Sayyidina Umar: Prototype Penafsir Alquran Secara Kontekstual


SABAK.OR.ID – Umar tercatat menerapkan beberapa kebijakan yang tidak ditemukan di masa Nabi. Penafsirannya terhadap ayat Alquran pun berbeda dengan yang dipraktikkan oleh Nabi. Sebagian orang menganggapnya visioner, sedangkan sebagian lain melihatnya sebagai sesuatu yang kontroversial

Tahun 637 M. seorang pemimpin Islam mendatangi Yerussalem untuk melakukan perjanjian damai dan memberikan perlindungan bagi kota suci tersebut. Penduduk pun berhamburan menuju gerbang kota. Mereka semua laki-laki, perempuan, anak-anak, orangtua, pemudaberkumpul untuk menyambut kedatangannya.
Namun, pawai serta konvoi militer yang lumrah terjadi ketika seorang pemimpin datang tak pernah ada. Di ujung pandangan mata, para penduduk hanya melihat dua orang bersama seekor unta. Salah satu di antara keduanya duduk di atas punggung unta sedangkan yang lain berjalan kaki menuntun unta.
Pada saat tiba, penduduk Yerussalem berbondong-bondong menyambut kedatangannya. Mereka mengira bahwa penunggang unta tersebut adalah pemimpin besar yang selama ini dikabarkan banyak orang. Mereka salah. Sang penunggang unta berkata: “Jika yang kau cari adalah pemimpin besar kami, maka kalian keliru. Bukan akulah orangnya, melainkan pejalan kaki ini.”
Pemimpin besar yang dinantikan kedatangannya oleh para penduduk itu, yang membuat mereka berdecak kagum bagaimana Islam bisa melahirkan orang sepertinya, dialah Umar bin Khattab. Dalam perjalanannya dari Damaskus menuju Yerussalem, ia tetap menghormati pengawalnya dengan bergantian menaiki unta. Sesampainya di kota tersebut, Umar lah yang mendapatkan giliran berjalan menuntun unta.
Orang mengenalnya sebagai al-Faruq: sang pembeda antara yang benar dan salah. Kisah-kisah yang beredar mengenai khalifah kedua ini menjadi masyhur ihwal kepahlawanan dan keberanian. Soal perang, sejarah mencatat bahwa Umar beberapa kali mengikuti perang bersama Nabi.
Kemenangan pasukan Islam atas pasukan Romawi yang terjadi di sekitar daerah Yarmuk pun terjadi di masa kepemimpinannya. Pada perang besar tahun 636 M itu, sekitar 20 ribu pasukan Islam berhasil mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai jumlah 70 ribu pasukan. Oleh beberapa penulis, pertempuran ini dianggap sebagai salah satu pertempuran penting yang pernah terjadi di dalam sejarah.
Tapi, kisah Umar tak selamanya akan hal itu. Ceritanya yang lain adalah tentang kepiawaian berpikir serta kearifan membaca situasi sosial. Dalam salah satu biografinya yang disusun oleh Muhammad Husein Haikal diceritakan bagaimana dia, orang yang konon memeluk Islam sebab terketuk nuraninya setelah mengetahui keindahan sastra al-Qur’an, merupakan sosok yang cerdas.
Umar berasal dari keluarga kelas menengah yang dekat dengan tradisi baca tulis. Di masanya, tradisi baca tulis adalah suatu keistimewaan yang hanya dimiliki segelintir orang yang hidup di tengah-tengah tradisi lisan. Pada sebuah kesempatan, pecinta sastra dan syair-syair arab itu berkata:

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, agar mereka berani menegakkan kebenaran. Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, agar jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, sebab sastra akan mengubah si pengecut menjadi pemberani.

