Gejala Muslim Generasi Milenial: Ngaji Tak Perlu ke Kiai, Cukup Buka Youtube Saja

Foto: sabak/Niam

Beberapa tahun terakhir ini, agaknya ada sebuah gejala sosial yang cukup menggelikan kita sebagai seorang muslim. Jika dicermati, peran agama akhir-akhir ini menjadi komoditas ekonomi. Sederhananya; jualan agama laku keras, sampean tidak perlu bikin akun lapak di medsos.

Nah, ketika berbicara tentang medsos, yang muncul di benak kita adalah semacam twiter, pesbuk, wassap, instagram dan juga youtube.

Baik, pada ulasan kali ini, youtube akan menjadi objek pembahasan yang seksi dan bahenol.

Di youtube, semua hal tersaji. Mulai dari tutorial hijab, masak, unboxing produk, ngegame dan lainnya. Sampai-sampai ceramah keagamaan yang aneh pun ada. Pada ceramah tersebut, kebanyakan ditemukan dalam channel youtube yang menyajikan seorang penceramah yang ‘menjual’.

Framing sengaja dibuat untuk membentuk sebuah otoritas keagamaan yang nantinya akan meraup viewers dan subscribe yang melimpah.

Karena, kebutuhan sebuah channel youtube adalah pasar, bukan moral. Maka tidak peduli apakah ceramah tersebut benar-benar tentang agama dan memiliki sumber keilmuan yang jelas atau sebaliknya, yang penting banyak yang nonton, subscribe, pasang iklan dan dapat uang.

Bisa jadi –atau bisa dipastikan- banyak sekali channel yang menyuguhkan otoritas keagamaan baru yang hanya sekedar koar-koar kembali pada Alquran dan Hadis, tanpa esensi dan kontekstualisasi yang sesuai. Hal tersebut sebetulnya ngeri, tapi dianggap sebuah kelumrahan.

Menurut Charles Hirschkind (peneliti tentang agama dan media), ceramah keagamaan –atau menurut riset dari Hirschkind adalah khutbah online- di youtube, sangat mudah mempengaruhi psikologi seorang viewers, meninggalkan atsar (pengaruh) yang besar dalam benak seseorang, dan berimplikasi pada perilaku sehari-hari.

Baca juga:  Ruang Baca Pembaca "Hati Suhita" (Bag. 2)

Tentunya ini baik, bisa lebih praktis untuk belajar agama. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut juga akan mendapatkan persoalan baru.

Persoalannya adalah, ketika ceramah keagamaan di youtube keluar dari mulut seorang yang tanpa ilmu yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan. Biasanya, yang demikian muncul dari otoritas keagamaan baru, seperti ‘ustaz-ustaz’ made by syekh google yang tidak bisa disebut sebagai ulama, melainkan ubaru saja.

Memang, tidak semua otoritas keagamaan baru selalu sak penake dewe dalam ceramah, tapi kok ya banyak gitu loh.

Belum lama, ada seorang ustaz yang mengatakan bahwa Kanjeng Nabi itu sesat sebelum hijrah, dan memperingati Maulid Nabi adalah sesat. Bagi saya itu sudah kurang ajar, dan nggatheli.

Ungkapan tersebut pernah keluar dari mulut seorang ustaz otoritas baru melalui ceramah keagamaan di youtube. Tapi ujungnya, tak ada demo bersilid-silid (maaf typo, harusnya berjilid-jilid). Kenapa? mungkin sudah tau semua ya sebabnya.

Betul, tidak ada orientasi politis yang bisa digoreng lalu mengatasnamakan agama untuk menyerang lawan politiknya.

Baca juga:  Hadis-Hadis Qulhu ae, Lek!

Ustaz itu sudah meminta maaf secara online dan mengaku sedang khilaf. Ya sudah kita maafkan saja kekhilafannya itu.

Mengembalikan Otoritas Agama Berdasarkan Ilmu, bukan Popularitas 

Saya pikir, otoritas lama mulai terpinggirkan dalam hal popularitas di media, sebut saja Gus Mus yang rating media nya kalah dengan akhi Hanan Attaki, Mbah Quraish Shihab yang kalah populer oleh Ust. Abdul Shomad. Dan banyak contoh lainnya.

Jika ditelisik lebih jauh, kepopuleran para otoritas baru didominasi oleh kaum milenial –non pesantren- yang lebih gandrung membuka gadget ketimbang kitab klasik atau buku bacaan.

Seperti ulasan di atas, bahwa yang menjadi masalah di sini adalah, ketika ceramah-ceramah youtube tersebut tidak berlandaskan keilmuan yang mendalam, kemudian berhasil mempengaruhi ideologi dan perilaku muslim sehari-hari, maka ada kemungkinan terjadi degradasi moral keagamaan. Kenapa?

Catat! Saya ulangi. Sebab youtube berorientasi pasar, bukan moral.

Lalu, bagaimana caranya agar ceramah-ceramah di youtube bisa benar-benar bermutu?

Yaitu dengan peran kita. Ya, kita sebagai kaum milenial-tradisionalis perlu mengrekonstruksi peran otoritas lama (misal; Gus Mus, Mbah Quraish Shihab, Buya Syafi’i, dan lainnya) di media online menjadi sangat ‘menjual dan mediable’.

Baca juga:  Keharaman Mengkonsumsi Daging Keledai Peliharaan dan Kisah tentang Abu Tholhah

Dan saya yakin, sebenarnya sudah ada yang melakukan, hanya saja kaum kita masih takluk dengan istilah tawadhu, makanya tidak mau ‘sombong’ di media, dan akhirnya kalah rating, viewers, dan subscriber. Padahal, agaknya hal demikian penting di era sekarang.

Kesimpulannya, sampean bisa merasa dan berpikir mana yang sreg dengan hati masing-masing ketika mendengarkan ceramah keagamaan di media. Tapi, apa iya ketika ada ujaran kebencian dalam ceramah tersebut, hati sampean gak gelisah? Dan sepertinya, hal itu banyak dilakukan oleh otoritas keagamaan baru.

Jadi, sudah tau kan arahnya harus kemana? Ya, mengajilah! Duduk, bersila, menundukkan kepala di hadapan guru, mendengarkan dengan pikiran dan hati, dan membawa sumber kuat.

Jangan dari syekh google.


Penulis: Ade Chariri, Mahasiswa Hermeneutika Aqluran Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Baca esai menarik lainnya yang ditulis oleh Ade Chariri
Komentar Facebook
0