Inilah Lima Cara Menjadi Wali Menurut Ibnu Athaillah As-Sakandari


Penulis: Inan

Jadi wali itu enak. Dekat dengan Gusti Allah, berdoa apa saja diijabahi, dan setelah mati kuburan tak pernah sepi. Cobalah tengok makamnya Gus Dur di Jombang itu. Bahkan hingga hari ini makamnya tak pernah sepi, beliau masih bisa memberi manfaat bagi orang-orang yang masih hidup.

Memang, menjadi wali bukanlah impian semua orang sebab jalan yang ditempuh berbeda dari rata-rata dan penuh halang rintang. Beban moralnya pun cukup berat, sungguh kamu nggak akan kuat.

Bagaimana tidak. Saat berbuat baik, wali akan tetap dianggap biasa wae karena itu memang sudah menjadi laku hidupnya. Sementara kalau berbuat buruk barang sedikit saja, rusak lah susu sebelanga.

Meskipun demikian, jika di antara pembaca sekalian ada yang tetap memiliki cita-cita menjadi wali, saya tidak akan menutup-nutupi caranya. Sungguh, saya akan membeberkan rahasia besar tersebut secara cuma-cuma.

Berikut adalah lima kutipan dari kitab al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari yang bisa anda tetapkan sebagai pedoman untuk menjadi wali. Jika bisa, dengan izin Allah anda akan didaulat menjadi wali.

Di kalangan pesantren, kitab ini cukup terkenal dan bahkan menjadi salah satu kitab tasawuf yang paling banyak dikaji selain Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Mau tahu apa saja rahasianya?

Baca juga:  Belajar Sufi dari Anak Rusa

Cekidot. 


1. Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan. Sebab segala sesuatu yang tumbuh dengan cara tidak ditanam, maka tidak akan sempurna hasil buahnya. 

Cara yang pertama adalah ikhlas dalam beramal. Tepat seperti slogan departemen agama negara kita tercinta. Nah, keikhlasan tersebut dapat diraih dengan cara membenamkan amal perbuatan kita sedalam-dalamnya agar tidak diketahui orang lain.

Ibarat pohon, jika tidak ditanam di tanah yang cukup dalam, hasilnya tak akan sempurna. Akarnya tidak akan kuat menancap dan buahnya menjadi tidak optimal. Bisa-bisa malah dimakan burung.

Begitupula dengan amal. Jika tidak benar-benar disembunyikan, maka dengan mudah akan dipatuk oleh burung bernama riya’. 


2. Di antara tanda matinya hati adalah tidak merasa sedih atas ketaatan yang terlewatkan. Juga, tidak menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat. 

Cara yang kedua adalah senantiasa menghidupkan hati sehingga memiliki kepekaan terhadap segala perintah dan larangan Allah. Sebab, ketika hati sudah mati hidayah akan kebingungan nyari pintu masuk.

Namun anehnya, ada saja orang-orang yang justru berbangga diri atas perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Katanya sih kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.

Hmmm, tangio mas turumu miring iku. Ati-ati lek utekmu geser.

3. Siapa yang beribadah lantaran mengharapkan sesuatu dari Allah atau untuk menangkal hukuman dari dirinya berarti belum menunaikan hak-hak sifat Allah. 


Cara ketiga adalah dengan mengubah mindset dalam beribadah.

Baca juga:  Hadis tentang Cicak dan Pentingnya Memahami Asbabul Wurud Hadis

“Sama Gusti Allah kok itung-itungan, memangnya kamu lagi dagang di pasar?” Kira-kira begitulah sindiran Ibnu ‘Athaillah yang hendak disampaikan dalam kutipan di atas.

Mungkin saat itu beliau melihat banyaknya fenomena manusia yang beribadah lantaran berharap mendapatkan surga dan ingin menjauhkan diri dari api neraka. 


Jika dahulu saja keadaannya sudah demikian, lalu bagaimana dengan kondisi zaman sekarang?

Memang, tidak ada salahnya mengharapkan pahala atas ibadah yang sudah dijalankan. 


Namun andaikan ibadah hanya dipahami sesederhana itu, bagaimana jika kemudian ternyata surga dan neraka tidak ada? masihkah orang-orang ikhlas menyembah kepada-Nya?

4. Keinginan supaya orang lain mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidakjujuran dalam ibadahmu. 


Cara berikutnya adalah jujur dalam beribadah. KH. Saleh Darat, dalam kitab Syarh Hikam-nya mengatakan bahwa hal ini dapat diperoleh dengan tidak bersombong diri kepada makhluk lain dan tidak mengharap apapun dari mereka.

Cukuplah ibadah menjadi rahasia intim antara makhluk dengan Tuhannya. Tidak perlu dikit-dikit mengunggah aktivitas ibadah di sosial media apa lagi minta diliput wartawan kayak reuni akbar 212.

Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan. Karena jika ibadah kita diketahui oleh khalayak umum, bisa jadi niat dari ibadah akan bergeser.

Baca juga:  PJ. Zoetmulder, Panteisme, dan Pendekatan terhadap Tasawuf

5. Barang siapa merasa dirinya tawaduk berarti ia sombong, sebab tawaduk seperti itu tidak muncul kecuali karena merasa sombong. Ketika engkau merasa mulia berarti engkau telah sombong.

Cara yang terakhir adalah selalu bertawaduk (lawan dari sombong) tanpa merasa sedang bersikap tawaduk.

Ilustrasinya sederhana: mencontoh surat al-Ikhlas. Surat ini adalah surat yang benar-benar menggambarkan derajat keikhlasan yang sesungguhnya. Meskipun dinamakan surat al-Ikhlas, anda tidak akan menemukan satu pun kata ikhlas di dalamnya.

Nah, jika semua hal-hal di atas sudah jenengan lakukan tapi kok posisi tetap menjadi manusia yang biasa-biasa saja alias tidak jadi wali, maka periksa satu hal ini: mungkin cita-cita menjadi wali itu memang tidak ada.

Saya sendiri masih ingat ketika dahulu mengaji, pak kiai berulang kali menyampaikan pesan bahwa tujuan mempelajari al-Hikam adalah untuk mengetahui kahanan (kondisi) para waliyullah, bukan supaya menjadi wali.

Jadi ya wajar saja jika anda tetap tidak bisa seperti penulisnya; Syekh Ibnu Athaillah.

Tapi tenang, setidaknya kalau sudah punya anak, anda akan tetapi menjadi wali kok meskipun KW, yaitu: wali murid dan wali santri.


Baca Esai menarik lainnya yang ditulis oleh Inan.
Komentar Facebook
0