Keharaman Mengkonsumsi Daging Keledai Peliharaan dan Kisah tentang Abu Tholhah

Foto: sabak.or.id
Penulis: Mujib Romadlon


Pada kesempatan ini. Kajian Bulughul Marom telah sampai pada hadis tentang daging keledai. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Tholhah, al-himar al-ahliy atau daging keledai peliharaan haram untuk dikonsumsi, karena najis.

Pada saat peristiwa Khaibar, Kanjeng Nabi saw. dan Sahabat pernah menderita kelaparan. Lalu sekelompok orang menangkap seekor keledai, lalu menyembelihnya. Ketika daging telah mendidih, tiba-tiba Kanjeng Nabi saw. menyerukan, “Matikanlah (api) wadah kalian, jangan memakan daging keledai sedikitpun. Karena itu najis! Tumpahkanlah masakan itu dan pecahkanlah wadahnya!”

“Apa tidak lebih baik wadahnya dicuci saja wahai Rasulullah?”

“Baik, cucilah saja.”

Dalam riwayat lain dari Ibnu Majjah disebutkan “karena keledai memakan kotoran.”
Jumhur Ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) sepakat mengatakan bahwa keledai peliharaan termasuk hewan yang haram untuk dikonsumsi. Lantas, adakah kalangan ulama yang membolehkan daging keledai peliharaan? Memang ada, yakni sebagian dari Malikiyah membolehkannya.
Secara mutlak, daging keledai peliharaan hukumnya haram. Ingat, yang menjadi peliharaanlah yang haram. Sedangkan yang sejatinya memang keledai liar itu tetap halal. Karena pernah ada riwayat Kanjeng Nabi saw. sendiri pernah mengkonsumsinya bersama beberapa sahabat.

Hadis ini diriwayatkan oleh salah seorang Sahabat bernama Abu Tholhah. Beliau bernama asli Zaid bin Sahl. Beliau menjadi ayah tiri dari Shahabat Anas bin Malik, karena menikahi Ibu dari Anas bin Malik yang bernama Ummu Sulaim.

Baca juga:  Ruang Baca Pembaca "Hati Suhita" (Bag. 2)

Ummu Sulaim menerima lamaran Abu Tholhah dengan maskawin dua kalimat syahadat saat peristiwa bai’at aqabah yang kedua.

Kedekatan Kanjeng Nabi saw. dengan Abu Tholhah memang sudah masyhur muncul dalam banyak kisah. Pada suatu ketika, Abu Tholhah melihat Kanjeng Nabi saw. tengah mengajarkan Alquran bersama para ashabussuffah yang berjumlah kurang lebih 30 orang. Saat itu juga, Abu Tholhah melihat Kanjeng Nabi saw. tengah mengganjal perut dengan batu.

Perhatian terhadap kondisi Kanjeng Nabi saw., sesampainya di rumah, Abu Tholhah meminta Ummu Sulaim untuk memasakkan sesuatu bagi Kanjeng Nabi saw. yang ternyata hanya ada 1 mud (6 ons) gandum yang hanya cukup untuk sepotong roti saja.

Sekalipun hanya sepotong roti. Abu Tholhah pun segera memanggil Anas bin Malik dan berpesan untuk hanya mengundang Kanjeng Nabi saw. saja. Namun di luar dugaan, sesampainya di Masjid Nabawi. Malah Kanjeng Nabi saw. yang bertanya lebih dahulu.

“Engkau pasti mengajak makan, bukan?”

“Iya Rasul”

Tanpa diduga Kanjeng Nabi saw. menyeru pada para ashabussuffah yang lain.

“Ayo semuanya, ikut makan di tempatnya Abu Tholhah”

Sekonyong-konyong si Anas kecil ini bingung tiada tara. Karena dia sendiri tahu di rumahnya hanya ada satu potong roti saja. Anas hendak berlari dan mengabari rumah, tetap tidak bisa, karena tangannya telah digenggam erat Kanjeng Nabi saw.

