Hape Telolet Untuk Jono

FOTO: tubasmedia
Penulis: Jintung Idjam

Tidak seperti biasanya, Jono, beberapa hari ini, sepulang sekolah, langsung menyambar keranjang dan sabitnya, bergegas menuju sawah. Di benaknya yang terbayang adalah bisa pulang cepat, lalu menaiki sepedanya dengan cepat pula menuju rumahnya Riski.

Melihat semangat anaknya, Mbok Watik merasa lebih gembira dari biasanya. Sepulang dari pasar Mbok Watik tidak perlu repot mencari rumput untuk tujuh kambingnya. 


“Kamu seperti almarhum bapakmu, Jon. Selalu lebih menyayangi kambing daripada aku.” Katanya dalam hati.

Kebahagiaan Mbok Watik masih bertambah saat malam sudah menjelang. Jono, yang biasanya setelah mengaji dan mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya langsung tidur, sejak sebulan terakhir selalu menungguinya di dapur. 


Sesekali Jono merapikan dedaunan yang akan digunakan emaknya untuk membungkus tempe. Terkadang menunggui emaknya di dapur sampai terlelap di ambin, di samping tumpukan kayu bakar yang menggunung.

Seperti hari biasanya juga, di hari Minggu Jono mencari rumput lebih awal. Setelah salat subuh dan membersihkan kandang, setengah tujuh ia sudah berangkat ke sawah. Pulang setengah sembilan lalu pergi bersama sepedanya. Pulang kembali ke rumah sebelum azan Zuhur.

Sudah sebulan Jono bersemangat mencari rumput dan selalu menunggui ibunya saat membungkusi tempe. Juga pergi dengan sepeda setelah mencari rumput.

“Dari mana, Le.” Sapa ibunya saat minggu kelima.

“Main, Mak. Sama Riski…” Jawabnya sambil menyandarkan sepedanya di pohon nangka depan rumah.

“Kalau main jangan jauh-jauh.” Kata emaknya, sambil menatap Jono dengan tatapan haru.

Jono lalu masuk ke rumah, tangannya mencekik leher kendi, mulutnya menengadah menunggu kucuran air dari mulut kendi, untuk membasahi tenggorokan. Lalu berjalan ke belakang rumah, memandangi kambing-kambingnya. Lalu mendekat. Memungut rumput di keranjang, meletakkan di tempat pakan kandang. Seluruh kambing berdiri untuk menyantab persembahan si majikan. Jono mengelus kepala kambing betina yang sedang menyusui anak-anaknya. Wajahnya sendu, matanya tampak berkaca-kaca.

Dari dalam dapur, Mbok Watik mengelus dada melihat anaknya yang semakin hari semakin hitam, rambutnya semakin merah karena serangan panas mentari. Dilihatnya juga sandal jepit yang melekat di kaki Jono.

“Andai bapakmu masih, Le. Kamu tak perlu mencari rumput tiap hari. Tapi pesen bapakmu juga tidak mungkin aku ingkari: Kambing-kambing itu harus terus dipelihara. Untuk masa depan Jono.” Mbok Watik membatin dalam hati.

*
Sore hari, selepas azan Asar, di boncengan belakang, Jono tersenyum bahagia menuju rumah. Memeluk erat kakeknya yang dengan napas tersengal masih mau menuruti cucunya untuk mengantarnya pulang.

Baca juga:  Gus Macam Apa (Episode 2)

Setelah Mbok Watik keluar menemui si kakek, Jono lantas masuk ke kamarnya. Ia tempelkan telinga ke tembok, dadanya berdetak kencang, khusuk mendengarkan pembicaraan antara Kakek dengan ibunya.

“Saya juga ingat, Pak. Rabu Kliwon bulan depan kan jatuh harinya. Saya sudah persiapkan dari kemaren-kemaren. Kambingnya akan saya jual satu untuk itu.” Mbok Watik menjawab pernyataan dan pertanyaan mertuanya, dengan sopan.

“Kalau itu aku juga sudah menyisakan panenan kemaren. Tapi, bukan hanya itu. Selain masalah selametannya Wagiyo, juga masalah …” Si kakek berhenti bicara, tampak ragu melanjutkan.

“Lalu apa, nggih. Saya kok ndak mudheng.”

“Si Jono itu minta hape kemaren. Katanya, kambingnya dijual nggak apa-apa. Dia pengen seperti seperti teman-temannya.”

