Kitab Tafsir yang Tidak Akan Selesai Kita Baca, Sampai Kita Tua Sampai Jadi Debu

FOTO: sabak/niam

Penulis: Inan


Dalam esai beberapa hari yang lalu, Qowim Musthofa, mengulas tiga kitab tipis yang wajib anda kaji sebelum boyong dari pesantren. Tiga kitab itu adalah Safinatun Najah, Alala dan Jurumiyah.

Dan, andaikata seorang santri belum pernah mengkaji ketiga kitab di atas atau bahkan belum pernah mendengar judulnya, kesantriannya layak untuk dipertanyakan kembali.

Pada esai kali ini, demi menyajikan tulisan yang berimbang kepada para pembaca, perkenankan saya untuk mengulas kebalikan dari apa yang telah ditulis, yakni kitab tafsir yang tidak akan selesai kamu baca, bahkan ketika ajal sudah menjemput.

Kitab yang dimaksud adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghaib yang ditulis oleh Imam Fakhruddin al-Razi. Seorang teolog Asy’ariyyah kelahiran kota Rayy, Persia yang wafat pada tahun 606 H.

Ketebalan kitab Mafatih al-Ghaib membuat saya tidak perlu membahas banyak kitab dalam tulisan ini. 


Cukup satu saja. Bayangkan, hanya dengan jumlah jilidnya, kitab ini mampu membuat kita menyesal mengapa kita menghabiskan lebih dari delapan jam sehari untuk tidur. 

Tidak tanggung-tanggung, penerbit Dar al-Fikr, Beirut mencetaknya menjadi 32 jilid. Lebih unggul 4 jilid dari tafsir At-Thabari yang berjumlah 28 jilid.

Kitab ini juga memiliki sebutan lain yaitu: Tafsir al-Kabir. Sebutan yang benar-benar menggambarkan jumlah halaman yang dimiliki oleh kitab tersebut. Sungguh judul yang tidak membohongi isi.

Baca juga:  Tiga Alasan yang Mendorong Manusia dalam Menuntut Ilmu Menurut Imam Ghazali

Mafatih al-Ghaib adalah kitab yang akan segera menyadarkan bahwa pengetahuan kita hanyalah sebatas kotoran kecil yang menempel di ujung kuku para ulama masa lalu, alias tidak ada apa-apanya.

Selain itu, kitab ini menunjukkan bahwa penafsiran Alquran sangatlah luas dan kaya akan metafora. 


Imam al-Razi diketahui menghabiskan satu jilid kitabnya hanya untuk membahas tafsir surat al-Fatihah saja. 

Lalu, apa kabar dengan orang yang baru belajar agama kemarin sore dan sudah berani dakwah keliling sambil mengklaim dirinya sebagai ulama?

Di dalam khazanah Islam, Mafatih al-Ghaib termasuk salah satu kitab tafsir yang populer. Sebab beberapa abad setelah ditulis, kitab ini tetap saja menjadi rujukan umat Islam jauh sesudah generasi penulisnya. Pesonanya pun turut mengundang banyak peneliti untuk mengkajinya.

Sejauh pengetahuan saya, beberapa pandangan Imam al-Razi dikutip dalam dua karya ulama Nusantara abad ke 19. Yakni pada kitab tafsir Marah Labid karya Syaikh Nawawi al-Bantani dan kitab tafsir Faidl al-Rahman karya KH. Saleh Darat. 


Sedangkan pada era kontemporer, cendekiawan muslim semisal Abdullah Saeed dan Bintu Syathi’ juga merujuknya.

Kitab tafsir yang disusun oleh Imam al-Razi ini disusun berdasarkan urutan mushaf Utsmani. Dalam arti dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas.


Sebagai karya yang ditulis oleh seorang teolog, alur penafsiran dalam kitab ini disampaikan secara demonstratif-logis. 

Tidak tahu apa itu demonstratif-logis? Silahkan googling.

Baca juga:  Sayyidina Umar: Prototype Penafsir Alquran Secara Kontekstual

Kitab ini juga dikenal sebagai ensiklopedia ilmu kalam lantaran di dalamnya banyak ayat Alquran yang dibahas melalui sudut pandang mutakallimun


Meskipun demikian, penjelasan melalui aspek kesusasteraan dan pembahasan mengenai fikih tetap dapat kita temukan.

Di dalamnya pula kita akan menemukan catatan mengenai perdebatan berbagai aliran Ilmu Kalam yang berkembang saat itu. Hal ini menjadi wajar karena penulisnya merupakan singa podium pada zamannya.

Walau ditulis beberapa abad lalu, saya yakin Mafatih al-Ghaib masih tetap relevan untuk kita baca saat ini. 


Pengalaman saya membaca kitab ini membuktikan bahwa perdebatan yang terhormat adalah perdebatan yang didasarkan pada alur berpikir yang tepat serta argumen yang kuat.

Al-Razi sendiri merupakan ahli debat yang adil. Dalam berbagai perdebatan ihwal ilmu kalam, ia acap kali mencantumkan argumen lawan tanpa mengurangi atau menambahinya. 


Al-Razi, setahu saya bukan tipe ulama yang suka ngeles kalau diajak debat. Jika argumen lawan memang kuat, tanpa segan ia akan mengakuinya–sesuatu yang jarang kita temukan dewasa ini.

Baca juga:  Tiga Kitab Tipis Yang Wajib Dikaji Sebelum Sampeyan Boyong dari Pesantren

Meskipun kitab ini terbilang tebal, saya tetap tidak menyarankan anda untuk menggunakannya sebagai bantal saat tidur. Sebab, bagaimanapun juga kitab ini merupakan tafsir al-Qur’an. 


Jangan sampai hanya karena urusan kantuk, anda ikut-ikutan melecehkan Tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang menyablon kalimat tauhid pada topi dan pakaian. Ini yang pertama.

Alasan kedua, walaupun berkali-kali anda menjadikan kitab ini sebagai bantal, toh tetap saja anda tidak akan menguasai kitab ini secara tiba-tiba ketika terbangun. 


Oooo… tunggu dulu, ilmu didapatkan melalui belajar bukan tidur. Tidak semudah itu Ferguso.

Akhirul kalam, sebagai penutup, tentu saja tidak baik jika kekurangan kitab ini tidak dikemukakan. Menurut saya, kekurangan kitab ini justru terletak pada kelebihannya itu sendiri.


Kita tahu dengan jumlah jilidnya yang berlebihan, kitab ini justru sangat susah untuk diselesaikan.

Bahkan saking tebalnya, menurut Abu Hayyan ada beberapa ulama yang berkomentar bahwa di dalam kitab Mafatih al-Ghaib kamu akan menemukan segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. 


Loh?

Baca artikel menarik lainnya tentang PESANTREN atau yang ditulis oleh INAN.
Komentar Facebook
0