Dukun Selawat

Penulis: Jintung Idjam

Di atas bus dari pondok sampai rumah, ia masih samar akan sikap Bapaknya yang katanya berubah. Mengingat sikap yang keras dan kaku, kabar dari ibunya bahwa bapaknya mau mengadakan Mauludan sangat diragukannya.

Profesi bapaknya yang dukun membuatnya introvert. Rendah diri. Aroma dupa yang senantiasa mengharumkan rumahnya membuatnya menolak bila ada temannya yang ingin datang ke rumah.

Tapi, sedari dulu hingga sekarang, yang membuatnya bingung adalah; tidak ada kata tidak untuk mondok, begitu dawuh bapaknya. Harus. Dan harus bisa baca kitab dan hafal Alquran. Itulah tugas terberatnya sebagai anak semata wayang: menuruti keinginan bapaknya. Padahal Jum’atan pun bapaknya tak pernah.

Dan belum diperbolehkan pacaran, apalagi menikah, sebelum dua kewajiban itu di genggaman tangannya. Sementara laki-laki yang datang terakhir ini benar-benar membuatnya hampir gila.

Dan pagi tadi, sesudah salat subuh, berteriak ia dalam hati dengan lantang, “Aku bisa kuat sendiriaaaann…”

Dua jam kemudian dia sangat terpukul dengan keberaniannya menolak pinangan kekasihnya. Kuliah dan nasehat orang tuanya untuk tidak menerima laki-laki sebelum lulus yang membuatnya berani menolak pinangan orang yang dicintainya. Walau hatinya berontak.

Tiga hari tidak ada kabar dari orang yang dicintainya, chat WA dan komentar di media sosialnya, hatinya menggigil. Panas badannya naik. Pikirannya kacau. Hatinya terpuruk kecil dan gelisah melanda.

“Jangan sekali-kali dekat dengan Ahyar, anaknya si takmir masjid itu. Aku tidak sudi punya besan seperti dia.” Kata bapaknya kapan lalu, saat pulang pondok dijemput Ahyar, kekasihnya.

Anita paham, status bapaknya seorang dukun sangat tidak disukai pak takmir. Hingga membantu masjid pun dilarang oleh karena uang sumbangan itu hasil bisaroh para pasien bapaknya. Uang hasil kemusyrikan.

Ia pulang hari ini untuk memastikan kata ibunya, bapaknya akan mengadakan Mauludan. Ini pertama kalinya acara mauludan di rumahnya. Ia masih tak percaya itu. Dan harapannya, bapaknya sudah berubah dengan wasilah Mauludan.

Sampai rumah, ia tak lantas tidur seperti biasanya, ia menemani ibunya di dapu. Ibunya tersenyum interogatif atas sikap anaknya yang tiba-tiba ikut memasak. Tapi ibunya diam, dia sangat hafal dengan anak semata wayangnya: ia hendak meminta sesuatu.

Malam, sehabis sholat Isak, ia menemani ibunya menonton sinetron yang sebenarnya tidak ia sukai: Ganteng-ganteng Srigala. Sinetron yang sangat tidak ia sukai karena nasib tokohnya sama dengan nasibnya: tergila-gila dengan cowok ganteng namun playboy.

Kepalanya ditaruh di bantal di dekat dengan ibunya. Ibunya kembali memandangnya interogatif. Saat sinetron hampir selesai, dan ibunya sedang menyelonjorkan kaki, kepalanya ditaruh di pangkuan ibunya.

“Sudah dapat berapa selawatnya?”

“Tujub luluh ribu ….” jawab Anita pelan.

Baca juga:  Teladan Santri untuk Seorang Pemimpin

“Kamu tak harus malu punya bapak seperti itu. Dia itu tulang punggung keluarga. Kamu ada juga karena bapakmu. Kamu bisa mondok juga bapakmu yang membiayai.” Ibunya membuka pembicaraan

Dengan nada sewot Anita menimpali, “Dan hasil jual babi juga, aku bisa mondok?” Anita memberanikan diri meluapkan kekesalannya yang terpendam sedari kecil.

“Semua yang datang membawa penyakit butuh disembuhkan. Babi-babi itu adalah tempat sampah. Tempat membuang penyakit orang-orang yang datang minta bantuan bapakmu.”

“Saya selalu iri saat teman-temanku diantar bapak untuk TPA di masjid. Ditemani saat naik panggung di acara kataman Alquran.” Batin Anita. Ia tak tega mengatakan keluhannya pada ibunya.

“Bersabarlah atas sikap bapakmu.”

“Salat itu wajib, Bu! Dan aku selalu rendah diri saat orangtua mereka mengantarkan TPA sembari jamaah dulu di masjid.” Batin Anita lagi.

“Membesarkan anak juga wajib. Bapakmu bertanggungjawab atas itu. Dia bapak yang baik.” Ibunya meneruskan, seakan tahu apa yang ada di hati anaknya.

