Dilema Lagu Ayo Mondok: Jika Terus-terusan Digalakkan Ayo Mondok, Lalu Kapan Boyongnya? Mujib Romadhon Esai 6 Desember 2018 0 4 min read ILUSTRASI: sabak/simbe Penulis: Mujib Romadlon Baru-baru ini kaum pondok naik daun dan sedang menerima banyak pujian. Sampai-sampai banyak tokoh-tokoh nasional yang tak pernah mondok pun diklaim sebagai santri post-islamisme. Santri Post-Islamisme?. Hemmm … Biar saja lah. Begini, begini. Pesantren, setelah melewati era kelam beberapa tahun lalu, mulai dicap sebagai lembaga teroris, dicap sebagai pencetak kader kekerasan, hingga pembuat bom. Akhirnya terjawab melalui berbagai klarifikasi penelitian ilmiah. Masyarakat Islam ala pondok bisa bernapas lega. Berbagai tuduhan yang dialamatkan tidak terbukti. Sikap ekstremisme seperti itu, di Pondok pesantren sulit sekali -untuk mengatakan tidak bisa- tumbuh, apalagi berkembang dan besar. Banyak alasan kenapa sikap kekerasan tak bisa menembus tradisi pesantren. Bahkan, bila hendak dibuktikan. Penelitian sejarah pun tak bisa mengabaikan peranan Islam ala pondok pesantren yang juga berperan aktif berjuang untuk mencapai kemerdekaan negeri ini. Sehingga wajar saja bila penghargaan kepada anak pondok muncul sedikit demi sedikit. Iklan untuk menggaet generasi muda untuk berpendidikan pondok pun gencar dilakukan. Misalnya terdapat event nasional bernama Hari Santri dan Liga Santri. Dan tak lupa ada lagu populernya: Ayo Mondok, Pesantrenku Keren. Lagu yang digubah oleh Gus Hammam dari Pesantren Kikil Pacitan ini disambut oleh kalangan pesantren dengan suka cita dan berbahagia. Begini liriknya: Gerakan nasional Ayo Mondok Pesantrenku keren jadi semboyan kami Menjunjung tinggi ilmu akhlak karimah Banggalah menjadi santri nusantara Ooo… Ooo… Ooo… Ayo Mondok… Ayo Mondok Lantangkan bahwa kami santri nusantara Ayo Mondok.. Ayo Mondok Bhakti kami dari santri untuk negeri Bila diulik dari sejarah. Kalimat ‘Ayo mondok’ dahulunya merupakan sebatas instruksi ajakan saja. Antara Bapak ke anak: “Le, ayo mondok le, koyok bapak mbiyen pas cilik” (Nak ayo mondok nak, seperti bapak dulu saat kecil) Atau dari kawan seumuran: “Ayo mondok, penak lho nang pondok kancane akeh” (Ayo mondok, enak lho di pondok temannya banyak). Konon katanya, sampai wilayah Pattaya Thailand pun, kata ‘pondok’ masih populer digunakan disana. Untuk memberi simbol tempat institusi pembelajaran Islam. Yang saya permasalahkan adalah, jika ada glorifikasi terhadap lagu ayo mondok. Harusnya ada kalimat oposisinya yang setara. Nah agar adil, saya usulkan: jika ada ayo mondok, maka wajib hukumnya ada frasa kalimat: Ayo mboyong! (Selayaknya dipahami ilmu nahwu anak pondok, bila ada inna berkedudukan taukid yang berfungsi menguatkan kata. Maka sudah selayaknya pula ada laa linafyil jinsi yang berfungsi meniadakan sama-sekali sebuah kata). Kata Mboyong berasal dari kata boyong yang artinya pulang, jika ditambah m maka artinya bergeser menjadi; membawa sesuatu untuk bisa dibawa pulang, agar lebih jelas yaitu istri. Nah kalau sudah disepakati bersama. Nanti lirik lagunya seperti ini: Ayo mboyong, Rumahku Keren. Jomblo nasional Ayo mboyong Aku sholeh keren jadi semboyan kami Mendapat istri calon ibu sholehah Banggalah menjadi istri yang setia Ooo … Ooo … Ooo … Ayo mboyong … Ayo mboyong Lantangkan bahwa kami jomblo nusantara Ayo mboyong … Ayo mboyong Bhakti kami dari suami untuk isteri Sudah Nyantri, Kuliah, Kerja, kenapa belum mboyong? Itulah yang menjadi polemik saat ini. Banyak yang tua-tua di pondok tapi tak segera menikah. Itu Bahaya, Ferguso. Bisa menimbulkan penyakit dan juga fitnah. Bahkan bila kejomloan tua itu menjadi pergunjingan tetangga rumah di kampung, itu sama saja kita telah membuat orang lain berbuat dosa. Bukankah kalian para santri pernah mendengar dari para Kyai sebuah kaidah: Bahwa menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada menerapkan kebaikan. Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih Maka kira-kira bila dipahami begini: menghilangkan ghibah, gosip, pergunjingan dan desas-desus fitnah terkait kesendirian kalian ini harus dikedepankan daripada ego pribadi dalam menuntut kesempurnaan kalian. Kita tak akan bisa mengikuti kesempurnaan ke’aswaja’an para Kyai, maka yang bisa diikuti terlebih dahulu adalah ke’azwaja’annya. Baru setelah ber-Azwaja kesempurnaan ibadah pun dapat kita lakukan. Bukankah kalian juga tahu kalau berazwaja alias beristri itu seperti halnya menyempurnakan agama kita ini. Bagaimana bisa anda bersuri-tauladan pada hal besar dari seorang ‘ulama, tanpa dimulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu? Sesuatu hil yang mustahal, Ferguso. Maka dari pada itu semua para jomlo-jomlo anak pondok. Sudah saatnya kita bangun dari mimpi, hentikan ilusi! Tak bakal kita mendapat kerlingan senyum dari Dek Nisa Sabyan atau dek Veve Zulfikar. Bangunlah! Itu adalah fatamorgana yang berlarut dalam keabadian mimpi semata! Rapatkan barisan saudara!!! Mari revolusi!!! Galakkan lagu: Ayo mboyong, Rumahku Keren! Dan tiba-tiba radio tape samping tetangga pondok mengalun merdu qasidah dari bu nyai Wafiq Azizah: Wahdanaaaa dann… daa… naa… wah danaa daaaan… wahdanaa daan.. daa… daa… naa… Waduh mau gerakan ayo mboyong … Emang ‘dana’nya dari mana??? Tepok jidat Baca Esai Menarik lainnya tentang JODOH atau esai yang ditulis oleh MUJIB ROMADLON. Komentar Facebook 0Baca juga: Moral Pesantren Masa Kini; Mulai Perut ke Kepala atau Perut ke Kaki?