam tertua di dunia, Al Ahzar Kairo, Mesir. Seperti kita ketahui, Al Ahzar sampai saat ini masih mempertahankan ketersambungan sanad keilmuan dalam proses pembelajaran. Sementara di tanah air, sistem yang sama mulai diterapkan di Ma’had Aly yang terdaftar sebagai PT formal tapi dengan sistem pembelajaran (kurikulum) khas pesantren.

Sistem pendidikan pesantren memang berbeda dibanding sekolah dan Perguruan Tinggi (PT) Keagamaan formal yang disusun berdasar kurikulum pemerintah dan lebih menekankan pada transfer ilmu dari pengajar ke pelajar. Sementara di pesantren, santri dipaksa (dilatih) untuk mengamalkan ilmu yang telah diterimanya.

Lebih dari itu, transfer ilmu juga dilakukan dengan keteladanan. Hal ini sesuai dengan pola filosofis santri (cantrik) yang belajar bukan hanya yang diucapkan kiai, tapi juga apa yang dilakukan kiai dalam kesehariannya.

Tujuan penyelenggaraan pendidikan pun berbeda. Jika kampus memproyeksikan anak didiknya agar bisa berperan dalam pembangunan sosial kemasyarakatan dengan tolok ukur akreditasi, maka Pesantren didirikan dengan tujuan semata-mata untuk li ilati kalimatillah yang tentunya mencakup hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas).

Kelebihan lain pesantren, selain kitab yang diajarkan adalah kitab sudah diakui dan diseleksi sekaligus disepakati bersama (mu’tabar), sanad keilmuan pengasuh dan pengajar juga harus tersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, otentifikasi dan orisinalitas keilmuan tetap terjaga. Baik secara tekstual maupun kontekstual sesuai ajaran Nabi kepada para muridnya atau yang kita kenal sebagai para Sahabat.

Sanad keilmuan pendiri API Tegalrejo misalnya, sanad dari jalur yang sama juga dimiliki ponpes lain di indonesia, seperti Al Anwar Sarang, Tebuireng dsb.

Hal lain yang merupakan kelebihan, namun sering dianggap kelemahan di dunia pendidikan adalah adab santri. Setiap santri berkeyakinan, segala yang mereka lakukan akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Termasuk dalam hal menetapkan hukum dalam suatu hal yang nantinya menjadi landasan bersikap.

Dengan latar belakang pemikiran seperti ini, tak heran jika santri hampir tak pernah yakin jika ditanya pendapat soal suatu hukum. Kecuali hukum tersebut itu sudah jelas hukumnya dalam Alquran maupun hadis. Dan kejelasan hukum itu haruslah sesuai dengan yang diterapkan Rasulullah yang diajarkan pada para sahabat hingga berlanjut sampai ke kita hari ini.

“Lha piye, Kang. Hukum ki pancen ono sik hitam-putih benar-salah. Tapi yo ono sik abu-abu (samar-samar). Nek dalil Alquran Hadise jelas, kita yo wani jelas. Nek abu-abu yo ra wani mekso jelas. Kita dudu wakile Gusti Allah. Nek mengatasnamakan hukume Allah lan Rasule jebul salah, tanggungjawabe abot.” Ujar salah satu senior adik dan sepupuku saat berbincang denganku tentang tidak beraninya santri berspekulasi kaidah hukum.

Meski demikian, bukan berarti pesantren tidak memiliki kelemahan dibanding PT formal. Termasuk budaya menulis dan penelitian menjadi kelemahan para santri, hari ini.
Akibatnya, masih sangat minim karya ilmiah santri yang bisa diakses masyarakat. Buku-buku yang beredar di pasaran dan sampai ke tangan masyarakat saat ini, umumnya ditulis oleh akademisi formal yang, terkadang tingkat kesahihan ilmunya perlu dipertanyakan.

Mungkin karena sistem pembelajarannya yang mementingkan aspek kognitif saja atau bahkan karena referensi yang digunakan justru hasil penulisan kaum orientalis yang sebagian mempunyai niat buruk terhadap tradisi Islam.

Sementara di dunia virtual, artikel keagamaan justru didominasi oleh para bloger yang menulis semata untuk mencari uang, sementara ilmu dan rujukan yang dijadikan dasar penulisan asal comot sini comot sana.

Adanya hal-hal seperti demikian, cukup untuk kita mewaspadainya.

Di samping itu, santri juga terkadang dianggap kurang cakap dalam menanggapi persolan masyarakat yang timbul akibat modernitas, baik dalam tatanan sosial, politik dan demokrasi, hingga teknologi.

Apa betul seperti demikian?.

Penulis: Esan, Redaksi

Komentar Facebook
0
Baca juga:  Eksistensi Pesantren di Era Milenial