Berbagai Tipe Tidurnya Santri Bisa Menentukan Selama Apa Dia Mondok

Posisi santri yang tidur di mushola pondok pesantren An Nur Ngrukem. (27/10/18) foto oleh: Niam

SABAK.OR.ID – Tidur adalah aktifitas lumrah bagi manusia, dan hewan tentunya, fungsinya sama; untuk memulihkan tenaga. Bedanya, kalau hewan bangun karena lapar, kalau manusia bangun karena lapar sekali.

Ada yang sedikit tidur, ada pula yang sedikit-sedikit tidur.

Tidur dalam kamus istilah santri ada yang menyebut mbangkong, tekdhung, micek, hingga ada yang punya istilah paling luhur; latihan mati, katanya biar tidak kaget nanti di kuburan nunggu kiamat terlalu lama, aktifitas apa yang bisa dilakukan selain tidur?.

Jika sampeyan akrab dengan tradisi pesantren, berikut ini model-model tidur santri akan menentukan selama apa ia mondok.

Pertama, tidur ala santri baru. Santri baru terhitung tahun pertama hingga tahun kedua. Santri baru merupakan santri yang sedang semangat-semangatnya belajar, hingga ia jarang tidur, merasa bahwa tugasnya di pesantren adalah belajar dan belajar, baginya waktu selalu kurang jika hanya 24 jam saja.

Ciri-cirinya mudah saja, yakni kalau tidur di mushola, aula, pendopo dan tempat-tempat umum di lingkungan pesantren lainnya. Fungsinya agar mudah untuk dibangunkan. Bahkan ada yang pasang alarm di dekat telinga, atau cara yang paling klasik, yakni menitipkan pesan kepada temannya yang, santri baru juga.

Misalnya, ia menulis di sebuah kertas “Kang, kalau mau tidur nanti, jam dua pagi saya dibangungkan ya, saya di mushola di bawah jendela sebalah utara, pake selimut putih.” Lalu ia tempel di lemari temannya yang punya jadwal tidur jam 2 dini hari.

Kedua, tidur ala santri nanggung, ciri-cirinya tidur sudah mulai di kamar, ketika dibangungkan mereka mulai pintar menyelinap di slempitan-slempitan bahkan di atas lemari.
Santri nanggung jenis ini kira-kira mulai tahun kedua hingga ke lima ditandai dengan dimulai perkenalannya dengan dunia PS, tempat nongkrong paling aman untuk merokok dan bolos ngaji atau sekolah.

Di tahun-tahun ini juga, mereka sudah pinter mencuri waktu untuk tidur, seperti menunggu antrean mandi, jadi sambil jongkok bawa ciduk mandi dan menunggu selesai antrean ia tidur begitu saja. Padahal yang ia tunggu sebenarnya juga sedang tidur sambil nongkrong di atas kakus.

Ketiga, tidurnya santri lawas. Kategori santri lawas ini dimulai tahun kelima hingga tahun-tahun yang baginya adalah sudah tidak penting. Bahkan, ia sampai lupa sudah berapa tahun ia di pesantren.

Santri lawas ini sudah canggih dan profesional dalam persoalan tidur, tempat tidurnya sudah tidak teratur, hampir semua kamar dan semua tempat sudah pernah ia tiduri. Di kamar dibangunkan pindah kamar temannya, dibangunkan lagi pindah kamar sebelahnya dan seterusnya, lama-lama ia tidur di kamar mandi.

Biasanya, santri lawas ini sudah tidak peduli pengurus, karena pengurus adalah teman mereka sendiri atau malah dia lah yang jadi pengurusnya.

Keempat, tidur ala santri ndalem. Jenis santri ini adalah santri luar biasa, ia sudah kebal peraturan pesantren, sebab ia adalah pelayan kiai. Santri ndalem ini kebanggaan tersendiri, bahkan pengurus dan santri yang lain pasti hormat kepadanya, minimal sungkan lah.

Kok santri ndalemnya kiai, lah kalau kiai punya kambing aja, kambingnya disayang-sayang kok sama santrinya, kecuali tanaman-tanaman yang berbuah tentunya. Sebab buah-buah tersebut selalu dijadikan sebagai penunda lapar dengan dalih mencari berkah kiai.

Kalau ditanya “Hey, Kang. Kok sampeyan berani mencuri mangga milik kiai yang belum matang?.”
Ia pasti enteng menjawab “Kok cuma mangga, kiai yang punya ilmu sebegitu banyaknya saja dikasihkan kepada kita secara gratis kok, apalagi cuma mangga? Sudah tentu diikhlaskan lah.”  

Katanya, santri ndalem ini santri yang lebih takut kepada kiai melebihi takut kepada Allah. Kok bisa?
Ada santri ndalem yang dari malam sudah begadang untuk menjaga warung milik kiai, ketika waktu subuh tiba, dibangunkan tapi tak goyah sedikit pun.

Waktu menunjukkan pukul 07.00 dibangungkan untuk qadla salat tetap saja tidak bangun. Kalau sudah begini, ada jurus yang paling ampuh yakni dengan menjual nama kiai “Heh, kang. Dipanggil yai sekarang di ndalem.”

Pasti santri tersebut langsung jrantal tunggang langgang hengkang dari singgasananya. Tanpa menyentuh air langsung memasang muka segar sekaligus takut.

Sasampainya di ndalem bukan di laut, tiba-tiba Kiainya tanya “Wes salat, Le?.”

Clingak-clinguk “Sa sa sssampun” tiba-tiba hening… “Isya” katanya lirih di dalam hati.

Sampean termasuk santri mana?

Penulis: Qowim, Redaksi

Komentar Facebook
0
Baca juga:  Kisah Menulis KH Bisri Mustofa dan Sejarah Pegon Jawa