Bahkan, Umar pernah mengancam orang-orang Quraisy yang memusuhi para pengikut Nabi dengan kalimat metaforis. Pada suatu ketika, setelah selesai menunaikan ibadah salat dan tawaf, di depan musuh-musuhnya Umar menghardik: “Barangsiapa di antara kalian menginginkan istrinya menjadi janda atau anaknya menjadi yatim, maka temuilah aku di balik bukit ini.”
Di masa turunnya syariat salat, awal mulanya Nabi menyarankan penggunaan tambur, bel atau terompet sebagai alat untuk memberitahukan masuknya waktu salat. Akan tetapi Umar tidak menyepakatinya. Ia berpendapat bahwa penggunaan alat-alat itu telah dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Sebuah hadis menunjukkan bahwa Umar lah yang menganjurkan suara manusia sebagai metode yang ideal untuk memberitahukan masuknya waktu sholat.
Karena pendapat Umar memiliki pengaruh penting terhadap umat Islam, Nabi pernah memberikan pujian kepadanya. Abu Hurairah, salah satu periwayat hadis menceritakan bahwa Nabi pernah berkata:

“Di kalangan bangsa Israel yang hidup sebelum kalian, terdapat sejumlah laki-laki yang lumrah memperoleh ilham meskipun mereka bukan dari golongan para nabi. Andaikata ada orang-orang seperti itu dari kalangan pengikutku, dia lah Umar.”

Mengutip pandangan Abdullah Saeed, “Beberapa riwayat menggambarkan Umar sebagai sebab datangnya ayat-ayat Alquran. Ada riwayat bahwa Umar biasa mengekspresikan pendapat lalu Alquran mengambilnya sebagai wahyu baru. Rinciannya pun dapat ditemukan dalam tiga hal: mengambil maqam Ibrahim sebagai tempat salat, meminta para istri Nabi untuk berhijab dan mengkritisi mereka karena saling cemburu. Di dalam Islam, ayat-ayat ini dikenal sebagai muwafaqat Umar (Ayat-ayat di mana Tuhan sependapat dengannya).”
Perihal kearifannya dalam membaca situasi sosial, selama tahun-tahun pemerintahannya, Umar tercatat menerapkan beberapa kebijakan yang tidak ditemukan di masa Nabi. Penafsirannya terhadap ayat Alquran pun berbeda dengan yang dipraktikkan oleh Nabi. Sebagian orang menganggapnya visioner, sedangkan sebagian lain melihatnya sebagai sesuatu yang kontroversial.
Misalkan, suatu kisah bercerita bahwa Umar tidak memotong tangan seseorang yang telah mencuri melebihi batas karena adanya perubahan konteks sosial. Di saat pencurian itu terjadi, kota Madinah sedang dilanda kelaparan besar yang dikenal sebagai “tahun kekeringan”. Oleh sebab itu dia memilih untuk tidak melakukannya. Padahal, secara tekstual ayat al-Qur’an menyatakan bahwa siapapun yang melakukan pencurian melebihi batas hendaklah dipotong tangannya.
Dalam kesempatan lain, seorang lelaki mencuri harta dari kas negara. Namun Umar justru menanggapinya dengan berkata: “Tangannya tidak boleh dipotong karena dia juga memiliki hak atas kas negara ini”.
Penutur lain juga turut mengisahkan bagaimana Umar menerapkan kebijakan yang berbeda terhadap para pemabuk. Di masa Nabi, hukuman bagi orang yang meminum arak adalah 40 kali cambukan. Karena di masa pemerintahan Umar akses untuk memperoleh arak lebih mudahsebab pesatnya pertumbuhan ekonomi, ia justru melipat gandakan hukuman tersebut menjadi 80 kali cambukan sesuai dengan kondisi sosial di masanya.
Di kemudian hari, berbagai kebijakan Umar ini direkam kembali oleh Abdullah Saeed dan dianggap sebagai cikal bakal (prototype) penafsiran Alquran secara kontekstual: di mana ayat-ayat Alquran tidak ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan redaksi literalnya saja melainkan dengan menyertakan konteks sosial sebagai salah satu bahan pertimbangan yang penting.
Meski demikian, Umar tetaplah manusia sebagaimana para sahabat Nabi yang lain. Di ujung pemerintahan, seorang peramal datang menemuinya. Ia menyampaikan kabar buruk bahwa dalam beberapa hari ke depan nyawanya akan direnggut oleh seorang budak.
Akan tetapi, rasionalis yang tidak percaya terhadap ramalan dukun itu justru mengingkarinya. Pada akhirnya, di suatu subuh pada tahun 644 M, seorang budak bernama Abu Lukluk menikam Umar dari belakang. Khalifah yang juga dikenal dengan julukan “singa padang pasir” ini wafat beberapa saat setelahnya.


Penulis: Inan, Lurah sabak.or.id
Komentar Facebook
0
Baca juga:  Asinonimitas, Al-Quran, dan Penerjemahan yang Tergesa-gesa