Pembunuh Berdarah Dingin itu Rombongan Santri

Penulis: Jintung Idjam

Sembilan santri senior sudah berkumpul, berseragam dinas dengan persenjataan lengkap. Kami segera berangkat sehabis magrib. Menyusuri jalan setapak, menembus malam, menuruni lembah, menyeberangi sungai, menuju sebuah kampung di kaki gunung.

Sepanjang jalan aku merasa sedang gagah-gagahnya. Merasa seperti seorang malaikat pencabut nyawa yang garang dan angker. Merasa bahwa hidup-mati seseorang ada di tanganku.

Sampai di kampung yang kita tuju, kita menuju sebuah rumah yang paling terang cahayanya, dan tak ada perlawanan sama sekali. Penduduk yang sedang berkumpul di rumah itu tampak tegang, panik, was-was, dll.

Kita begitu dihormati. Dipersilakan masuk. Jamuan jajan seadanya dihidangkan. Rokok yang dimasukkan ke dalam gelas diputar mengelilingi forum.

“Nama?” Gus Fadhil memulai pembicaraan di forum.

“Ngadiyo bin Ngadnan!” Jawab seorang tua yang kelihatan dihormati di kampung ini.

“Ingkungnya keluarkan, Pak!”

Laki-laki tua itu kemudian berbisik kepada seorang lagi yang lebih muda. Pemuda itu dengan tergopoh masuk ke ruangan tengah, sebentar kemudian membawa tiga ingkung yang ditaruh di atas satu tambir. Beberapa macam sayuran menghiasi di sana. Masuk lalu keluar lagi, pemuda itu membawa segelas air putih.

“Air putihnya dari sumur kan, Gus?”

Gus Fadhil mengangguk, lalu bertanya kepada forum, “Yang bisa baca Yasin berapa orang di sini?”

“Tidak ada. Kami biasanya baca sebisanya, Gus.” Jawab si lelaki tua.

Kemudian acara dimulai. Setelah membaca surat al-Fatihah sebagai tawasul, rombongan kami menuntaskan dengan bacaan Yasin, sejumlah jagung sebanyak umur orang yang disebut Ngadiyo bin Ngadnan yang ada di piring. Penduduk yang ada di TKP membaca macam-macam ragam bacaan Alquran, sesuai kemampuan mereka.

Setelah acara selesai, segelas air putih segera dimasukkan ke dalam rumah untuk diminumkan ke yang sakit.

Baca juga:  Nasihat Terbaik

Kemudian kita tiba di bagian paling istimewa bagi seorang santri: makan enak. Perbaikan gizi.

Ingkung kita keroyok bersama-sama. Sampai ludes. Rokok di gelas kita hisap satu persatu. Maklum; santri. Di hari-hari biasa terbiasa puasa, dan di saat begini adalah surga.

Setelah semuanya tuntas, pekerjaan kita masih satu lagi; mengambil amplop yang ada di atas piring.

Kurang-lebih begitulah gambaran me-Yasin-kan orang yang sudah sakit lama. Sudah menjadi tradisi di kampung untuk membacakan Yasin orang yang sakit keras. Dan santri hampir selalu dipercaya untuk melakukannya. Mengingat hal ini adalah hal yang paling sakral di dunia: menyangkut kematian.

Dan, biasanya keluarga besar dari si sakit sudah sepakat golong-gilik kalau sudah saatnya si sakit ini diyasinkan.

Setelah diyasinkan, kadang membaik, kadang pula segera dipanggil ke hadirat Tuhan. Dan di bagian ‘dipanggil ke hadirat Tuhan’ ini yang rawan diklaim oleh santri.

Dulu, memang, yang paling membanggakan adalah saat sebelum tiga hari sudah terdengar kabar kematian dari yang kita yasinkan. Rasanya doa kita benar-benar mustajab. Dan ingkung yang kita makan dan isi amplop yang kita pakai bayar hutang di koperasi pondok itu benar-benar barokah.

Oiya, bagian perbaikan gizi di atas hanyalah otak kotor santri. Begitulah biasanya, sekalipun tidak semua santri begitu. Jangan terlalu diambil hati. Hee..

Bicara serius, pekerjaan ini memang ambigu. Tidak enak untuk dibicarakan mengingat seakan terkesan pelaku adalah pembunuh berdarah dingin. Padahal juga tidak begitu. Yasin adalah sekedar wasilah doa untuk meminta kepada Tuhan.

Begitulah, bacaan Yasin memang salah satu tradisi yang ada, entah siapa yang memulainya. Bahkan, kadang juga ada yang sampai tiga kali minta diyasinkan.

