Dua Sejoli Santri Ndalem Administratorrr Cerpen 18 Januari 2019 0 6 min read Penulis: Faiz Hasbullah Pesantren adalah lembaga pendidikan yang di dalamnya bukan hanya mengkaji keagamaan saja, seperti halnya mengkaji Alquran, kitab-kitab salaf (kitab kuning), tetapi pesantren juga mendidik santrinya agar menjadi insan kamil (manusia yang sempurna) yang berilmu ilmiah dan beramal amaliyah, tentunya juga mengajarkan tentang akhlaq al-karimah, tata krama, ewuh pekewuh dan lain sebagainya. Biasanya hal-hal demikian bisa didapat dengan lamanya di pondok, atau menjadi santri ndalem. Istilah abdi ndalem atau santri ndalemyaitu seorang santri senior yang sudah mondok lebih dari enam tahun misalnya, selain mengikuti tarbiyah, juga biasanya keluar masuk ndalem Kiai untuk menyiapkan suguhan atau daharan* Kiai. Beres-beres rumah, menyuguhkan jamuan untuk tamu dan lain sebagainya, sebagai bentuk khidmah kepada pesantren dan seorang Kiai dengan tujuan ngalap barakah. Ada sebuah kisah tentang Kang Latif dan Kang Maulana, keduanya adalah pengurus tertua di pesantren, karena saking lamanya di pesantren, yaitu sekitar puluhan tahun, tetapi belum menikah dan selalu berjalan berdua kemanapun mereka pergi, sehingga santri junior memanggil mereka dengan julukan ‘Trijilan’ (dua biji yang tidak terpisahkan). Selama di pesantren, kang Trijilan ini menghabiskan waktunya untuk khidmah kepada pesantren dan Kiai, dengan takzim yang luar biasa, bahkan mereka keluar masuk ndalemrumah Kiai sehari lebih dari lima puluh kali. Seiring berjalanya waktu, tidak terasa mereka berdua habiskan waktu di pesantren sebagai santri ndalem, dan akhirnya Kang Latif yang memang lebih senior dari Kang Maulana, membernikan diri sowan ke Kiai dengan tujuan minta izin mukim atau boyong dari pesantren dengan harapan diizini dan diridloi oleh Kiai. Akhirnya, Kiai pun memberikan nasihat dan wejangan ke kang Latif, dan Kiai pun sudah menganggap cukup ilmu yang didapat oleh kang Latif. Dengan berat hati, sang Kiai meridloi kepergianya untuk pulang ke kampung halamannya, yaitu Jakarta, dengan syarat nanti pulang harus menjadi Kuwu*. Semenjak kepergian Kang Latif, Kang Maulana pun kesepian, hari-harinya tak ada yang menemani, meskipun sudah ada yang menggantikan Kang Latif sebagai santri ndalem, tetapi sosok kang Latif di mata Kang Maulana tidak bisa tergantikan, canda dan guraunya selalu terngiang ditelinganya, pemikiran-pemikiran nyelenehnya selalu terbayang dalam benak kang Maulana. Suatu hari, tiba-tiba kang Maulana dapat telepon dari Ibunya, dengan tergesa-gesa Kang Maulana pun mengangkat teleponnya, terdengar suara lirih sang ibu, “Nak”. Kang Maulana pun menimpali ucapan ibunya itu dengan nada terbata-bata, “Iya bu, gimana kabar Ibu di rumah, ada keperluan apa Ibu menelepon saya?”, ujar Kang Maulana dengan raut wajah cemas, karena baru kali ini Ibunya menelpon. Kemudian Ibunya pun menjawab dengan suara lirih nan sedih, “Nak, Ibu sudah tua, Ibu pengen kamu pulang ke rumah, Ibu anggap kamu sudah lama di pesantren ilmumu juga sudah cukup Nak, dan Ibu juga pengen kamu pulang cepat-cepat nikah, Ibu pengen cucu, dan Ibu juga sudah punya pandangan buat kamu Nak”. “Pandangan apa, Bu?” potong Kang Maulana dengan nada yang penuh penasaran. “Anak Pak Junaidi yang mantan Kuwu* itu loh Nak, yang namanya Markonah kayanya cocok sama kamu Nak, Ibu berharap kamu juga mau menerimanya, gimana Nak, kamu mau tidak?”. Mendengar perkataan Ibunya, Kang Maulana kaget dan tercengang bak tersambar petir disiang bolong, tanpa pikir panjang lebar tidak jelas, karena ingin membahagiakan Ibunya, kang Maulana pun menimpali pertanyaan ibunya itu. “Nggih Bu, saya mau”. Setelah selesai menelepon ia pun terdiam dan melamun dengan penuh beban. Keesokan harinya Kang Maulana pun memberanikan diri untuk sowan seperti halnya Kang Latif dulu ketika izin minta boyong ke Kiai, dan Kiai pun memberinya izin dengan syarat nanti kalau sudah pulang, di rumah harus muruk (mengajar) ngaji. Akhirnya, Kang Maulana pun pulang ke kampung halamannya, yaitu Tegal. Tak terasa, sepuluh tahun kemudian, Kang Latif dan Kang Maulana sudah menjadi orang ‘besar’ sesuai apa yang dipesankan Kiai-nya dulu ketika minta izin boyong. Lama tidak ada komunikasi diantara keduanya, Kang Maulana yang sudah menjadi seorang guru tiba-tiba ada jadwal ke Jakarta untuk mengikuti rapat Guru pesantren se-Indonesia dan di waktu yang sama, Kang Latif yang dari Jakarta ingin pergi ke Yogyakarta bersama keluarga dalam rangka liburan untuk menghilangkan penat, yang setiap harinya memikirkan rakyatnya. Ndilalah saat perjalanan tiba di Indramayu mereka berdua sedang mengisi bahan bakar di pom bensin, dan ndilalahnya mereka bertemu di pom bensin tersebut. Dengan perasaan gembira, rindu yang mendalam, sebab tak kunjung bertemu puluhan tahun lamanya, mereka pun berpelukan layaknya dulu masih di pesantren. Dengan raut wajah yang gembira diantara keduanya, mereka pun menyempatkan berbincang sambil menikmati segelas kopi dan bernostalgia. Sesekali mereka menepuk dengan tepukan kangen yang mendalam. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara keras yang seakan memanggil mereka berdua dengan sebutan “Kang Trijilan…!”. Mereka pun menoleh ke arah suara tersebut, dengan wajah yang familiar dan tidak asing itu hadirlah sosok anak muda yang dulu menjadi juniornya, tetapi mereka lupa akan nama pemuda tersebut, hanya mengenal wajah yang familiarnya saja. Kang Latif pun berucap sambil menunjuk ke pemuda tersebut “kamu Dira yah?”. Kang Maulana yang merasa lebih tau dari Kang Latif langsung membantah ucapan kang Latif “bukan, itu bukan Dira, dia tuh Beni”. “Dia Dira” ujar Kang Latif sambil ngotot. Kang Maulana pun menimpalinya lagi “dia Beni bukan Dira”. Akhirnya mereka berdua ribut sambil berkata “Dira Beni Dira Beni Dira Beni”. Pemuda tersebut pun heran melihat jawaban seniornya itu salah, dan langsung meluruskan sambil berucap “maaf Kang, saya bukan Dira, bukan Beni, saya Amir” Alhasil, Amir Dira-Beni. *Kuwu sama dengan Lurah *Daharan sama dengan makanan Komentar Facebook 0Baca juga: Jum'atan Plus