Gus Baha
Gus Baha Mendidik anak

Syaikh Abu Hasan Syadzili; Mukasyafah Ketika Membaca Ayat Ini!

Penulis: Abdul Ghofur

Syaikh Abu Hasan Asy Syadzili seorang ulama waliyullah sekaligus pendiri tarekat Syadzili, pernah mengalami mukasyafah ketika membaca surat An Nas pada ayat Min Syarril Was Wasil Khannas, alladzi yuwaswisu fi shudurinnas minal jinnati wan nas…

Ketika sampai pada ayat tersebut, tiba-tiba terdapat suara yang seolah berbicara padanya, ia mengatakaan

“Hai Ali (Abu Hasan Syadzili) yang disebut sebagai was-was adalah ketika engkau di dunia selalu mengingat-ingat kesalahan dan dosa yang kamu lakukan, mengingat-ingat sifat-sifat negatif yang kamu miliki, sehingga hal ini mengakibatkan kamu tidak bisa bersyukur atas nikmat Allah”

Setiap manusia mempunyai sisi negatif, dipastikan mempunyai dosa, entah besar ataupun kecil. Karena manusia memiliki hal tersebut, maka setan pun dengan cerdas selalu mengingatkan kita kepada hal-hal itu, sehingga kita lupa bahwa setiap detik yang kita lalui tidak pernah lepas dari nikmatnya Allah.

Di sinilah posisi setan menggoda manusia dengan segala kekurangannya. Yang penting, tujuannya tercapai yakni melalaikan manusia dari nikmat allah, dari sifat belas kasih Allah, sehingga ia putus asa lalu berprasangkan buruk kepada Allah.

Baca juga:  Terong atau Solanum Melongena dan Ketergesaan dalam Menilai Sesuatu

Apakah allah menerima ibadahku dengan kondisiku yang seperti ini?

Padahal, perkara diterima atau tidak itu bukan urusan kita, ngapain kita sibuk mengurusi sesuatu yang bukan urusan kita, apalagi itu adalah urusannya Allah semata.

Berdosa adalah bawaan dari manusia, setiap hari kita tidak bisa lepas dari dosa, mulai dari komentar-komentar negatif ketika melihat orang lain, marah-marah, bicara buruk, ngrasani, dan lain sebagainya. Kita tak pernah bisa lepas, tapi kita jangan sampai lupa bahwa nikmat-nikmat Allah yang diberikan oleh kita, adalah lebih besar dari dosa-dosa yang kita lakukan.

Sampai di sini, sebenarnya perspektif yang dibangun adalah husnuzan kepada Allah agar kita bisa merasakan kenyamanan berhubungan kepada Allah. Berprasangka baik adalah kuncinya, sebagaimana hadis qudsi menyatakan “Aku sesuai dengan prasangka hambaku”

Artinya, kalau manusia berprasangka buruk kepada Allah, ya Allah seperti itu, sebaliknya kalau manusia berprasangka baik kepada Allah, ya Allah seperti apa yang disangkakan itu.

Selanjutnya, dalam mukasyafah tersebut “Kamu lupa dengan nikmat-nikmat dan kelembutan Allah, itulah yang namanya was-was”

Baca juga:  Inilah Lima Cara Menjadi Wali Menurut Ibnu Athaillah As-Sakandari

Intinya adalah yakin bahwa Allah maha pengampun, sebagaimana hadis qudsi lagi “Rahmatku mendahului marahku”

Disarikan dari Ngaji Gus Baha berjudul Ibadah yang tak sempurna Apakah diterima oleh Allah?

Komentar Facebook
2