Anita semakin membenamkan kepalanya di pangkuan ibunya.

“Berbaktilah pada bapakmu. Gusti yang akan memberikan hidayahNya lewat doamu.” Lanjut ibunya.

Lalu dibelainya rambut anaknya yang sedang kelihatan tidak seperti biasanya. Dalam hatinya pun sebenarnya menjerit, andai anak gadisnya tahu perasaannya selama ini. Sekalipun suaminya selalu menyarankan membaca selawat ke para pasiennya, namun dia tak salat. Aneh. Si ibu pun selalu iri melihat tetangganya ke masjid untuk Jum’atan, sementara suaminya tidak pernah.

Selalu tilik haji bareng ibu-ibu, berangkat pengajian bareng ibu-ibu, semuanya bareng ibu-ibu. Karena suaminya tak pernah mau mengatarkannya ke majelis pengajian dan sejenisnya. Tapi ia selalu menyimpannya dalam hati, tak oeenah anaknya tahu apa yang ia keluhkan.

“Ada apa, Nduk?” Tanya ibunya sambil membelai rambut Anita. “Ada yang lain? Ada yang mendekatimu lagi?”

“Aku takut sekali berkhianat kepada ibuk…” jawabnya sambil memandangi wajah ibunya. “Aku takut sekali ibu marah,”

“Jangan takut, doa ibu akan selalu bersamamu. Benar kan kamu baru saja menjauhi cowok?”

Dia hanya diam. Kedua matanya hanya tertuju pada kedua tangan yang sedang membersihkan kotoran di kukunya sendiri. Lalu menggigit kukunya sambil menatap langit-langit ruang tivi.

“Ibuk akan selalu mendoakanmu mendapatkan kekasih yang terbaik untukmu.”

Dia masuk ke kamarnya dengan malas, dengan mata yang hampir terpejam. Ibunya segera mematikan tivi. Dipandanginya kamar anaknya dengan haru.

Pagi hari, ia mencium tangan ibunya, berpamitan, sebelum berangkat ke kampus untuk ketemu dosen, meminta jatah revisi proposal skripsinya. Ibunya semakin kalap melihat perubahan sikap anaknya: dari tidak pernah cium tangan, kini mencium tangan ibunya saat berpamitan.

Siang hari, setelah dari kampus, ia kembali membantu ibunya memasak di dapur. Saat tangannya teriris pisau saat sedang merajang sayur, ia segera ke warung untuk membeli perban.

Baca juga:  Tujuh Alasan Mengapa Santriwati adalah Pilihan Ideal Dijadikan Istri

Ibunya semakin kalut. Ibunya tahu anaknya sedang tidak beres.

Malam hari, malam sebelum acara Maulidan, Pak Kasmo menghampiri Anita dan ibunya yang sedang menonton tivi di ruang tengah. Melihat bapaknya masuk, Anita bangun dari pangkuan ibunya. Duduk sedeku. Setelah bapaknya meletakkan pantatnya di kursi, ia segera bersabda, “Kamu kenapa, Nduk? Kata ibunya kamu aneh akhir-akhir ini”

“Saya baik-baik saja, Pak.”

“Sudah mendapat jawaban? Percayalah, selawat tak akan ingkar janji. Saiyidina Muhammad itu nabinya nabi … kamu masih ragu? Katakan padaku apa jawaban dari selawatmu?”

“Belum, Pak…”

“Kamu sudah mendapatkan petunjuk itu. Kamu tidak bisa membohongiku. Aku tahu dengan pasti…”

“Katakan apa hasil riyadhohmu, Nduk.” Ibunya menimpali.

“Belum, Buk.”

Mendengar jawaban anaknya, sang ibu menjadi mati gaya. Merasa telah kehilangan hati anaknya.

Sebelum Pak Kasmo melanjutkan pertanyaan berikutnya, Anita berlari ke kamar. Ia terduduk. Melamun. Matanya memerah.

Setengah jam kemudian, pintu kamarnya terbuka. “Boleh kami masuk?”

Ia hanya diam. Bapak ibunya masuk ke kamarnya bersamaan.

Ibunya duduk di tepi ranjang. Membelai rambut anak bungsunya yang kali ini dikepang dua. “Kamu ada apa?” Sapa lembut ibunya.

“Kami ini orangtuamu. Aku tak akan rela kamu selalu bersedih.” Kali ini bapaknya masuk.

“Proposal skripsiku banyak banget revisinya…” jawabnya singkat. Lalu ia tengkurap. Mukanya ia taruh di bantal. Matanya berair dan kemerahan.

Ibunya diam menungginya.

“Katakan, apa jawaban dari riyadhohmu? Jangan katakan kamu menyukai Ahyar. Aku tidak mau besanan dengan takmir bangsat itu.”

Ia membalikkan badan, menatap ibunya, “Aku sangat menyukainya, Buk.” Lanjutnya pelan dan terbata. Kaca-kaca di matanya pecah, lalu mengalir.

