Semiotika Netton dan Bagaimana Memahami Kisah-Kisah di Dalam Alquran

FOTO: Sabak/niam
Penulis: Ade Chariri

Saya mempunyai anggapan dan saya kira anggapan saya ini penting, bahwa sebagai seorang muslim-tradisionalis, kita juga perlu untuk mengetahui sejauh mana wajah Alquran bagi orang Barat. Paling tidak, ini menghindarkan kita dari ‘serangan’ terhadap Alquran atau justru sebagai otokritik bagi umat Islam. 

Kita akui bahwa Alquran itu mempunyai kemukjizatan yang luar biasa, sebab itu Alquran selalu menarik untuk terus dikaji, selain untuk dibaca, dihafalkan, ditadabburi hingga diamalkan. 


Alquran yang turun secara berangsur-angsur lebih kurang selama 23 tahun, tentu menyajikan maksudnya tersendiri, salah satunya adalah untuk menunjukkan kuasa Gusti Allah sebagai pemberi wahyu, dan kanjeng Nabi sebagai penerimanya. Paling tidak Allah ingin mengajarkan bahwa semua butuh proses, bukan simsalabim.

Sebelum saya membahas ini, husnuzan saya, sampeyan semua pasti sudah pernah baca Alquran, seperti Yusuf dan Kahfi, dan tentunya al-Fatihah –mesti lanyah–. 

Dari pembacaan tersebut, kira-kira apa yang sampeyan dapat ketika membaca kedua surat tersebut? Selain ‘pahala dan barakah’ tentunya.

Narasi dan kisah-kisah yang terdapat dalam Alquran terkadang tidak menyajikan secara kronologis kisah yang runtut dari awal hingga akhir kisah, nah untuk memahami secara holistik maka muncullah istilah munasabah al-ayat (keserasian ayat) dalam ‘ulumul qur’an. Dan inilah salah satu yang membedakan Alquran dengan kitab suci yang lain.

Baca juga:  Nasib Film The Santri di Tangan Sineas Tersohor Livi Zheng

Bagi umat Islam yang membaca al-Kahfi dan Yusuf, kemungkinan memandangnya hanya sebagai narasi kisah tentang kehidupan umat masa itu (konteks pewahyuan). 


Namun, jika dianalisa lebih mendalam dengan teori semiotika –teori tentang simbol dan makna–, seperti yang dilakukan oleh Ian Richard Netton –sebagai representasi orang Barat yang mengkaji Alquran–, kita akan menemukan makna yang lebih dari sekedar ayat kisah tentang Nabi.

Misalnya begini, jika dalam Q.S. Yusuf menceritakan satu tokoh secara kronologis, yaitu Nabi Yusuf. Maka di dalam Q.S. al-Kahfi berisi banyak kisah dari tokoh pada masa pewahyuan, di antaranya kisah Ashabul Kahfi, Nabi Musa dan Nabi Khidzir, Dzul Qarnain, Ya’juj-Ma’juj dan Ashabul Jannah.

Kisah-kisah yang ada dalam Q.S. al-Kahfi menarasikan sebagian kisah tanpa kesimpulan tema yang pasti. Melalui semiotika, Netton mencoba mengidentifikasi masing-masing tokoh sebagai arketip utama dalam Q.S. al-Kahfi, Netton menyebutnya sebagai theologemes


Artinya, bahwa masing-masing kisah tersebut bermuara pada satu kesimpulan, yaitu tentang teologi atau ketuhanan. Netton mengakui bahwa dia terpengaruh dari Imam Ghazali, namun Netton melihat dari sudut yang berbeda melalui semiotika.

Baca juga:  Hal-hal Yang Harus Dipenuhi Selama Antum Berangkat Menuju 211

Dari analisanya tersebut, melalui semiotika. Netton menarasikan bahwa kisah-kisah tersebut memberikan makna yang unik. Ingat! Di sini menggunakan kata ‘menarasikan’, jadi bukan sebagai pelecehan terhadap tokoh-tokoh dalam Alquran, apalagi yang mukmin.

Ashabul Kahfi sebagai sekelompok muslim beriman yang pasif, karena Ashabul Kahfi tidur sangat lama di dalam sebuah gua setelah dikejar oleh kaum kafir. Tidurnya kurang lebih sekitar 300 tahun.

Nabi Musa sebagai seorang mukmin yang aktif, juga sebagai akademisi pada masanya yang kritis, indikasinya adalah saat Nabi Musa bertanya kepada Nabi Khidzir yang membunuh seorang bayi dan melubangi kapal yang dinaiki Nabi Musa dan Nabi Khidzir. Peran Nabi Khidzir sebagai seorang mukmin yang sufistik, karena mengetahui sir (rahasia) Gusti Allah meskipun dengan cara yang terbilang aneh, yaitu membunuh bayi dan melubangi kapal.

Dzul Qarnain sebagai negarawan atau politisi, karena ia sebagai seorang raja yang mengatur kepemerintahan saat itu, Ya’juj-Ma’juj sebagai representasi sekelompok yang suka melawan, merusak dan membuat gaduh, dan Ashabul Jannah dinarasikan sebagai pengusaha, sebab sebagai pemilik kebun.

Baca juga:  Simbahku Pencinta Tinju

Dari kelima arketip pembagian Netton tersebut, semuanya bermuara pada satu titik, yaitu nilai teologis, atau yang disebut dengan theologemes, karena dari kisah-kisah tersebut semuanya benar-benar menunjukkan kuasa Tuhan dalam mengatur kejadian yang terkisahkan dalam Q.S. al-Kahfi tersebut.

Coba bayangkan, dari narasi-narasi tersebut. Agaknya di hari ini juga banyak tersaji tokoh-tokoh yang ‘serupa’ dalam Q.S. al-Kahfi. Yang suka tidur lama ya banyak, apalagi santri. Akademisi juga banyak, yang diwakili oleh mahasiswa, apalagi di Jogja. Sufi apalagi, semuanya pokoknya bicara hakikat. Politisi juga sudah tidak terhitung jumlahnya, sampai-sampai yang sok-sokan berpolitisi, ada yang dipolisikan karena urusan politik. Ironi. Pengusaha juga banyak, meskipun pengusaha online, lumayan loh. Nah, yang paling dominan adalah yang suka membuat gaduh ini. Mau di dunia nyata maupun dunia luna maya, semuanya suka bikin gaduh dengan dalih ‘persatuan umat’.

Namun sebenarnya, kembali lagi pada pembahasan. Bahwa mau bagaimanapun. Ujung-ujungnya, ketika membaca, menghafalkan, memahami dan mengamalkan Alquran. Maknanya satu; berinteraksi dengan Gusti Allah. Teologis sekali, bukan?. 


Wallahu A’lam. 

Baca juga ESAI menarik yang ditulis oleh Ade Chariri.
Komentar Facebook
0