Bahagia ala Stoa

 

Pembaca budiman ini ingin bahagia, kan? Jawabannya pasti “iya”. Jika ada yang tidak ingin, coba hidungnya dipegang. Peace! Sebagai manusia, kebahagiaan sudah ada di dalam diri kita sejak lahir. Kita tidak perlu menggantungkan kondisi bahagia pada hal-hal eksternal. Kalau kita belum bahagia, biasanya memang lagi pelihara emosi negatif ntah dengan sadar atau tidak. Gak bahaya, ta? 

Resep bahagia ala Stoa. Paripurna tujuan hidup manusia kebahagiaan. Ketenangan ini berkelindan erat dengan menjalani kehidupan yang berbudi luhur dan menumbuhkan karakter baik. Kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri kita sendiri dan sama sekali tidak tergantung pada keadaan di luar diri. hanya saja, kahagiaan yang fitrah sering kali diubek-ubek dengan negative emotion. Padahal, emosi negatif merupakan penilaian palsu yang menunjukkan kegagalan moral dan kurangnya kebijaksanaan. Emosi pengganggu ini yang harus diberantas. Kemampuan mengendalikan hal-hal negatif dalam diri akan melahirkan sikap bijak, yaitu diri yang hanya memiliki eupatheia atau kasih sayang yang baik. Kebahagiaan dapat dicapai dengan mengembangkan kebijaksanaan dan kebajikan, sehingga seseorang dapat benar-benar kebal terhadap masalah apapun, kemalangan ataupun derita.

Baca juga:  Keutamaan dan Sejarah Hajar Aswad

Bagaimana cara bahagia ala Stoa? Di sini menjadi jelas, bahwa bahagia adalah kecerdasan mengendalikan emosi negatif seperti kemarahan, kecemasan, dan kesedihan. Kondisi bahagia tercipta ketika tidak ada emosi negatif yang muncul. Ini menekankan pentingnya alasan, pengendalian diri, dan penerimaan nasib. Kebahagiaan dicapai dengan hidup sesuai alam dan menerima apa yang terjadi dalam hidup yang bajik. Mengejar kebajikan adalah mengejar kebahagiaan. Menjalani kehidupan yang bajik, ditandai dengan kualitas seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan disiplin diri, mengarah pada pemenuhan dan kepuasan batin.

Kebahagiaan merupakan tanggung jawab pribadi kita. Kita memiliki kekuatan untuk membentuk kebahagiaan melalui tindakan dan sikap kita sendiri. Ini amanah personal. Kita mampu menerima nasib dan menemukan kepuasan pada saat menjalani hidup. Kita berfokus pada apa yang ada dalam kendali kita dan melepaskan keterikatan pada peristiwa eksternal. Kita bisa mengembangkan sikap ketidakpedulian yang tenang terhadap peristiwa di luar sana. Dengan menyadari, kita tidak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi pada kita, kita dapat membebaskan diri dari kekhawatiran yang tidak perlu dan menemukan kedamaian pikiran.

Baca juga:  Sebagai Santri, Haruskah Bersikap atas Sahnya RUU Pesantren?

Kita mendorong penanaman ketahanan emosional dan kemampuan untuk menavigasi tantangan hidup dengan keseimbangan batin. Ini bertujuan untuk menguasai gairah dan emosi. Mengendalikan emosi menjadi salah satu kunci untuk mencapai kebahagiaan. Untuk mengendalikan emosi, kita bisa refleksi dan introspeksi. Dengan memeriksa dan memahami alasan di balik emosi yang dirasakan, kita dapat mengendalikan emosi tersebut dengan lebih baik. Selain refleksi dan introspeksi, kita harus mengubah perspektif. Emosi negatif sering kali muncrat karena opini atau interpretasi yang salah terhadap suatu kejadian. Dengan mengubah perspektif dan melihat kejadian tersebut dari sudut pandang yang lebih arif, kita dapat mengurangi dampak emosi negatif. Penting juga dalam mengolah emosional adalah latihan kesabaran. Dalam situasi yang menimbulkan emosi negatif, kita mengambil jeda dan menunggu agar emosi yang semula tersulut dapat mereda. Ini semua dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri kita sendiri dan dunia sekitar, sehingga dapat mengendalikan emosi dengan lebih efektif. 

Saya akhiri esai ini dengan cerita: jalan macet vs kereta si tepat waktu. Di pasar Larangan Sidoarjo, jalan lurus ditutup. Belok kiri, macet. Mobil, sepeda motor, dan orang-orang pasar berjibun. Waktu melesat terasa lebih cepat dari pesawat. Tiba-tiba sudah pukul 09.35 di tengah himpitan kendaraan. Jam keberangkatan kereta: 09.44. Jarak stasiun Sidoarjo masih + 1 km. “Ini pilihan terbaik”, dalam batin. Lepas dari macet. Gas. Mobil tiba di stasiun pukul 09.48. Penumpang jadwal kereta berikutnya penuhi loket masuk. Nerobos, pas di pintu cek tiket: kereta yang jadwal 09.44 tidak terlihat, tapi tetap sodorkan handphone yang tertera jadwal keberangkatan yang sudah usang. “Kereta jadwal ini sudah berangkat?”, disambut: masih perjalanan masuk stasiun. Jawaban petugas yang membuat langkah cepat cetak boarding pass, ke parkir jemput anak dan istri. Lari masuk ruang tunggu, anak jatuh terdorong koper. Berdiri dan kereta datang. Go.

Baca juga:  Pendulum Arus Baru Islam Indonesia Pasca 212

 

Maghfur M. Ramin, Penikmat Kopi IIQ An Nur Yogyakarta

Komentar Facebook
3