Makam imam alBusyiri
Sumber gambar https://ne3matullah.wordpress.com/

Qasidah Burdah dan Penolakan Abu Bathin yang Membabi Buta

Al ‘Umdah adalah salah satu kitab syarah atas karya burdah Al Imam Mohammad Al Busyiri, Pemilik karya besar nan fenomenal, al Burdah As Syarifah As Syafiyah Al Masyhurah itu. Al ‘Umdah sendiri ditulis oleh seorang ‘Alim ‘Allamah, Al Imam Ibn ‘Ajibah, yang juga punya karya syarah atas Kitab Tasawuf fenomenal Al Hikam Al ‘Atha’iyah.

Burdah karya Al Busyiri ini disyarahi berkali-kali dari berbagai sudut pandang dan periode berbeda pula. Seolah menandakan keabadian rasa cinta dan rindu dalam setiap bait syairnya. Biasanya, dalam syarah burdah ini dijelaskan gramatikanya, karena ia berupa karya sastra yg seringkali memuat makna tersembunyi. Setelah penjelasan gramatikal, lalu dijelaskan makna mufradatnya, yang seringkali menggunakan istilah metaforis, sehingga tidak cukup dibaca, diartikan dan dipahami secara literal semata.

Dan penjelasan paling pentingnya adalah terkait makna keseluruhan setiap bait dan tema yang memiliki munasabat (kesinambungan) dan ta’allaqat (keterkaitan) antara satu dengan lainnya. Dan di bagian penting ini, para pensyarah juga memunculkan dalil-dalil yang relevan dengan setiap ungkapan Al Busyiri.

Latar Belakang Penulisan Qasidah Burdah

Ibn ‘Ajibah dalam pengantar syarah burdahnya kembali mengisahkan latar belakang penulisan Burdah Al Busyiri ini;

… سبب نظمها وقوع فالج به أعيا الاطباء، ففكر في إعمال القصيدة يتشفع بها اليه صلى الله عليه و سلم، فأنشأها، فراى النبي صلى الله عليه وسلم، فمسح بيده الشريفة عليه فأصبح معافي.

Saat itu, Al Busyiri divonis mengalami kelumpuhan di sebagian anggota tubuhnya. Dan yang terpikir dalam benaknya saat itu, hanya ingin meminta keberkahan kesembuhan dari Rasulullah melalui penulisan Qashidah. (Ingatan spontanitas seperti ini biasanya hanya bisa dialami oleh orang yang cintanya mendalam dan rindunya tak terbendung, hingga yangg menghuni relung jiwanya hanya dia, kekasihnya tercinta). Dan subhanallah, harapan Al Busyiri berbalas kehadiran Rasulullah dalam mimpinya yang mendatangi dan mengusap bagian tubuhnya yang lumpuh. Ia pun terbangun dalam keadaan mendapatkan kesembuhan.

Baca juga:  PJ. Zoetmulder, Panteisme, dan Pendekatan terhadap Tasawuf

Terkait proses penyembuhan dan kesembuhan, manusia tak punya otoritas untuk memastikan secara presisi, sakit apa dan obat apa yang pasti bisa menyembuhkan. Tidak sedikit, kesembuhan atas suatu penyakit terjadi tidak rasional dan logis, tapi, ya sembuh.

Setelah Al Busyiri mengalami kesembuhan tak masuk akal itu, Karya burdahnya menjadi buah bibir. Banyak orang sakit yang bertabarruk (mencari keberkahan) melalui burdah untuk mendapatkan kesembuhan atas sakitnya. (Cerita lengkap bisa dibaca dalam kitab “al ‘umdah fi syarh al burdah – karya Ibn ‘Ajibah)

Demikian, respon dan respek para ulama yg merasakan getar cinta dan rindu dalam madah-madah burdah, dan menemukan banyak kemanfaatan dalam baris-baris keindahan syairnya. Tetapi, ada juga segelintir orang yang menolak bahkan mencela karya cinta al busyiri ini dengan membabi buta.

Abu Bathin yang Keterlaluan dalam Mengkritik Burdah

Contohnya seperti tulisan seorang ulama yang konon pernah menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan Malik Saud bin Abdul Aziz, namanya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman yang sering dipanggil Aba Bathin. Dalam biografinya, dia menulis bahwa salah satu gurunya adalah Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, putra dari pendiri Wahhabi.

Salah satu statementnya dalam tulisannya Ar Raddu ‘Ala Al Burdah,

Burdah ini adalah bentuk sikap ghuluw, sikap berlebihan atau lebay Al Busyiri dalam memposisikan dan menyanjung Nabi. Pujian burdah ini tak ada bedanya dengan orang-orang Nashara yg memperlakukan Isa bin Maryam layaknya Tuhan. Dan bodohnya, banyak orang yg ikut-ikutan membacanya, sungguh mereka adalah orang-orang yg bodoh dalam tauhidnya…

Di antara bait yang dipermasalahkan oleh Abā Bāthin adalah bait berikut;

Baca juga:  Virus Bernama Suhita dan Enak Tidaknya Dijodohkan Bagi Santri
يا اكرم الخلق مالي من الوذ به – سواك عند حلول الحادث العمم

Menurutnya, ungkapan Ya Akramal Khalqi, yang artinya, wahai makhluk termulia adalah sanjungan yang berlebihan, lebay. Dalam baitnya terdapat istighotsah kepada kepada Nabi, permohonan pertolongan agar kelak di akhirat mendapatkan keselamatan.