“Bukannya saya tidak sayang sama Jono, Pak. Saya cuma tidak mau dia mainan terus, kayak si Riski. Tiap hari kerjaannya hanya main hape saja.”

Mendengar jawaban pertama ibunya, Jono segera keluar ke belakang, menemui kambing-kambingnya. Wajahnya sendu saat melihat kambing-kambingnya yang mulai tampak gemuk.

*

Keluar dari pasar dan menyeberang jalan, Mbok Watik menuju warung kecil sekira tiga ratus meter dari pasar. Menurunkan tenggok dari punggungnya, lalu menghitung semua tempe sisa dari pasar. Lalu duduk sambil mengusap wajahnya dengan ujung selendang, kemudian mengambil es lilin.

“Masih berapa, Mbok?” Tanya Bu Minah.

“Dua puluh lima, Bu.” Jawab Mbok Watik masih sambil memperhatikan anak bu Minah yang ada di depannya, yang sedang mendengarkan sesuatu dari hapenya. “Sepuluh ribu!” Lanjutnya.

Bu Minah segera menarik laci mejanya, mengambil selembar uang lalu keluar dari warung. “Hapenya bapaknya itu, Mbok.” Ujar Bu Minah pada Mbok Watik yang sedari tadi memperhatikan Bagas. “Mainan apa saya juga ndak tau. Kepingin sama Riski, mainan menghadang bis-bis itu lho.”

Mbok Watik mengambil uang dari tangan Bu Minah, lalu memasukkan ke dalam lipatan selendangnya.

“Bapaknya juga jarang pulang akhir-akhir ini. Jaga pos terus.” Lanjut bu Minah sambil meletakkan pantatnya di samping Bagas. “Semoga saja, ya, Mbok!”

Mbok Watik diam. Hatinya seperti teriris mendengar suami Bu Minah masih bersemangat. Sementara ingatannya pada almarhum bapaknya Jono mulai mengaduk-aduk hatinya. Diusapnya lagi muka dengan manik-manik keringat dengan ujung selendang. Lalu menyesap lagi es lilin di tangannya.

Setelah tenggok diangkat ke punggung, Mbok Watik segera pamit sambil meletakkan uang receh lima ratusan di meja, untuk sebatang es lilin.

Baca juga:  Simakan dan Tadarus Alquran Ala Nabi dan Sahabat

Di ujung perempatan, sebelum menyeberang, mata Mbok Watik tertuju pada anak-anak yang berkerumun. Dia berhenti sebentar, memperhatikan anak-anak yang berdiri di pinggir jalan. Saat bus mendekat mereka tampak berteriak-teriak. Setelah klakson berbunyi, mereka bersorak sambil berjingkrak-jingkrak, lalu anak-anak itu memberikan jempolnya pada sopir bus. Sebagian memegang hape yang diacungkan ke jalan, ke arah bus lewat.

Sebelum melangkah, matanya menyambar seorang anak yang duduk meringkuk di bawah pohon, di samping sepeda tua. Wajahnya sayu, dua sikunya diletakkan di kedua lutut, kedua telapak tangannya menyangga dagu. Pandangan anak itu nanar dan kosong. Menyendiri.

Sebelum langkah ketiganya untuk menyeberang jalan, langkah Mbok Watik terhenti, ia merasa mengenali anak itu. Matanya memperhatikan bocah itu sekali lagi. Mbok Watik terpaku. Degup dadanya menjadi cepat. Ia tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Andai tidak malu, tentu air mata itu sudah tumpah di jalan.

Melihat yang terjadi, Mbok Watik segera bergegas melangkah pergi. Ia cincingkan kain batiknya. Ia segera pulang dengan wajah sendu, mata berkaca-kaca, teringat pesan suaminya, “Kambing ini, selain kamu gunakan untuk biaya sekolahnya, juga untuk kebahagiaannya.”

Sampai di perempatan menuju rumah, Mbok Watik belok ke kanan. Menemui seorang lelaki bercaping bercelana hitam longgar. Berbincang sebentar lalu bergegas balik badan, menuju rumah.

Sebelum sampai rumah ia mampir lagi ke tempat pakdhenya Jono. Seorang wanita muda muncul dari rumah itu. Berjilbab merah, dengan perawakan tinggi semampai, tersenyum manis pada Mbok Watik. Mereka berbicara cepat, karena Mbok Watik tampak tergesa. Mbok Watik tersenyum lalu menundukkan wajahnya sebelum melangkah pergi.