Baca juga:  Perjodohan Seperti Alina Suhita dan Gus Birru akan Tetap Ada, dan Terus Berlipat Ganda

Dan di saat seperti inilah sampean semua harus tahu sebuah rahasia. Ini rahasia, jadi jangan bilang ke siapa-siapa. Hee…

Pernah suatu kali ada yang datang ke seorang kiai untuk meminta meyasinkan keluarganya untuk yang ketiga kalinya. Sebelum kiai itu berangkat, bu nyai sempat berpesan, “Pak, bacakan Surat Ra’du aja, Pak. Lebih dahsyat.”

Dan betul, setelah diyasinkan untuk ketiga kalinya, ketika jamaah yang lain membaca Surat Yasin, Sang Kiai diam-diam membacakan Ra’du. Hasilnya? Sebelum sang kiai sampai di rumah, keluarga si yang diyasinkan megirim SMS. “Alhamdulillah, Kiai. Sudah berhasil.”

“Berhasil gimana?”

“Ya, sudah hasil. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…”

Nah, kan. Itu kisah nyata. Memang ada keluarga yang sudah benar-benar ikhlas ditinggalkan keluarganya.

Dan pada intinya, amalan yasin bagi si sakit keras bukanlah sebuah jalan untuk mempercepat atau memperlambat kematian seseorang. Itu hanya sekedar ikut apa kata Nabi saw. Masalah di luar itu, merasa sebagai eksekutor atau semacamnya, hanyalah opini semata.

Memang, dulu, yang sering saya rasakan adalah merasa berjasa dan gagah. Lebih-lebih, setelah tiga hari atau kurang sudah ada berita kematian, maka rasa puas itu ada. Sekalipun sebenarnya kita juga hanya dimintai tolong bagi orang yang ingin mengikuti perintah Nabi Saw.

Tapi semakin dewasa, kita semua sudah faham dengan niat yang harus lurus.

Tapi ingat! Meyasinkan orang yang masih sehat wal’afiat tidak ada konteks perintahnya. Jadi, santri tidak bisa macam-macam menyalah-gunakan Yasin, apalagi Surat Ra’du yang dahsyat itu. Hee…

Segala bentuk kesombongan santri itu hanyalah bentuk perwujudan semacam teori ‘Cangkem Elek’ yang dikobarkan oleh Gus Baha’. Hee…

Dan… ini serius ini… ini penting saya utarakan…

Baca juga:  Laa Syakka fihi Banser NU

Apakah ini ada dalilnya? Oh, ada.

“Bacakanlah surat Yasin pada orang yang hampir mati di antara kalian,” HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan an-Nasai.

Kalau kata orang-orang Salafi Wahabi, hadis di atas dianggap dhaif, bahkan palsu. Tapi menurut menurut Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram, hadis tersebut disahihkan oleh Ibnu Hibban.

Itulah kenyataannya. Apakah ada yang lebih mulia daripada mengikuti perintah Nabi saw? Tidak ada kurasa.

Dan, dalam istilah akademis, praktek yang demikian itu termasuk Living Quran. Definisi Living Quran?

Menurut Sahiron Syamsuddin, seperti dikutip oleh Didi Junaedi, Living Qur’an pada hakekatnya berangkat dari fenomena Qur’an in Everyday Life, di mana makna dan fungsi Alquran yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim.

Salah satu fungsi Alquran (Yasin) di sini adalah sebagaimana tersebut di atas.

Tapi, sebaiknya tak usahlah tulisan membahas urusan akademis yang demikian lebih lanjut, bukan level saya. Itu bagiannya orang-orang pinter. Hee..

Intinya inti dari tulisan ini adalah:

Jika dipandang dari rohani, relijiusitas, tentu menyasinkan orang yang sekarat adalah puncak dari segala bentuk kepasrahan hidup.

Iya, kepasrahan hidup. Adakah yang lebih indah dan mulia selain dengan lapang dada menerima dengan ikhlas untuk pergi meninggalkan dunia ini?

‘Dari tidak ada, menjadi ada, lalu menjadi tidak ada lagi’, adalah kepastian yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Ujung dari kehidupan adalah kematian, itu tidak bisa ditawar dengan jalan apapun. Semua pasti faham ini, baik yang atheis maupun yang bertuhan.

*Jika ada santri-santri yang merasa berhasil sebagai buruh membaca surat Yasin, itu wajar. Dan biarkan saja, karena suatu saat mereka juga akan diyasinkan. Mereka akan mendapat balasan. Haa…

Komentar Facebook
0