Padahal, menurut Aba Bathin, keselamatan di akhirat hanya milik Allah dan hanya bisa dilakukan oleh Allah. Meskipun dalam burdah ini, tidak menyebut bahwa Muhammad adalah anak Allah, tapi menurutnya ini sudah sama, tasyabbuh dengan perilaku orang nasrani.

Sungguh, ini adalah logika yang kacau, saudara. Bagaimana bisa, meminta dan berharap pertolongan Rasulullah -terlebih kelak di akhirat- dengan syafatnya yang sudah dikabarkan jauh hari di dalam al-Quran dan hadis, bahwa Nabi kelak diizinkan memberikan syafaat kepada umatnya, lalu harapan ini dianggap menyimpang, padahal dalam shahih Bukhari, Rasulullah menyampaikan berkaitan dengan pamanya, Abu Thalib;

 لعله تنفعه شفاعتي يوم القيامة، فيجعل في ضحضاح من النار يبلغ كعبيه، يغلي منه دماغه

Ini jelas sharih kan ya? bahwa kelak, Nabi punya syafaat yg bisa digunakan untuk menyelamatkan umatnya, tentu kita semua ingin mendapatkannya, kan?

Selanjutnya, menurut Abā Bāthin, kesesatan logika tauhid dalam burdah ini terdapat dalam bait;

 إن لم تكن في معادي آخذا بيدي

Ini adalah ungkapan kalimat istighotsah yang paling puncak. Meminta pertolongan kepada Nabi dengan ungkapan yang sangat berlebihan dan ini kesalahan fatal, menurutnya.

Menariknya, dalam menyesatkan ungkapan ini, Abā Bathin mengatakan bahwa, kelak tidak satu pun pertolongan yang bermanfaat dari selain Allah swt. Lalu dia menggunakan dalil untuk membenarkan gugatannya. Ia mengutip surah yasin ayat 23.

Tapi agak aneh menurut saya, sebab ia mengutip ayat ini dengan penggalan kalimat;

Baca juga:  Kitab Tafsir yang Tidak Akan Selesai Kita Baca, Sampai Kita Tua Sampai Jadi Debu
( إِن یُرِدۡنِ ٱلرَّحۡمَـٰنُ بِضُر لَّا تُغۡنِ عَنِّی شَفَـٰعَتُهُمۡ شَیۡأ وَلَا یُنقِذُونِ)
[Surat Ya-Sin 23]

Keselamatan tidak akan diperoleh sebab adanya syafaat jika Allah menghendaki terjadinya kebinasaan, demikian menurutnya.

Loh, kenapa ayat ini tidak dihadirkan secara utuh. Padahal, ayat ini semacam menjadi penjelas kalimat sebelumnya yang satu ayat, ءَأَتَّخِذُ مِن دُونِهِۦۤ ءَالِهَةً. Nampaknya, ada yang sengaja dikaburkan oleh Aba Bathin ini, ayat ini kan berbicara tentang orang-orang pagan yang menyembah banyak tuhan. Sehingga oleh seorang lelaki beriman di antara mereka diingatkan bahwa tuhan tuhan yang kalian sembah itu tak akan mampu memberikan pertolongan. Konteksnya jelas, penyembahan banyak tuhan, bukan lainnya. Apalagi menyembah Nabi Muhammad, jauh sama sekali.

Ini yang nampaknya membenci dengan membabi buta, menyerang sekenanya seolah tak menahu latar dan konteks dalil yang digunakan, semata melampiaskan kebenciannya.

10 Tema Pembahasan Qasidah Burdah

Lalu, sebenarnya, apa saja yang dibahas dalam burdah ini. Dr. Abdus Salam al Umrāni memetakan tema-tema dalam burdah ini dalam 10 tema;

  1. Luapan cinta dan kerinduan kepada Rasulullah saw.
  2. Peringatan bahaya menuruti hawa nafsu
  3. Pujian kepada RasuluLLah saw.
  4. Mawlid atau sejarah kelahiran Rasulullah saw.
  5. Mukjizat Rasulullah saw.
  6. Kemuliaan al Quran dan pujian atasnya
  7. Peristiwa isra’ mi’raj
  8. Jihad dan peperangan
  9. Tawassul dengan Rasulullah saw.
  10. Munajat dan menyebutkan hajat

Nah, jika membaca dengan hati dan pikiran terbuka, niscaya akan menemukan untaian- untaian mutiara sebagai wujud mengungkapkan rasa cinta. Akan berbeda jika sebelum membaca saja, hati dan pikiran dipenuhi dengan keruhnya kebencian dan murka, hingga yang ditulis sebagai rundungan hanyalah dusta dan dusta.

Mari tetap galakkan shalawat kepada baginda, sebagai bentuk usaha tak seberapa bahwa kita ingin tetap mencinta.

Penyunting Qowim Musthofa
Komentar Facebook
1