Dakwah Itu Punya Ilmu Dulu, Gitu Kata Imam Ghazali

FOTO: sabak/niam

Penulis: Qowim Musthofa

Setelah membaca rubrik Ngaji Hadis Bersama Gus Rum, pikiran saya benar-benar terganggu dengan hadis ballighu anni walau ayatan , sampaikanlah dariku sementara hanya satu ayat.

Hadis itu benar-benar telah menjadi buku dan tangan bagi penggerak hijrah masal di media sosial. Meme-meme pun banyak saya temukan tentang hadis tersebut.

Orang-orang yang sedang berada dalam intensitas beragama yang tinggi, kemudian dengan semangat membagikan konten-konten agama yang secara substansial masih perlu didiskusikan.

Misalnya, ada gambar orang salat kemudian ditulis “salat itu menyehatkan” dengan berbagai argumentasi yang ndakik-ndakik ia menyimpulkan bahwa gerakan dalam salat itu seperti gerakan-gerakan senam yoga yang dapat melatih organ tubuh agar tetap sehat dan bugar.

Dahsyat memang. Tapi ini berbahaya. Sungguh berbahaya.

Alasannya sederhana saja, tidak perlu pakai dalil-dalilan sebab tentu saja mereka tidak paham. Pakai logika akal sehat saja. Begini:

Jika senam yoga itu menyehatkan, dan gerakan salat itu seperti gerakan senam yoga, maka jika ada orang yang sudah melakukan salat dan tetap tidak sehat. Yang disalahkan salatnya, atau senam yoganya?.

Misalnya, ketergesaan seorang ustaz seleb, muda, gaul dan trendy yang mengatakan bahwa Kanjeng Rasul Muhammad pernah sesat. Apa dasar ?. 

Hanya satu ayat yang ada di surat Ad Dhuha. wawajadaka dhallan fa hada . Hanya dengan modal terjemah dhallan yang diartikan sesat, maka ia menyimpulkan bahwa Nabi pernah sesat, baru kemudian dapat hidayah.

Ini bukan tindakan kelewat berani, tapi sudah sembrono dan grusa-grusu. Ustaz itu sudah minta maaf sambil menyesali perbuatannya, sudah selesai, dan dimaafkan.

Dua contoh di atas adalah contoh konkrit yang sudah jamak terjadi di era media sosial seperti ini. Mereka grusa-grusu berdakwah tapi ilmunya masih belum cukup.

Yang harus bertanggung jawab ?. Kementerian Agama atau Jokowi ?. Salah siapa ini? Rezim?

Bukan, kisanak.

Ini adalah persoalan krisis identitas. Orang-orang saat ini lebih mengedepankan popularitas daripada intelektualitas.

Yang memiliki peran besar dalam menopang mereka adalah media sosial dan semangat hijrah yang terus-menerus digalakkan, tapi tanpa ilmu dan tuna sejarah. 

Coba lihat saja, lihat itu Mbak-mbak yang mulai hijrah di fesbuk, sering unggah foto pakai cadar dengan kepsyen “semoga istiqomah. Ayo akhwat yang belum hijrah, mumpung Allah masih memberikan kesempatan.” 

Atau Kang-kang yang mendadak jadi orang saleh di fesbuk hanya Karena sering membagikan konten-konten agama, mulai dari artikel video, dan gemar berdebat tentang dakwah untuk berhijrah.

Salah?. Tidak, tentu saja tidak.

Hanya saja dakwah itu tidak instan seperti sampeyan membuat indomie. Dakwah itu kristalisasi keilmuan, ada beberapa syarat yang harus dilakukan sebelum terjun di dunia dakwah. 

Imam Alghazali menulis di kitab Ihya Ulumudin bahwa “Ilmu itu diawali dengan diam, lalu mendengarkan, kemudian menjaga / menghafal, kemudian mengamalkan, baru kemudian menyebarnya (dakwah)”

Pertama diam. Bagi saya, diam di sini adalah jangan berkomentar dulu, jangan tergesa-gesa menyalahkan, jangan menganggap yang berbeda dengan kita adalah salah. 

Kedua mendengarkan. Nah ini penting, kita harus mengetahui terlebih dahulu penjelasan-penjelasan yang terkait, jika soal fikih, bagaimana perbedaan antara mazhab satu dengan lainnya, jika soal tafsir bagaimana konteks penafsiran dan perbedaannya. 

Ilmu itu luas, tidak bisa hanya karena kita tahu satu pendapat, lalu pendapat yang lain salah.

Ketiga, menjaga atau menghafal. Ilmu yang sudah kita kenal harus betul-betul dijaga agar tidak lupa.

Keempat adalah mengamalkan. Ini penting mengamalkan ilmu. Oleh karena disebutkan “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.” 

Mengamalkan di sini konteksnya adalah untuk diri sendiri, bukan didakwahkan kepada orang lain, sabar dulu.

Nah, jika sudah diamalkan, baru kemudian disebarkan kepada orang lain, ini namanya dakwah. Dengan seperangkat keilmuan yang sudah kita kuasai.

Lah jika belum punya ilmu, tidak mau diam dulu, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain terlebih dahulu, dikit-dikit kata ustaz saya di youtube, kata ustaz saya di tipi, dan lain-lain, maka sebenarnya kita belum diwajibkan untuk berdakwah. 

Kata kanjeng Nabi “Jika ada yang berfatwa tanpa ilmu maka ia bisa sesat sekaligus menyesatkan.”

Oleh sebab itu wajar jika Nabi memberi wejangan, tuntutlah ilmu dulu hingga ke negeri Cina, baru kembali ke Indonesia untuk berdakwah.

Jika sudah begini, saya ingat kalimat Gus Dur “Cuma di Indonesia. Kiai, ulama dan profesor yang sudah menimba ilmu puluhan tahun, bisa disesatkan oleh mereka yang baru mualaf atau selebriti yang bertobat … Dan banyak yang memercayainya.”

Baca ESAI menarik lainnya yang ditulis oleh Qowim Musthofa .

Komentar Facebook
0
Baca juga:  Berbagai Tipe Tidurnya Santri Bisa Menentukan Selama Apa Dia Mondok