Ibunya menarik badannya. Meletakkan kepala putri bungusnya di pangkuan. Membelai rambutnya yang hitam. Memeluknya erat sekali.

“Buajingaaannn ….” teriak ayahnya sebelum membanting pintu kamar Anita, lalu keluar, menuju teras.

**

Sebelum tengah malam, ibunya mendekati si bapak yang duduk di gasebo belakang rumah. Ia duduk di samping suaminya yang sedang melinting tembakau. Sebentar kemudian bau kemenyan meruap dari rokok di tangan suaminya.

Sementara suasana maaih hening, perempuan setengah baya itu menebarkan pandang ke taman asri penuh bunga itu. Sebuah kolam yang ada di pojok sebelah timur, tempat suaminya membuang beberapa penyakit pasien.

“Sudah saatnya Anita menikah, Pak. Ia sudah dewasa.”

Tak ada jawaban, hanya tarikan napas suaminya menikmati rokok di tangannya.

“Kita ini sudah tua, Pak, tidakkah sampean ingin seorang cucu?”

“Kenapa selawat Nabi yang menuntunku untuk besanan dengannya. Aku masih belum bisa menerima keadaan kalau aku harus berbagi cucu dengan si takmir itu, Bu ….”

Baca juga:  Kisah Habib Ali Al-Jufri Menyesal karena Poligami, dan Bagaimana Menyikapinya dengan Luwes

“Bapak sendiri yang menyuruh Anita riyadhoh selawat. Bapak sebenarnya juga sudah tahu apa jawaban dari riyadhohnya Anita?”

Tak ada kata yang keluar dari mulut si dukun.

“Bapak takut harus salat jika besanan dengan pak takmir?”

“Aku aku ‘nglakoni’, Buk. Tapi kenapa harus dia yang memaksaku salat. Dia itu manusia. Bukan tuhan. Bukan nabi.”

“Nabi muhammad yang memberi petunjuk Bapak untuk salat. Lewat selawatnya Anita.”

Si dukun diam. Mukanya nampak berpikir keras. Keningnya mengkerut. Lalu memeluk istrinya erat. Menetes airmata untuk pertama kalinya sejak Anita lahir. Dicium kening istrinya.

Istrinya membalas pelukannya lebih erat. Diiringi suara jangkrik dan hewan malam, kedua orangtua yang sudah lama tak berpelukan itu kemudian pelan-pelan memanjat langit. Menyanyikan lagu-lagu kasmaran. Membaca syair-syair cinta Chairil Anwar. Saat jiwa mereka hampir mencapai bulan, dan genderang perang baru saja ditabuh, jiwa mereka penuh gemuruh, pintu dapur berderit. Saat Anita dan bayangan keluar dari pintu, kedua orangtua itu melepaskan pelikan mereka, kemudian mengatur napasnya yang sudah terengah-engah.

Dan suasana romantis itu hilang seketika saat Anita di depan. Dewi Asmara segera menghilang entah kemana. Peri-peri kecil yang di sekitar mereka segera menurunkan bendara perang mereka. Tidak ada lagi aura asmara di gasebo itu.

Anita berdiri setengah memmbungkuk di depan kedua orang tuanya. Susana kikuk. “Saya ikut kata Bapak saja.” Anita membuka suasana kikuk itu.

“Mulai besok kamu ajari aku salat, tapi setelah itu selesaikan dulu skripaimu ….” Jawab bapaknya pelan, sambil menahan napasnya yang sedikit masih menahan nagas yang terengah.

Anita yang paham maksud bapaknya, segera tersenyum. Bapak ibunya segera menyambut dengan pelukan hangat. Pelukan yang baru pertama kali dalam sejarah keluarga itu.

Setelah beberapa saat, bapaknya mempersilakan Anita dan ibunya masuk. “Sudah, malam. Kalian tidur sana.”

Sebentar kemudian, Anita memeluk erat tangan kanan ibunya dengan manja, lalu menyeret tangan itu berjalan masuk ke rumah. Senyum bahagia Anita tak bisa disembunyikan. Sekalipun dalam hatinya merasa sangat bersalah telah mengganggu kedua orangtuanya yang baru saja melakukan pemanasan. Namun kali ini ia hanya tersenyim dalam hati.

Anak-ibu itu segera pamit untuk masuk rumah. Sebelum mereka berdua ditelan pintu dapur, bapaknya berteriak, “Babinya akan kujual besok pagi. Akan kubelikan kambing. Untuk acara Mauludan besok sore.”

Anak dan ibu itu segera berbalik bersamaan, lalu berteriak hampir bersamaan, “Bapaakkk!!”

Bapaknya bingung dengan teriakan mereka yang setengah membentak, lalu bergumam dalam hati, “Dasar perempuan …” sambil garuk-garuk kepala.

Komentar Facebook
0