Eric dan Kiai Setempat

Ilustrasi: googleimages


Penulis: Jintung Idjam

Matahari yang mulai kemerahan di ufuk Barat menerpa tubuh Eric yang mulai lelah. Kakinya sudah mulai bergetar karena perjalanan yang teramat jauh. Tapi langit dengan awan yang bertebaran di dekat cakrawala dan suasana sejuk pegunungan membuat lelahnya sedikit terobati.

Pohon-pohon yang keemasan diterpa matahari yang berdiri kedinginan membuat dadanya yang sedang sumpek menjadi sedikit sejuk. Tujuan perjalanannya yang jauh hanya satu; menyelesaikan masalah dengan cara religi.

Ia berhenti di depan pasar. Meletakkan lelahnya di balai bambu reot. Lalu merogoh sakunya, mengambil robekan kertas berisi peta yang digambar dengan pensil. Lalu tersenyum. Kemudian menghampiri penjual sayur yang mulutnya sibuk melafalkan kalimat entah.
“Kalau musala bambu di daerah sini dimana ya, Buk?”
“Di sana!” Jawabnya singkat. Sambil menunjuk bukit di sebelah utara. “Kiai Setempat?” Lanjutnya.
“Iya, Buk. Kiai setengah wali yang ilmunya bagai langit, luas tak bertepi itu.”
Si penjual sayur hanya manggut-manggut.
Mata Eric menerawang jauh ke atas bukit. Membayangkan wajah seorang lelaki berpeci nyadham kemerahan dengan jenggot sedikit yang berwarna putih. Wajahnya kembali optimis.
Dengan gontai ia langkahkan kaki menuju ke puncak bukit yang sebagian tertutup kabut. Berharap sebukit masalah yang menimpanya bisa runtuh.
Selama di jalan, ia masih bertanya-tanya dalam hati: Kenapa sedari bawah sampai pasar, lalu berjalan ke atas bukit, tak ada seorangpun dijumpainya. Suasana seperti kampung tanpa penghuni.
*
“Syaratnya berat, Kisanak.” Kiai Setempat mengucap dengan berat. Lalu mengelus lutut kanannya dengan tangan kanannya.
“Jika Allah memberiku kekuatan, semua yang merintangi akan menyingkir, Kiai.” Jawab Eric nekat.
“Apa kira-kira kamu sanggup?”
“Insya Allah, Kiai.”
Masih dalam posisi bersila, Kiai setempat manggut-manggut.
“Ini demi keluarga saya, Kiai. Saya hanya ingin semua istri dan anak saya mau kembali ke rumah. Kalau perusahaan saya bisa lancar jaya, karyawan kami juga bisa hidup makmur, Kiai.”
Kiai setempat mengambil nafas panjang. Eric menunggu perintah Kiai Setempat dengan seksama.
“Sepulang dari sini…,” Kiai Setempat ragu dan berhenti sebentar. “Sepulang dari sini…,” Kisanak lepaskanlah pakaian itu.”
Eric melihat ke jas yang ia kenakan. Lalu membenahi letak dasinya dengan tangan kanannya.
“Kamu ganti dengan pakaian yang ada di sana.” Kiai menunjuk kaos robek-robek dan berdebu yang dijemur di depan musala. Yang biasanya digunakan untuk mengepel lantai musala. 

“Pakailah peci yang sudah nyadham kemerahan di musala itu. Ambil sandal jepit selen yang ada di depan musala.”
Eric membayangkan dirinya memakai pakaian seperti yang diperintahkan Kiainya. Dahinya mengerut.
“Lalu kamu bawalah ember dan kayu sepanjang tangan yang ada di jamban sana.” Kiai Setempat menunjuk kamar mandi di sebelah musala. “Jangan lupa cari biji sawo kecik segenggam di bawah pohon sawo itu. Mukamu yang bersih itu kau lumurilah dengan arang. Separo saja, bagian kiri atau kanan…”
Eric melihat ke cermin yang di pasang di jamban musala. Membayangkan dirinya sedang bercermin. Lalu kembali masih memperhatikan dengan seksama perintah Kiai Setempat. Hatinya mulai khawatir.
“Apa benar ini yang disebut Kiai ini?” Tanya Eric dalam hati.
“Lalu berjalanlah pulang, saat setelah sampai pasar, kamu pukuli ember yang kau bawa tadi, sambil kamu joget-joget. Setelah orang-orang berkumpul, segera kamu umumkan dengan keras.
“Wahai orang-orang mulia yang sedang berkumpul di pasar… barang siapa mau memukul kepalaku tiga kali, maka akan aku hadiahi sebuah biji sawo kecik…
“Dan siapa yang mau meludahiku, maka berhak mendapatkan hadiah dariku dua buah biji sawo kecik…
“Lakukanlah! Lakukanlah seminggu penuh, kunjungi semua pasar yang ada di kota ini.”
Eric terdiam. Dalam batinnya memberontak, lalu berkata dalam hati, “Aku tidak mau keluargaku kembali.”
Tanpa pamit, Eric keluar dari gubuk Kiai setempat yang sudah bau tanah itu, yang bakul sayur tadi menyebutnya sebagai Kiai yang sudah tidak punya nafsu keduniawian.
Kiai setempat berdiri di teras rumahnya, memperhatikan langkah Eric yang kelihatan lesu. Sebelum Eric hilang ditelan belokan, adan Magrib segera berkumandang dari musala kecil di samping rumah Kiai setempat.
Sebelum jauh, Eric mengingat-ingat wajah petani yang memberinya peta itu. Lalu terbayang cara manggut-manggutnya si petani.
“Akupun tak sanggup melakukan yang aku perintahkan, Kisanak.” Bisik sang Kiai dalam hati. Lalu manggut-manggut, seperti manggut-manggutnya petani dan penjual sayur di pasar tadi.
Baca cerpen menarik lainnya yang ditulis oleh Jintung Idjam
Komentar Facebook
0
Baca juga:  Sebagai Santri, Haruskah Bersikap atas Sahnya RUU Pesantren?