Asinonimitas, Al-Quran, dan Penerjemahan yang Tergesa-gesa

Di tengah merenungi tragisnya kehidupan Loki Tua dalam Novel terbarunya Paman Yusi, aku mendengar tiga gadis di depanku berdebat kecil tentang kata-kata dalam Al-Quran. Kutaksir mereka mahasiswa semester IV Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir dari kampus samping kafe tempatku membunuh sore kali ini.

Salah satu dari mereka bilang, setiap kata dalam Al-Quran memiliki maknanya masing-masing. Jadi, tidak ada sinonim dalam Al-Quran. Gadis yang satu lagi berpendapat sebaliknya, sedangkan sisanya sibuk nonton Tik Tok. Aku suka gadis yang terakhir.

Aku tidak terusik dengan perdebatan mereka yang menggemaskan, tidak juga dengan argumentasinya. Sejak masa Ibn Jinni dan Ibn Faris, ulama sudah berbeda pendapat tentang sinonim dalam Al-Quran. Namun yang menggangguku adalah ketika mereka beberapa kali menyebut istilah asinonimitas. Istilah apa ini, batinku spontan.

Karena penasaran, aku mencari. Pertama, aku memerika di kamus-kamus Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hasilnya nihil. “Asinonimitas” bukan Bahasa Indonesia, bukan juga Bahasa Inggris. Di KBBI yang muncul hanya kata “sinonim”. Kata “sinonimitas” KBBI tidak mengakuinya.

Di Cambridge Dictionary dan di Merriam-Webster, kata “asynonymity” tidak ditemukan. Yang ada hanya kata-kata seperti, “anonymity” dan “synonymy”. Artinya, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa “asinonimitas” merupakan terjemahan dari “asynonymity”.

Kedua, aku memanfaatkan mesin pencari dan hasilnya menggelikan. Ketika aku mengetik kata “asinonimitas” dan padanannya, Google menampilkan tiga kata: sinonimitas, anti sinonimitas, dan asinonimitas. Rata-rata, mereka muncul dalam jurnal-jurnal ilmiah berbahasa Indonesia, skripsi, dan bahkan disertasi tentang Studi Quran. Tiga kata tersebut tidak ada dalam KBBI, tapi banyak akademisi menggunakannya.

Untuk kepentingan akademik, dosen, peneliti, atau pun mahasiswa diandaikan untuk merujuk pada KBBI dengan tujuan bahwa dengan itu kita bisa mengukur bahwa bahasa yang digunakan mudah dipahami. Namun, yang terjadi dalam kasus “asinonimitas” ini berbeda. Ini menarik, apalagi kita tahu bahwa istilah “asinonimitas” ini berhubungan dengan kajian kebahasaan Al-Quran. Kita bicara aturan kebahasaan dan di waktu bersamaan kita melanggar aturan tersebut. Unik!

Sampai di sini, aku baru mengerti, mengapa tiga gadis tadi menggunakan istilah “asinonimitas” dalam diskusinya. Ternyata sumber pengetahuan mereka adalah Google atau artikel-artikel ilmiah yang penulisnya terlalu husnuzan pada siapa yang mereka kutip. Hari ini, untuk menjadikan sesuatu sebagai “istilah yang disepakati” atau “bahasa” cukup dengan memopulerkannya di internet.

Baca juga:  Tantangan Haji Di Masa Pandemi

Untuk yang terakhir, aku mendengar bahwa di kalangan linguis, hal tersebut adalah perdebatan. Ada yang bilang, upaya kritis harus dilakukan agar muruah suatu bahasa terjaga. Artinya, bila memang ada suatu istilah yang digunakan secara tidak tepat oleh komunitas atau masyarakat, siapa pun perlu melemparnya ke meja diskusi.

Lantas, apakah tepat kita membahasakan anggapan tentang tidak ada sinonim dalam Al-Quran sebagai “asinonimitas” dalam Al-Quran? Ini yang akan kita diskusikan selepas ini, tapi sebelum itu rasanya kita perlu melacak terlebih dulu, siapa sih yang kali pertama memantik populernya istilah tersebut.

UIN Sunan Kalijaga

Sependek pelacakanku, penggunaan kata “asinonimitas” bergaung dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu melalui Abdul Mustaqim dan Yusron. Mulanya, istilah yang digunakan untuk menerjemahkan konsep tidak ada sinonim dalam Al-Quran adalah “anti sinonimitas” dalam Al-Quran. Dalam disertasinya, Mustaqim menggunakan kata “sinonimitas” dan “anti sinonimitas” untuk menggambarkan bahwa ada dua perbedaan pendapat terkait apakah setiap kata dalam Al-Quran memiliki sinonim atau tidak.

