Jadi Ulama itu Berat, Kamu Tidak Akan Kuat, Jadi Ubaru Saja

FOTO: Fihry. Lokasi: Masjid Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta

Guru saya KH. Muslim Nawawi pernah menulis status di akun facebooknya:

“Untuk menjadi Ulama yang ‘alim ‘allaamah wal ‘aamilun itu prosesnya panjang dan waktunya lama, Jika prosesnya cepat dan waktunya singkat itu bukan U-lama namanya, tapi U-baru” 

Tampak sederhana dan seolah guyon, namun dalam kacamata tertentu terdapat makna yang lebih dalam daripada sekedar guyon.

Perlu dipahami bahwa, status tersebut diunggah ketika sedang ramai-ramainya seorang pemuda yang didapuk sebagai calon presiden, yang disebut sebagai santri post-modern, bahkan ulama.

Berbicara mengenai ulama, pikiran kita akan tertuju pada makna status sosial yang melekat pada diri seseorang yang cakap dan pandai dalam bidang agama serta dianggap memiliki kuasa atas otoritas agama Islam.

Sejarah menjadi saksi bagaimana pentingnya peranan ulama dalam membangun bangsa Indonesia. Sebut saja pahlawan-pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, Gus Dur, Sultan Hasanuddin, Teungku Umar, dan lain-lain.

Jika kita pahami, gelar atau status ulama tidak disematkan begitu saja kepada setiap orang secara sembarangan.

Dalam kitab Minhaj al-Atqiya karya KH. Muhammad Shaleh al-Samarani atau akrab disebut Mbah Soleh Darat salah satu guru KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, yakni seorang ulama yang hidup sekitar abad ke-19, setidak-tidaknya menuliskan tiga kriteria seseorang sehingga layak disebut ulama.

Pertama, menguasai ilmu Alquran dan Hadis, sebab dua hal tersebut merupakan sumber primer ajaran agama Islam, sehingga pemahaman terhadap ilmu Alquran dan Hadis menjadi modal pertama dan utama untuk memahami keduanya.

Dengannya seorang memiliki kredibilitas untuk memahami sumber ajaran Islam serta terjauhkan dari bahaya pemahaman yang tekstual dan parsial.

Kedua, sanad keilmuan sambung sampai Rasulullah SAW. Pada dasarnya tradisi ulama Nusantara sangat memperhatikan hal ini dengan maksud sebagai pertanggungjawaban akademik keilmuannya.

Tak jarang ulama Nusantara menuliskan sanad atau jaringan keilmuannya secara khusus seperti yang dilakukan oleh Mbah Soleh Darat dalam kitabnya yang lain, Mursyidul Wajiz. Urgensi sanad keilmuan tampak jelas dalam disiplin ilmu Qiraat al-Qur’an dan periwayatan hadist. Dalam ilmu ruwatul hadis misalnya, tingkat kedhabithan dan ketsiqahan perawi dari sebuah hadis akan berdampak pada tingkat kesahihan sebuah hadis.

Dari sini kita dapat menggeneralisir terhadap disiplin keilmuan lain bahwa kepada siapa seseorang belajar suatu ilmu berpengaruh terhadap seberapa sahih ilmu yang dimilikinya. Hal ini untuk menilai bisa atau tidak ilmunya itu dipertanggungjawabkan.

Ketiga, berakhlak mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa Rasulullah  diutus ke bumi guna menyempurnakan akhlak. Sedangkan ulama adalah pewaris Nabi.

Dengan demikian ulama juga mengemban tugas yang sama, salah satunya untuk menyempurnakan akhlak. Proses penyempurnaan akhlak inilah yang bisa kita lihat teori dan praktiknya di pesantren-pesantren.

Baca juga 

Baca juga:  Moral Pesantren Masa Kini; Mulai Perut ke Kepala atau Perut ke Kaki?

Di pesantren, akhlak menjadi tolok ukur pertama sebelum penguasaan keilmuan atau kecerdasan. Akhlak menjadi konsumsi materi wajib bagi setiap santri, pembelajarannya tidak hanya pada tataran teoritik seperti sorogan dan bandongan, tetapi juga menekankan pada tataran praktik seperti ucapan, sikap dan perilaku sehari-hari.

Biasanya, santri dengan akhlak yang mulia walaupun tidak begitu cerdas cenderung lebih dicintai oleh gurunya dibandingkan dengan santri yang cerdas namun kurang baik akhlaknya.

Ulama di Era Sosmed
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi berdampak pada semua lini dalam kehidupan tanpa terkecuali, termasuk agama. Secara umum, perkembangan teknologi dan informasi memberikan ruang yang dianggap lebih efektif dan efisien bagi setiap orang untuk belajar tentang agama dan menyampaikan ajaran agama.

Melalui media orang-orang dapat dengan mudah memperoleh jawaban-jawaban tentang persoalan agama secara instan. Perlahan orang-orang didorong untuk abai dengan latar belakang keilmuan seseorang dan jejaring keilmuan (sanad). Karena mereka merasa puas tatkala pertanyaan atau persoalan tentang agama dengan mudah dan cepat ia dapatkan jawabannya.

Tinggal ketik, search, muncullah semua yang ia butuhkan.

Keterbukaan informasi memberikan ruang bagi setiap individu untuk dapat eksis. Melalui media mereka bebas mengemukakan pemahaman atas ajaran agamanya. Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini bermunculan penceramah baru.

Ironisnya, hal ini justru seringkali meminggirkan nilai akhlak dalam menyampaikan ajaran agama. Bertebaran ujaran kebencian, fitnah, hoaks, cacian dan makian muncul hanya karena alasan perbedaan pandangan agama dan politik.

Misalnya ceramah dengan durasi 60 menit, muatan agamanya cuma 10 menit, selebihnya adalah caci-maki.

Kembali pada pernyataan KH. Muslim Nawawi tentang ulama, beliau menyadari bahwa hari ini tengah terjadi rekonstruksi (pergeseran, perubahan) makna ulama di tengah masyarakat dewasa ini.

Di sela-sela keramaian di media sosial yang menyebabkan digitalisasi keilmuan, seringkali warganet menganggap bahwa seorang ulama adalah sosok yang kerap mengisi lini media dakwah secara online, punya channel pribadi, sosial media, menyampaikan ajaran agama di mana-mana, sering berpergian kesana-kemari untuk berceramah dan seterusnya.

Tentunya hal ini mengabaikan kriteria ulama yang paling mendasar sebagaimana yang disebutkan oleh Mbah Sholeh Darat. Meskipun kita menyadari betapa mencapai kriteria tersebut bukanlah perkara yang cepat dan mudah, membutuhkan proses dan perjuangan yang panjang.

Jadi, mau nderek u-lama atau u-baru?

Penulis: Luthfi Aziz
Baca juga:  Keharaman Mengkonsumsi Daging Keledai Peliharaan dan Kisah tentang Abu Tholhah
Komentar Facebook
0