API Tegalrejo dan Makam Batu Ampar Jintung Idjam Esai 2 Desember 2019 0 4 min read Sumber gambar: tegalrejo.com Saya pernah mendengar cerita bahwa Kiai Khudori, al-Anwar, Ngrukem, tidak di rumah saat ayahnya meninggal. Sampai tujuh harinya ia belum juga pulang. Ternyata, saat itu Kiai Khudhori muda sedang tabarukan/riyadhah di Batu Ampar, tempat ziarah di Madura yang terkenal itu. Di kalangan santri senior Api Tegalrejo Magelang, sekalipun bukan arahan resmi pondok, belum sah sebagai santri yang paripurna kalau belum riyadhah di Batu Ampar. Jangan ditanya kenapa Kiai Khudhori muda tidak “menangi” saat ayahnya meninggal, karena waktu ke Batu Ampar hanya berjalan kaki, dari Api Tegalrejo sampai Batu Ampar. Namanya juga santri: nekat adalah modal utama. Dan, tanpa uang saku. “Allah yang akan memberi rejeki, yang akan ngasih makan. Namanya juga tirakat, Kang, mosok mikir sangu. Takut kelaparan. Kalau sangunya banyak namanya piknik.” Tutur Mbah Neli, santri senior di al-Anwar. Menurut Mbah Neli, Kiai Khudhori hanya makan dedaunan selama di perjalanan, daun ketela atau apa saja yang ditemukan. Dan makan apa saja yang bisa dimakan, dan halal. Masak tirakat kok makannya mencuri? Biasa ngrowot (tidak makan nasi), tentu tak ada masalah hanya makan daun dan apa saja yang bisa dimakan. Jika Anda santri manja, tentu tak bisa membayangkan pergi dari Jogja ke Batu Ampar berjalan kaki tanpa bekal yang cukup. Selama lebih dari sebulan. Baca juga: Islamic Boarding School dan Istilah Pesantren yang MembagongkanTidak mengherankan, tradisi tabarukan ke Batu Ampar marak di kalangan santri API Tegalrejo. Termasuk semua cabang API al-Anwar Ngrukem. Beberapa santri senior, jika diijinkan, saat akhir bulan Ramadan ke Batu Ampar untuk ziarah. Biasanya sehari katam al-Aquran sekali, selama di sana. Tentu saja berangkat-pulangnya naik bus. Praktis. Santri zaman now. Namanya juga santri, apa laku prihatin gurunya sebisa mungkin akan ditiru. Sekalipun tidak persis seperti gurunya. Makanya, alimnya santri tak bisa menandingi gurunya. Ini baru prolog, baru pembukaan. Yang mau saya bahas adalah: mengapa tradisi tabarukan di Batu Ampar seperti syarat sahnya menjadi santri Tegalrejo. Kenapa harus Batu Ampar? Ceritanya begini. Dulu, Kiai Khudhori, pendiri Api Tegalrejo (bukan Kiai Khudhori Ngrukem), dua tahun sebelum ayahnya meninggal, saat ia masih ngaji di Pesantren Bendo, ia sudah dijodohkan dengan putri Kiai Dalhar Watucongol. Namun waktu itu Kiai Chudori masih belum mau menikah. Ia masih mondok lagi ke Lasem. Saat setelah ayahnya meninggal, Kiai Dalhar mengharapkan Khudhori muda segera menikah dengan putrinya, namun entah mengapa, ia malah menghilang selama dua tahun. Tak ada kabar. Semua orang mencarinya, namun tak ada hasil. Hingga kerabatnya yang ada di Surabaya menemukannya sedang uzlah di Batu Ampar, Madura. Ini sedikit cerita tentang Batu Ampar. Sayyid Husein yang merupakan keturunan Maulana Makdum bin Raden Rahmat Sunan Ampel, adalah awal sejarah Bani Batu Ampar. Baca juga: Jika Barokah Bisa Didapatkan Lewat Nyolong, Mbah Mun Dulu Ngambil Apa kok