Karomah Kiai yang Berujung Perbaikan Gizi bagi Santri Jintung Idjam Esai 30 Oktober 2018 0 3 min read Seorang santri sedang membalikkan sandal kiai di pesantren An Nur Ngrukem. Foto oleh Niam Santriwati itu tiba-tiba menjerit-jerit. Matanya melotot. Tubuhnya kejang tak beraturan. Beberapa santriwati memegangi tubuhnya. Sebagian lagi, yang tidak berani memegangi, menangis histeris. Sebagian lagi membaca doa-doa atau ayat-ayat al-Qur’an. Kejadian seperti itu sudah terjadi beberapa kali. Sekali lagi, mengulangi kejadian-kejadian sebelumnya, seorang santri menuju ndalem Gus Rumaizijat (selanjutnya Gus Rum). Mengabarkan bahwa seorang santriwati di komplek putri ada yang kesurupan. Suasana kembali damai setelah setengah jam Gus Rum menanganinya. Sembuh. Santri yang kesurupan tadi diputuskan untuk sementara tidur di kamar pengurus, ditemani beberapa santri ndalem. Malam itu, sekira tengah malam, beberapa santri putra, komplek Nurul Huda Pondok Pesantren An Nur Ngrukem, diperintahkan untuk meludahi kolam di utara musala pondok. Hanya kolam bagian selatan saja yang diperintahkan untuk diludahi. Tidak ada yang tahu pasti, apa tujuan dari perintah Gus Rum tersebut. Kejadian kesurupan tadi terjadi di komplek Maghfiroh, Ponpes An Nur, Ngrukem,Bantul. Tempatnya ada di sebelah selatan dan uatara ndalem Kiai Yasin. Sementara komplek Nurul Huda ada di belalang ndalem Kiai Yasin. Sudah beberapa kali kejadian, baik di komplek Maghfiroh atau komplek lain, Gus Rum selalu menjadi andalan untuk urusan santri yang kesurupan. ***Dua bulan berlalu, malam itu ikan-ikan di kolam yang dulu diludahi santri-santri pada mati. Baca juga: Kisah Rasulullah Melamar Umi Salamah yang Janda, Punya Anak Empat Sekaligus PencemburuAnehnya, hanya ikan di bagian selatan yang pada mati. Bagian utara masih hidup sentausa. Sehat wal’afiat. Padahal kedua kolam itu airnya sama-sama dari sungai. Kolam bagian selatan mendapatkan suplai air dari kolam bagian utara, melalui paralon. Aneh, memang. Tapi keanehan semacam itu tidak terlalu dipikirkan para santri. Yang mereka tahu, bagaimana caranya ikan-ikan yang mati itu tetap bisa bermanfaat. Sejurus kemudian, beberapa santri yang mengetahui adanya ikan yang mati, segera bertindak cepat. Langkah seribu. Mengamankan ikan-ikan yang mati dengan tangan kosong. Beberapa santri masih menanyakan kehalalan ikan-ikan itu, karena sekalipun sudah mati, belum ada izin dari pak kiai untuk dikonsumsi. Sebagian berprasangka baik bahwa pak kiai sudah pasti ikhlas. “Besok pagi pasti ikan-ikan ini akan membusuk. Mubazir kalau ndak dimanfaatkan. Bukankah menyia-yiakan makanan itu dosa?” Salah satu santri mendalil. “Lagian, berprasangka buruk ke kiai itu ndak boleh. Tabu. Ndak mbarokahi…” sambut santri yang lain. Yang lain tentu saja hanya diam, tanda setuju kalau pak kiai pasti ikhlas. Selain tentunya ndak mau dibilang telah berburuk sangka ke kiai. Selain itu, kapan lagi makan enak. Kesempatan tidak datang dua kali. Jadilah malam itu adalah malam pesta perbaikan gizi. Saat sebagian santri membersihkan ikan, santri yang lain segera menuju dapur untuk menanak nasi dan membuat sambal. Baca juga: KH. Munawwir Abdul Fattah dan Amal SalehSambal. Sekedar pemberitahuan saja, jika Anda ingin tahu kenapa di pondok sambal selalu jadi andalan? Bagi pondok putra, yang sebagian tidak bisa memasak, sambal adalah alat untuk menghilangkan rasa yang lain. Enak urusan belakangan, karena rasa pedas adalah salah satu cara menutupi rasa ketidakenakan makanan. “Nggak enak itu urusan belakang, Kang. Yang penting pedas. Karena pedas akan menggantikan rasa tidak enaknya makanan….” kata seorang santri pada beberapa yang lalu. “Rasa toh cuma untuk menipu lidah kan, Kang?” Lanjutnya. Benar juga. Hanya lidah saja yang sering minta yang aneh-aneh. Sementara perut, tugasnya hanya mencerna saja. Lapar hilang, pikiran jadi tenang. Mengaji tak perlu sambil memegangi perut karena manahan lapar. Setelah pelepah pisang digelar, nasi dituangkan, lalu ikan-ikan goreng itu diletakkan di atas nasi, yang terakhir adalah sambal yang masih di dalam cobek diratakan di atas hidangan. Yang terakhirnya terakhir adalah semua santri berjajar mengelilingi jamuan perbaikan gizi itu. Menunggu aba-aba dari ketua rombongan. Di saat sakral dan genting itulah, seorang gus muncul. Tentu saja gus itu dipersilakan membuka pesta perbaikan gizi itu dengan doa. Bagi santri, bahagia tentu saja tidak diukur di mana ia makan. Tapi bersama siapa mereka makan. Baca juga: Bagaimana Proses Persalinan Novel Hati Suhita? (Bag. 1)Bukankah tadi sore mereka sudah makan? Apa mereka tidak kekenyangan? Tentu saja tidak begitu ceritanya bagi santri. Menurut kiai Khudlori Ngrukem, santri hanya punya dua keadaan perihal perut; kelaparan atau kekenyangan. Santri biasanya kuat untuk kedua hal itu. Kelaparan karena sehari hanya makan dua kali. Dan banyak puasanya. Kekenyangan, bila ada rizki min haitsu la yahtasib. Rizki yang datangnya tiba-tiba. Ya, semisal ikan-ikan yang mati itu. Saat pesta sedang meriah-meriahnya, lamat-lamat terdengar suara menjerit-jerit dari komplek santri putri. Suaranya semakin lama semakin keras terdengar. Santri yang sedang berpesta itu membisu semuanya. Mendengarkan apa gerangan suara itu. Sebentar kemudian komplek santri putri terdengar gaduh. Sehingga jelaslah suara apa itu. “Ahaa!!!” Seorang santri yang masih memegangi potongan ikan berteriak menemukan ide, sambil menunjukkan jari ke langit memberi sebuah tanda, “Sebaiknya kita ludahi kolam yang di sebelahnya. Sebelah utara. Bagaimana?” Mendengar ucapan santri itu, seorang gus yang ikut berpesta mulai sadar ikan yang dimakannya berasal dari mana. “Wkwkwk … Jiangkriiikkk koen iku kabeh!” Umpat gus yang ikut makan di situ. Tentu sambil tertawa terkekeh. Lalu semua santri ikut tertawa. Girang. Dan puas, karena umpatan gus itu menandakan sebuah izin atas ikannya yang pada mati lalu dikonsumsi bersama itu. Penulis: Jintung Idjam, Redaksi Komentar Facebook 0