Dinamika Hadis Bagi Orientalis: Pembacaan atas Jonathan AC Brown yang Konon Mualaf Sebab Mempelajari Hadis

FOTO: sabak/fihry

Penulis: Ade Chariri


Sebelum ini, saya menulis tentang bagaimana wajah Alquran bagi orang Barat. Maka, sekarang saya ingin mencoba menulis hal yang senada. Namun, tentang Hadis bagi orang Barat. Dengan alasan yang sama.

Hadis, sebagai representasi dari keberadaan Kanjeng Nabi, tentu memiliki perhatian khusus dari banyak kalangan. Sebab, Kanjeng Nabi-nya sudah membuat kagum seluruh umat manusia, sekalipun orang tersebut mengingkari ke-rasulan Nabi saat konteks kenabian.

Bicara soal hadis, mengidentifikasi sebuah hadis tersebut apakah sahih atau tidak, juga lumayan sulit, bahkan sangat sulit. Ada ilmunya tersendiri.

Baik, jangan terlalu jauh dalam menganalisis sanad, matan dan rawi. Mumet. Seperti pengantar di muka, saya ingin membicarakan tentang wajah hadis bagi orang Barat.

Salah satu orientalis bernama Jonathan A.C. Brown yang, konon telah masuk Islam karena meneliti Hadis. Ia membahas tentang riwayat, kodifikasi, dan dinamika studi kritik Hadis. 


Menurut Brown, Hadis adalah sebuah pepatah otoritatif yang digunakan untuk menguraikan hukum dan dogma Islam, dan merupakan bentuk warisan kharismatik Kanjeng Nabi, juga untuk memenuhi kewenangan Kanjeng Nabi.

Bagi Brown, adanya kodifikasi Hadis sebagai warisan Kanjeng Nabi untuk masyarakat abad pertengahan dan modern, diantaranya dengan adanya kitab-kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, kitab Sunan, dan kitab Musnad.

Baca juga:  Meneladani Rasulullah, Sampai di mana Kita?

Jadi, kitab tersebut bukan semata-mata sebagai karya ilmuwan Islam. Tapi lebih kepada pengukuhan atas otoritas Kanjeng Nabi sebagai sumber hukum.

Salah satu hal yang menjadi dasar bagi Brown masuk dalam ranah penelitian sejarah Hadis adalah karena adanya dinamika pemalsuan Hadis yang terjadi sejak dulu. Bukan tidak mungkin ada sebuah distorsi dalam periwayatan Hadis sejak Nabi wafat hingga sekarang.

Perdebatan mengenai kesahihan Hadis, memang telah terjadi sejak dulu. Jadi, apa yang dilakukan oleh para orientalis yang mengkritik status Hadis dari segala lini (matan maupun sanad) bukanlah hal baru.

Di situlah fungsi dari kodifikasi Hadis, setidaknya untuk menjaga Hadis-hadis yang sumber periwayatannya akurat.

Adapun kodifikasi Hadis yang dimulai sejak beberapa abad setelah wafatnya Kanjeng Nabi, yaitu pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, mengalami puncaknya pada abad ke-10, setelah itu dimensi perdebatan mengenai Hadis bertumpu pada studi otoritas Nabi melalui jalur sanad (mata rantai).

Dalam kodifikasi tersebut, kualitas periwayatan harus dijaga.

Kualitas periwayatan yang diterima oleh para sahabat Nabi juga berpengaruh terhadap otoritas sebuah kitab Hadits tersebut. Dalam tradisi Islam yang sudah diakui bahwa hirarki (tingkatan) rawi bisa dilihat dari jumlah Hadis yang diriwayatkan.

Baca juga:  Nasehat Syekh Ali Jaber Tentang Wanita Yang Tak Memakai Jilbab

Seperti jumlah berikut, lebih kurang; Abu Hurairah (5300 Hadis), Ibnu Umar (2600 Hadis), Anas bin Malik (2300 Hadis), Aisyah (2200 Hadis), dan Ibn ‘Abbas (1700 Hadis).

Brown juga mengatakan bahwa tradisi periwayatan terjadi dalam sekte Syiah, tidak hanya terjadi dalam sekte Sunni. Hal tersebut sebenarnya juga tidak lepas dari kebutuhan sosial pada masa abad pertengahan dan modern, dan tidak lepas dari persoalan hukum fikih dan teologi.

Keberadaan kitab Sahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) adalah indikasi kebutuhan umat Islam terhadap persoalan hukum, akhirnya otoritas Sahihain dianggap sebagai kitab hukum kedua setelah Alquran.

Dalam karyanya, Brown juga mengkritik beberapa orientalis yang skeptis terhadap Hadis, seperti Josep Schacht, Ignaz Goldziher, Juynboll dan lainnya. Dalam karyanya juga, Brown mengatakan bahwa sejarah periwayatan dan kodifikasi Hadis cukup kompleks, di dalamnya tidak lepas dari distorsi dan pemalsuan Hadis, karena kodifikasi Hadis dilakukan setelah beberapa abad sejak wafatnya Kanjeng Nabi (pertengahan abad ke-7 atau sekitar tahun 634 M).

Bahkan, dengan banyak munculnya sekte aliran pada masa itu menjadikan versi periwayatan sangat beragam. Jadi, kodifikasi Hadis dalam bentuk kitab yang telah ‘berhasil’ dijadikan pedoman ke-dua setelah Alquran, secara tersirat, merupakan warisan Nabi untuk umatnya hingga nanti. Sampai kita tua, sampai jadi debu.

Baca juga:  Kecenderungan Menumpuk Kekayaan

Bagaimana? Bingung?

Persoalan Hadis dan keilmuannya, memang dianggap lebih rumit ketimbang keilmuan Alquran.

Kembali lagi, bahwa peran orang Barat dalam keilmuan Islam juga ikut membuktikan betapa menariknya agama Islam bagi dunia. Sejak dulu. Sejak kitab sucinya dalam proses turun ke bumi, sampai hari ini. Hingga jadi barang jualan politik negeri, termasuk kitab sucinya.

Bahkan, nama Goldziher ditulis dengan tulisan arab: Jauladtashir dalam kitab kontemporer umat Islam yang membahas qiraat Alquran dalam aspek riwayat. Yaitu kitab Muqaddimah fi Ilmi al-Qiraat karya Syekh Ahmad Khalid Syukri dan kawan-kawan.

Untuk menerapkan validasi sanad keilmuan, saya duduk, mendengarkan, dan mencatat pengkajian kitab tersebut di pesantren An Nur yang dibacakan oleh Gus Rum, setiap hari Rabu setelah salat subuh di kelas 2 Madrasah Diniyah Ali Ba’alawi dan, sekarang sepertinya sudah khatam, sayang sekali saya tidak ikut khataman.

Gitu, Ferguso.


Baca esai menarik lainnya tentang HADIS atau yang ditulis oleh ADE CHARIRI.
Komentar Facebook
0