Mustaqim berbicara ini dalam konteks pemikiran Muhammad Syahrur. Syahrur, terinspirasi Ibn Faris, cenderung pada anggapan bahwa tidak ada sinonim dalam Al-Quran, yang dengan ini ia membangun konstruksi pembedaan antara Al-Kitab dan Al-Quran. Dalam menjelaskan pandangan ini, Syahrur tidak menggunakan kata tunggal sebagaimana “asinonimitas”, tapi kalimat. Kalimat yang ia pakai pun beragam.

Menurut Mustaqim, kalimat yang Syahrur pakai adalah la taradufa fi al-kalimah. Aku mencoba mencari redaksi kalimat tersebut dalam bukunya Syahrur, tapi belum menemukannya. Yang kutemukan beberapa redaksi seperti …huwa mu’jam maqayis al-lughah li ibn faris “tilmidz tha’lab” yunfi wujud al-taraduf fi al-lughah dan .. fahal hadzihi al-alfadz kulluha tusyiru ila ma’na wahidin li annaha mutaradifat? Am annaha tusyiru ila ma’anin mukhtalifatin?

 

 Terlepas dari adanya perbedaan kalimat yang Syahrur pakai dalam menggambarkan gagasannya tentang sinonim dalam Al-Quran, menurutku tidak ada satu pun dari mereka yang berarti “anti sinonimitas”. Maksud Syahrur dengan kalimat tersebut adalah “tidak ada sinonim dalam Al-Quran” dan ini tidak sama dengan “anti sinonimitas”.

Kata “anti” memiliki tiga makna– yaitu tidak setuju, tidak suka, tidak senang–dalam Bahasa Indonesia dan dalam Bahasa Inggris bermakna opposed to. Jadi, maksud dari “anti sinonimitas” dalam Al-Quran adalah tidak setuju terhadap atau opposed to sinonim dalam Al-Quran. Tidak setuju/opposed to berbeda dari tidak ada. Tidak setuju terhadap atau opposed to sinonim dalam Al-Quran masih mengandung maksud bahwa dalam Al-Quran masih ada sinonim.

Baca juga:  Syndrome Media Sosial; Silatur-rahim yang berujung Silatul-misuh

Untuk penggunaan kata “sinonimitas” sendiri, ini memicu pertanyaan. Bila yang dituju adalah makna “perihal sinonim”, istilahnya bukan “sinonimitas” tapi “kesinoniman”, dan jika yang dimaksud adalah untuk mengubahnya menjadi kata benda–sebagaimana dalam Bahasa Arabnya menggunakan mashdar–”sinonim” sudah kata benda. Jadi, aku masih susah menangkap alasan mengapa yang dipakai adalah “sinonimitas”.

Sebentar, aku baru ingat. Boleh jadi, Mustaqim memilih diksi “sinonimitas” karena mendapat inspirasi dari Bahasa Inggris, synonymity, yang sepadan dengan kata kesinoniman. Namun, selepas kuperiksa–cek di sini– kata tersebut tidak umum digunakan dan istilah yang umum adalah synonimy. Dus, kemungkinan terakhirnya adalah KBBI yang Mustaqim gunakan berbeda dari KBBI hari ini, apalagi kita tahu bahwa perkembangan bahasa cukup dinamis.

Bagaimana dengan Yusron? Berdasarkan keterbatasan penelusuranku, aku tidak menemukan artikel Yusron di Internet. Untungnya, ada beberapa kakak tingkat waktu kuliah dulu yang bercerita bahwa kali pertama mereka dengan istilah “asinonimitas” adalah dari Yusron. Betapa pun, karena pijakannya adalah pengalaman, ini membutuhkan data tambahan.

Dari “anti sinonimitas” ke “asinonimitas”

Abdul Mustaqim menggunakan istilah tersebut pada tahun 2007. Satu tahun berikutnya, terbit Skripsi yang menggunakan kata “asinonimitas” di judulnya, yang ditulis oleh Rumzah. Skripsi ini lahir dengan dibantu oleh dua bidan: Yusron dan Abdul Mustaqim. Kendati konteksnya berbeda, karena Rumzah mengkaji Aisyah Abdurrahman bint Syati’, variabel yang Rumzah dan Mustaqim pakai sama: la taraduf dalam Al-Quran. Satu lagi: dalam menerjemahkannya, Rumzah tidak memakai kata “anti sinonimitas” seperti pembimbingnya, tapi “asinonimitas”, istilah yang tidak kalah seru untuk didiskusikan.

