Islamic Boarding School dan Istilah Pesantren yang Membagongkan

Pesantren dalam beberapa literatur acapkali disebut sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Memang, pesantren dalam bentuk “aslinya” selalu identik dengan hal-hal tradisional. Mulai dari manajemen berbasis khidmah, belajar ala bandongan-sorogan, kurikulum kitab kuning, hingga pola dan nilai-nilai hidup di pesantren, semuanya bernuansa tradisional.

Namun itu dulu, sebelum negara api menyerang. Pada perkembangannya, tradisionalisme pesantren itu dianggap sebagai biang kerok keterbelakangan umat Islam. Hingga muncullah seruan modernisasi pesantren. Karel Steenbrink, menyebut respon pesantren terhadap modernisasi ini dgn istilah “menolak sambil menerima”, malu-malu tapi mau. Tidak menolak total, tapi juga tidak mengambil secara total.

Perjodohan modernisasi dan pesantren pada gilirannya melahirkan pesantren-pesantren baru bertipe modern, termasuk salah satunya yang kita kenal dengan sebutan “islamic boarding school”. Jadi, kalau mau jujur, boarding school sebenarnya adalah anak (yang tidak diakui?) pesantren. Entah anak kandung, tiri, atau malah anak haram.. wkwkwk. Yang jelas, wong namanya anak, ya pasti punya kemiripan sekaligus punya perbedaan. Tapi tanpa papan nama, sulit rasanya membedakan antara kedua lembaga tsb.

Baca juga:  PJ. Zoetmulder, Panteisme, dan Pendekatan terhadap Tasawuf

Boarding itu sekolah (formal) yang bikin asrama. Sama, pesantren sekarang juga banyak yang bikin sekolah formal. Katanya boarding tidak mengajarkan kitab kuning. Siapa bilang? Istri saya pernah ngajar kitab kuning di boarding milik salah satu sekolah negeri. Di boarding, antara siswa-siswinya bisa berkomunikasi dengan bebas. Ya mungkin saja, tapi tidak semuanya begitu. Ada kok pesantren yang punya sekolah, dan sekolahnya itu terbuka untuk siswa luar. Kalau kelasnya tidak dipisah, antara siswa-siswi juga bisa bebas berkomunikasi setiap hari.

Pada intinya, lahirnya pesantren-pesantren tipe baru telah mengacaukan rumusan tipologi pesantren yang kita percayai. Garis batas antara pesantren salaf dan modern, atau yang mana pesantren dan, yang mana boarding school menjadi kabur. Ada yang menggunakan nama “pesantren” tapi sama sekali tidak mengajarkan kitab kuning. Pembelajaran agamanya pakai diktat milik lembaga sendiri. Ada pula, boarding school takhassus IPA & Sains, tapi pelajaran agamanya pakai kitab kuning. Belum lagi sekarang muncul pesantren-pesantren baru dangan genre cem-macem, seperti pesantren kaligrafi, pesantren budaya, pesantren alam, pesantren agrobisnis, dst.

Baca juga:  Sejumlah Alasan Mengapa Ekstremisme Dalam Beragama Sulit Tumbuh di Pesantren

Sungguh membagongkan, kan?

Adanya modernisasi memang menganugerahkan banyak hal bagi pesantren. Salah satunya adalah kemudahan layanan. Dan kemudahan itu pula yang ditawarkan pesantren modern atau boarding school. Sadar atau tidak, kemudahan layanan ala boarding itu sekarang juga diadopsi oleh pesantren-pesantren masa kini. Tapi di sisi lain, modernisasi juga merenggut banyak hal dari pesantren, terutama nilai-nilai luhurnya.

Dulu saya mondok, kalau makan masak sendiri, bawa beras dari rumah. Kadang sampai koret-koret wajan. Cuci baju juga sendiri. Kalaupun dulu ada pondok mengelola makan santri, yang masak tetap saja santri secara giliran. Sekarang, karena tuntutan hidup modern, semua kebutuhan santri dilayani. Makan dilayani, cuci baju juga disediakan laundry. Orangtua tentu senang dengan kemudahan ini. Anak mereka tidak perlu repot masak dan nyuci, jadi bisa fokus belajar, katanya.

Masak & cuci baju sendiri, barangkali hal sepele tapi sangat merepotkan. Tapi dari sinilah, santri-santri zaman dulu belajar menerapkan nilai-nilai kemandirian dan keprihatinan.

Sewaktu nyantri, selain jadi pengurus, saya sedikit-sedikit juga ikut khidmah jadi Kang ndalem. Kadang nyapu, jaga toko, masak air, dsb. Dahulu santrilah yang khidmah kepada Kiai & pesantren. Tapi, sekarang kondisinya terbalik. Kiai & pesantren yg harus melayani (khidmah) kebutuhan santri. Padahal khidmah inilah yang menempa mental santri agar kelak mampu menjadi pelayan umat, bukan orang yg minta dilayani umat.

Baca juga:  Barbarossa Brothers Perompak Muslim Melegenda yang Ditakuti Bangsa Barat

Jadi, apa yang membedakan pesantren & boarding school?

Beda atau sama, saya kira tak begitu penting. Apalah pentingnya label pesantren atau boarding, tapi pola hidupnya seperti di hotel, penginapan, atau kos-kosan. Yang penting, apakah nilai-nilai luhur pesantren warisan Walisongo dan para ulama nusantara itu masih dilestarikan oleh pesantren masa kini atau tidak. Entah apa namanya, pondok, pesantren, surau, meunasah, boarding school, boarding home, atau asrama, selama nilai-nilai luhur pesantren itu masih dipegang, maka itulah pesantren. Wa illaa, yo Falaa.. Wallahu A’lam

Komentar Facebook
0