Sesampainya di rumah Abu Tholhah. Rasulullah masuk duluan, kemudian memegang sepotong roti dengan memakai minyak samin.

Baca juga:  Belajar Sufi dari Anak Rusa

Subhanallah, dengan mukjizatnya, sepotong roti itu pun mengembang menjadi besar. Rasulullah kemudian menyuruh masuk rumah per-sepuluh orang. Sampai akhirnya setiap ashabussuffah pun kenyang. Rasulullah dan sekeluarga pun juga dapat makan, sampai-sampai masih ada sisa yang masih bisa dibagikan ke tetangga mereka.

Ada cerita lain lagi, saat itu ada seseorang tamu yang meminta makan kepada Kanjeng Nabi saw., padahal Kanjeng Nabi saw. sendiri dengan para istrinya pun tengah dilanda kelaparan.

Rasulullah pun mengumumkan, “siapa yang ingin menghormati tamuku?”. Dengan sigap Abu Tholhah menjawab, “saya siap Rasul”.

Sampai di rumah, ternyata apa yang dimiliki oleh Abu Tholhah hanyalah tinggal cadangan makanan untuk anak-anaknya saja. Untuk tetap memenuhi janjinya kepada Kanjeng Nabi saw. Abu Tholhah bersama istrinya, Ummu Sulaim mematikan lampu, dan seakan-akan ikut makan bersama si Tamu. Padahal apa yang mereka berdua lakukan ialah bersandiwara seakan-akan ikut mengecap makanan seperti sang tamu yang memakan jatah makanan terakhir mereka.

Namun tanpa diduga, pagi harinya saat bertemu dengan Kanjeng Nabi saw. emudian bersabda,

“Allah takjub dengan apa yang kalian berdua lakukan”. Peristiwa ini digambarkan dalam QS. al-Hasyr ayat 9,

… wa yu’tsiruna ala anfusihim walaw kana bihim khasasah…

“… dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka sendiri tengah kesusahan…”

Kedekatan Abu Tholhah tergambar pula pada banyak kisah yang lain. Pasca Abu Tholhah bersaksi atas Islam, hampir tiada perang yang tidak diikutinya. Bahkan pada saat perang Uhud ketika banyak yang mundur, Abu Tholhah tetap setia mendampingi Kanjeng Nabi saw.

Baca juga:  Tiga Alasan yang Mendorong Manusia dalam Menuntut Ilmu Menurut Imam Ghazali

Hingga saat Kanjeng Nabi terjerembab jatuh di sebuah parit, yang selalu melindungi berada tepat di depan beliau, adalah Abu Tholhah sebagai ahli panah.

Saat haji wada’ tiba, saatnya Kanjeng Nabi saw. untuk ber-tahalul (potong rambut). Seluruh rambut sebelah kanan dibagikan kepada seluruh para sahabat yang hadir saat itu. Namun pada saat tiba bagian keseluruhan rambut yang kiri, semua rambut bagian itu kemudian dikumpulkan dan hanya diberikan kepada Abu Tholhah saja. Subhanallah…

Sebagai penutup, hadis mengenai keharaman daging keledai peliharaan, masih memiliki beberapa faedah yang patut dipahami yaitu:

1. Daging keledai peliharaan itu haram untuk dikonsumsi sebagai makanan. Namun apabila keledai liar itu boleh untuk dikonsumsi.

2. Sesuatu yang najis itu secara umum tetap haram dan tidak boleh untuk dikonsumsi.

3. Melalui hadis ini, bangkai dari binatang yang haram dimakan itu hukumnya tetaplah najis. Karena penyembelihan itu sendiri hanya bisa menghalalkan hewan-hewan yang memang halal dimakan. Sedangkan bagi hewan yang memang sejatinya haram, sekalipun mati dengan cara disembelih tetaplah najis.

4. Wajib hukumnya untuk mencuci wadah, tempat dan pakaian bila terkena najis.

Komentar Facebook
0