Ada dua hal tentang kata “asinonimitas”. Pertama, dalam Bahasa Indonesia prefiks a digunakan untuk tiga arti: kekurangan, tidak atau bukan, dan tanpa, sedangkan dalam Bahasa Inggris untuk makna tidak ada kaitannya dengan moral, being outside or beyond the moral order or a particular code of morals.

Dari pengertian tersebut, “asinonimitas” bisa dipahami sebagai tanpa kesinoniman, kekurangan kesinoniman, atau sesuatu yang tidak berhubungan dengan kesinoniman. Pengertian ini memiliki konotasi yang beragam dan bahkan–untuk kasus yang terakhir–bertentangan dengan maksud prinsip tidak ada sinonim dalam Al-Quran.

Baca juga:  Hanya Orang-orang yang Tidak Sabar yang Bilang Kalau Sabar itu Ada Batasnya

Di sisi lain, pada dasarnya kita bisa mempertanyakan terkait pemasangan prefiks a dan sufiks -itas. Sependek yang kutahu, sebagai sufiks pembentuk nomina, -itas digunakan untuk adjektiva–bukan nomina–seperti loyalitas dan intensitas. Model yang sama juga berlaku untuk prefiks a.

Kedua, bahasa yang Aisyah Abdurrahman gunakan dalam tafsirnya tidaklah sesederhana  “asinonimitas” melainkan memakai redaksi musykilah al-taraduf al-lughawi dan … fi al-lafdz la yaqumu maqamahu siwahu, wa fi al-harf la yu’addi ma’nahu harfun akhar. Bagi Aisyah, lebih pas untuk menjelaskan prinsip tersebut melalui penjabaran, bukan istilah.

Lebih jauh, dari skripsinya Rumzah ini kemudian penggunaan “asinonimitas” menyebar ke kampus-kampus lain hingga sekarang dengan tanpa dipertanyakan. Meski demikian, ini bukan berarti kata “anti sinonimitas” hilang. Pada 2014, dosen STAIN Pekalongan (sekarang UIN Abdurahman Wahid) Waryani Fajar Riyanto kembali menggunakan istilah “anti sinonimitas” untuk mengkaji tafsir-tafsir sufi kontemporer.

Berdasarkan pengalamanku pula, dua istilah itu masih sering digunakan dalam konferensi-konferensi di Bidang Studi Quran. Bila penggunaannya tidak untuk isu linguistik barangkali ini tidak terlalu mengusik, tapi kenyataannya itu dipakai untuk mendiskusikan aspek kebahasaan Al-Quran.

Non-synonymy

Dari pada memaksa menerjemahkan “tidak ada sinonim dalam Al-Quran” ke “asinonimitas” atau “anti sinonimitas” dan lantas–untuk kepentingan abstrak–menerjemahkannya kembali ke Bahasa Inggris menjadi “a-synonymy” akan lebih baik bila kita menggunakan istilah “Non-synonymy”. Istilah ini sudah lumrah dipakai di kalangan masyarakat berbahasa Inggris dan secara makna dekat dengan pandangan bahwa tidak ada sinonim dalam bahasa.

Sebagai pertimbangan lain, kita bisa juga langsung menerjemahkannya begitu saja, tanpa menggunakan istilah, toh redaksi yang digunakan di buku aslinya adalah dalam bentuk kalimat. Kita cukup bilang “tidak ada sinonim dalam Al-Quran” atau “kata-kata dalam Al-Quran memiliki maknanya masing-masing”.

Adapun untuk penggunaan dalam judul, bukankah lebih sederhana bila langsung memakai redaksi Arabnya. Konsep Panopticon Foucault umpamanya, ketika kita menggunakannya dalam riset dan memakai terjemahannya dalam judul, rasanya akan menggelikan. Itu akan berbunyi begini, “Pesantren, berkah kiai, dan ketundukan santri: analisis menara Foucault.” Saat kita bisa memunculkan istilah-istilah yang memukau dalam penelitian, terasa puas memang, tapi kepuasan tidak selalu linier dengan kemudahan orang lain dalam memahami. Msaifullah

Komentar Facebook
0