Bisa Sealim Sekarang?Saat ada fitnah dari para prajurit kerajaan Bangkalan bahwa Sayyid Husein akan memberontak, maka diseranglah Pesantrennya. Hancur. Abdurrahman, sang putra, sempat melarikan diri. Abdurrahman memiliki tiga putra, salah satunya Abdul Mannan. Abdul kemudian uzlah di daerah Batu Ampar, sampai 45 tahun. Kemudian ditemukan oleh seorang gadis pencari kayu dalam keadaan yang menyedihkan: kurus dan hampir meninggal. Pendek cerita, menikahlah kedua sejoli itu. Kemudian diteruskanlah perjuangannya berdakwah, dengan nama Bujuk Kasambih. Saat Bujuk Kasambih wafat, ia dimakamkan di Batu Ampar. Itulah orang pertama yang dimakamkan di Batu Ampar. Salah satu cucu murid Bujuk Kasambih adalah kiai Itsbat, pendiri Pondok Pesantren Banyu Anyar, yang menjadi cikal bakal Pesantren besar di Jawa Timur: Pesantren Betet, Pesantren Bata-Bata Pamekasan, Pesantren Nurul Jadid Paiton, Pesantren Bulugading Jember, dll. Oke, cerita Batu Ampar cukup sampai di sini. Cerita tentang silsilah Batu Ampar tadi saya ambil dari tulisan di Kompasiana, Jejak Para Sesepuh Batu Ampar Madura, oleh TB Jamaluddin, 18/03/2012, yang diperbarui 25/06/2015. Kini bisa sedikit disimpulkan: Kiai Khudhori Tegalrejo uzlah di Batu Ampar karena ingin ngalap barokahnya tokoh-tokoh di Batu Ampar yang sukses sebagai ahli dakwah, dan menurunkan kiai-kiai dan pondok-pondok besar. Dan tidak lama kemudian, setelah Khudhori pulang, lalu menikah dengan putri Kiai Dalhar. Beberapa tahun ikut mengajar di pesantren Watu Congol milik Kiai Dalhar, ia minta izin untuk mendirikan pesantren sendiri. Baca juga: Syndrome Media Sosial; Silatur-rahim yang berujung Silatul-misuhKeyakinan Kiai Khudhori untuk mendirikan pesantren sendiri didapat setelah setiap malam Jum’at selama setahun penuh ia berziarah ke Gunungpring, ke makam Raden Santri. Malam itu, sekira jam tiga pagi, ia merasa mendapat petunjuk: badannya bergetar setelah mendengar suara gelegar dari dalam kubur Raden Santri. Dan tepat pada tahun 1943, pesantren Tegalrejo resmi didirikan. Kemudian diberi nama Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo. Dan begitulah, API Tegalrejo sampai sekarang menjadi salah satu pesantren yang berkembang pesat. Santrinya ribuan. Banyak santri yang sudah ulama setelah digembleng disana. Bahkan, Gus Dur pun pernah nyantri di sana. Kini sudah bisa dijawab kenapa di setiap santri senior API Tegalrejo beredar semacam kepercayaan bahwa belum sah menjadi santri Tegalrejo sebelum melakukan uzlah ke Batu Ampar. Mengikuti jalan uzlah guru adalah langkah yang hampir wajib bagi santri. Karena di pondok pesantren, guru benar-benar digugu dan ditiru, didengarkan dan dicontoh. Bagi santri, mengikuti apa yang disenangi guru adalah sebuah bentuk keta’ziman tersendiri. Termasuk berziarah ke tempat-tempat yang disenangi guru. Dan tidak ada pesantren yang berkembang pesat kecuali sang pendiri punya tirakat yang kuat. Kesimpulannya, kenapa santri-santri sekarang, setelah menjadi alumni, hanya biasa-biasa saja? Tidak bisa mendirikan pondok pesantren yang keramat seperti Tegalrejo? Komentar Facebook 0