Kepribadian dan Sikap Anti Kolonialisme Syekh Nawawi al-Bantani

Sumber Gambar: NU online

Penulis: Inan

Syekh Nawawi merupakan salah satu cendekiawan muslim di masa lalu yang memiliki karir cemerlang di tingkat internasional. Pada abad ke 19 M, beliau ditunjuk sebagai imam di Masjidil Haram Makkah. 


Meskipun ia tidak kembali ke Indonesia dan memilih menetap di Timur Tengah hingga akhir hayatnya, namun sumbangsihnya terhadap perkembangan wacana keislaman di Indonesia tidak dapat diragukan lagi.

Faktanya, hingga saat ini sebagian besar karya beliau dikaji di berbagai lembaga pendidikan baik formal (semisal perguruan tinggi sebagai bahan penelitian dan tugas akhir) maupun non-formal seperti pesantren. Tak hanya di Indonesia saja, karya-karya beliau juga dikaji di beberapa negara di Timur Tengah, Malaysia, Thailand, dan Filipina bagian selatan.

Kepribadian dan Karyanya

Syekh Nawawi lahir pada tahun 1813 M di desa Tanara, Banten. Beliau merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah seorang penghulu. Dari sosok sang ayah, beliau memperoleh pendidikan dasar mengenai Islam seperti Fiqh, Ilmu Tafsir, Ilmu Kalam, Ilmu Nahwu dan Sharaf sebagaimana yang ditulis oleh Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya: Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren.

Pada tahun 1828 M, bersama dengan saudaranya, Nawawi muda melakukan ibadah haji dan menetap di Mekkah selama tiga tahun. Nampaknya, kondisi intelektual Mekkah saat itu menarik perhatiannya sehingga beliau memutuskan untuk menetap di sana. Setelah kepulangannya dari haji yang pertama. Beliau berangkat ke Mekkah dan menetap di sana hingga wafat.

Baca juga:  Bahagia ala Stoa

Syekh Nawawi meninggal pada tahun 1897 M dan jenazahnya disemayamkan di Ma’la berdekatan dengan makam Siti Asma; putri dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq.

Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang bertemu langsung dengan Syekh Nawawi dan terlibat dalam diskusi panjang bersamanya, menceritakan banyak kisah mengenai kehidupan sehari-hari dan interaksi sosial beliau–termasuk kegiatan mengajarnya.

Snouck mengatakan bahwa Syekh Nawawi selalu menggunakan waktu luangnya untuk mengajar. Meskipun selama beberapa tahun terakhir (kurang lebih selama 15 tahun), kegiatan menulis menyebabkan beliau tidak mampu mengajar dalam waktu yang lama.

Dalam kesehariannya, beliau merupakan orang yang ramah. Suatu ketika, Snouck meragukan hal tersebut hingga dia mengikuti berbagai aktivitas Syekh Nawawi. “Meskipun hanya sebatas upaya penghormatan terhadap ilmu,” ungkap Snouck, “beliau menerima cium-tangan dari para murid-muridnya. Dia juga tidak akan merasa repot untuk merespon dan menjawab berbagai pertanyaan seputar agama dari setiap orang.” 

Meski tercatat sebagai sosok yang berpengetahuan luas dalam bidang keagamaan, Syekh Nawawi tidak pernah menunjukkannya sedikit pun. Dalam percakapan sehari-hari beliau seringkali menjaga jarak sehingga tidak mendominasi lawan percakapannya. Diskusi ilmiah pun tidak akan dimulai jika tidak ada yang menginginkannya.

Baca juga:  Sayyidina Umar: Prototype Penafsir Alquran Secara Kontekstual

Lebih lanjut, andaikata ada seorang asing yang tidak mengenali beliau dan menginap di rumahnya selama beberapa hari, mungkin orang tersebut tidak akan menyadari bahwa Syekh Nawawi adalah seorang cendekiawan muslim yang menulis lusinan karya tulis berbahasa arab.

Syekh Nawawi merupakan intelektual yang menulis berbagai macam karya di bidang keagamaan. Setidaknya beliau menulis (diperkirakan) tiga puluh empat karya. Pada tahun 1886 M, beliau menyelesaikan karya besarnya mengenai tafsir al-Qur’an dengan judul Marah Labid atau Tafsir al-Munir. 

Karena karya tersebut, beliau kemudian menyandang gelar Sayyid Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Sebuah gelar yang diberikan oleh komunitas intelektual Mesir atas dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan Islam.

Sikap Anti-kolonialisme

Transimisi keilmuan yang terjadi antara Nusantara dan Timur Tengah pada saat itu menyebabkan banyak orang dari “tanah air” –untuk tidak mengatakan Indonesia karena sebutan ini baru digunakan pada permulaan abad 20 M– berangkat ke Mekkah guna mempelajari agama Islam.

Pada kenyataannya, hubungan ini tidak hanya membentuk mata rantai intelektual saja melainkan juga membentuk pandangan politik. Kedatangan para siswa di tanah Mekkah turut membawa berbagai macam kabar dari tanah air mengenai proses kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda sehingga pandangan politik anti-kolonialisme terjalin meskipun di luar sana.

Baca juga:  Hadis Teroris, di Tangan Gus Mus Menjadi Sebuah Kritik Sosial yang Cantik

Memang, dalam berbagai karyanya Syekh Nawawi tidak memberikan pernyataan eksplisit mengenai sikap anti-kolonialnya. Namun, kita masih dapat melacak hal itu ketika pemberontakan petani di Banten pecah pada tahun 1888 M. Zamakhsyari Dhofier menulis bahwa banyak dari murid Syekh Nawawi mengambil peran besar dalam propaganda anti-kolonialisme sepulang mereka dari Mekkah.

Juga, kita dapat menemukannya ketika K.H. Hasyim Asy’ari –salah satu murid Syekh Nawawi sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama– mendeklarasikan resolusi jihad melawan penjajah. Meski Syekh Nawawi tidak terlihat mengambil peranan besar, akan tetapi beliau tetaplah menjadi aktor penting dalam peristiwa yang oleh Zamakhsyari Dhofier sebut sebagai “bangkitnya kesadaran nasionalisme” itu.

Snouck Hurgronje sendiri mengakui bahwa kepribadian Syekh Nawawi sangatlah mendalam dan memiliki pengaruh besar terhadap para murid-muridnya.

“Pada akhirnya,” tulis Karel A. Steenbrink dalam bukunya: Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, “tidak mengherankan jika orang ini [Syekh Nawawi] turut berbahagia saat mendengar kesusahan yang dialami oleh pasukan Belanda dalam perang Aceh. Bahkan dalam sebuah percakapan pribadi Syekh Nawawi tidak sepakat andaikan distrik Jawa diperintah oleh orang-orang Eropa.”

*Diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris dengan judul: Nawawi al-Bantani’s Personality and His Anti-colonialism Attitude yang pertama kali diunggah di medium.com/@inananan
Komentar Facebook
0