Sampai rumah ia membanting tenggoknya, ia sandarkan punggungnya di tembok dapur. Kaca-kaca di matanya pecah, mengalir, menyungai di antara kulit wajah yang mulai keriput.

Sementara Jono sudah beberapa kali melihat ke langit. Merasa kekhawatirannya sudah setinggi matahari, ia segera mengayuh sepedanya menuju rumah. Sebelum sampai rumah speaker masjid sudah meraung-raung, azan Zuhur sudah terdengar. Di antara ribuan kali rodanya berputar, hatinya mengadu dan mengeluh pada tuhan, “Ya Allah … semoga Emak tidak marah aku pulang terlambat.”

Setelah menyandarkan sepeda di bawah pohon nangka di depan rumah, Jono sekali lagi mengambil napas untuk menenangkan diri. Begitu Jono masuk rumah, ibunya berlari ke arahnya, manghambur. Jono ketakutan. Didekap anaknya erat-erat. Ia ciumi pipi tirus itu. Semakin lama semakin erat dekapannya.

Baca juga:  Sebagai Santri, Haruskah Bersikap atas Sahnya RUU Pesantren?

“Emak… maafkan Jono, Mak. Besok Jono tidak akan terlambat pulang lagi, Mak.”

Mendengar ucapan Jono, tangis Mbom Watik semakin menjadi.

“Kenapa Emak menangis?”

Tangis ibunya semakin kalap. Jono merasa bingung.

“Pakdhe Walijo segera datang. Kambingmu akan Emak jual dua ekor. Biar kamu bisa merekam bis-bis yang lewat, Jon. Biar kamu bisa main bersama teman-temanmu.” Jawab Mbok Watik setelah menahan tangis dan mengusap airmatanya.

Lima menit keduanya saling menangisi. Jono yang semakin keringetan mencoba melepaskan pelukan ibunya. Ia lalu duduk di kursi rotan kamar tamu, mencekik kendi lalu menuangkan air ke gelas keramik dari tanah. Segera ditenggaknya isi gelas itu untuk melonggarkan leher yang hampir kering.

Mbok Watik mengelap airmatanya dengan ujung kebaya. Pandangannya jauh menerawang, melewati pagar rumah dan persawahan depan rumahnya, tatap matanya mentok di puncak Bukit Kendeng.

“Emak mau sowan pak Gubernur lagi? Mau jalan kaki lagi menuju Semarang?” Tanya Jono sambil menyerahkan gelas ke ibunya.

Ibunya hanya diam. Menerima gelas itu, lalu dengan pelan meminumnya.

“Kata Riski, Pak Gubernur jahat ya, Mak?”

Mbok Watik menatap ke Jono, meletakkan dua lututnya di lantai, meletakkan gelas juga di lantai, lalu tangan kirinya memegangi tangan Jono, tangan kanannya mengusap kepala anak yatim itu. “Jangan bilang begitu, Jon. Kita harus menghormati para priyayi. Mereka itu orang-orang yang harus kita hormati.”

“Aku takut emak seperti Bu Martini, ditangkap pak polisi.”

“Tidak, Jon. Emak akan bersamamu, emak tidak akan meninggalkanmu lagi, Jon … sudah, kamu buruan salat sana! Setelah Pakdhe Ujang datang mengambil kambingmu, nanti Mbak Asih akan mengantarmu membeli hape.”

Jono tersenyum. “Yang bener, Mak?”

“Iya bener. Buruan salat sana, nanti Mbak Asih keburu kemari.”

Mendengar jawaban Emaknya, lalu Jono bergegas ke belakang rumah.

Mbok Watik sekali lagi memandang puncak Bukit Kendeng sebelum mengikuti Jono mengambil air wudu.

“Emak akan ke Jakarta lagi, Jon. Maafkan emakmu ini, yang tak bisa begitu saja melupakan pesan bapakmu untuk selalu menjaga sawah kita.” Bisiknya dalam hati.

*Cerita ini ditulis saat terjadi demo di pegunungan Kendeng oleh petani Kendeng, yang bersamaan dengan musim klakson telolet di bus-bus yang lewat.
Baca tulisan menarik lainnya yang ditulis oleh Jintung Idjam
Komentar Facebook
0