Agama yang Dikapitalisasi: Gejala Lumrah atau Lu Marah

Penulis: Umar Farq

Melihat budaya ataupun hasil budaya yang lahir di era modern sekarang ini memang menggelikan, banyak sekali nilai-nilai kemurnian yang bergeser pada konsumerisme semata.

Contohnya agama, kita bisa lihat bagaimana keadaan industri media sekarang ini, baik dari facebook, twitter, youtube hingga instagram. Live streaming saat sedang menjadi imam sholat sampai nangis tersedu-sedu tapi sadar kalau sedang disorot kamera. 


Semua penuh dengan sandiwara. Hingga dianggap bahwa media sosial sama dengan media dakwah. Mungkin bisa disebut juga “religius-tainment”.

Bukan satu kesalahan bahwa pemanfaatan media sosial digunakan sebagai media dakwah, sebab memang sudah zamannya. Namun permasalahannya terjadi pada nilai-nilai fitrah agama itu sendiri yang hilang dan bergeser menjadi seperti barang dagangan semata.

Mbok ya jangan banget-banget berdagang agamanya.

Di era ini, siapapun orangnya bisa menjadi pendakwah yang diamini ribuan jamaah dengan dalih yang sungguh-sungguh bijaksana sekali yaitu “sampaikanlah ilmu walau satu ayat!”, yang pada fakta dan realitanya memang hanya satu ayat yang baru dipelajarinya, dimanfaatkan untuk “macul” di hadapan pengikutnya. 


Ya, selaras dengan kutipannya Neitzsche “Pembaca yang buruk bagai serdadu penjarah, ia mengambil rampasan seperlunya saja lalu ia gunakan untuk bersumpah serapah melawan semuanya”

Baca juga:  Tantangan Haji Di Masa Pandemi

Hampir sama kan???

Ada pernyataan menarik dari seorang budayawan Radhar Panca Dahana dalam diskusi di SS Forum saat menanggapi pertanyaan tentang agama yang dikapitalisasi ini. Menurutnya gejala yang lahir di dunia industri atau kapitalis sekarang ini bagi Radhar bukan gejala apa-apa, itu “gejala lumrah.”


Sebab, semua bentuk kebudayaan ataupun produk kebudayaan akan dimasukkan dalam logika kapitalistik. Apapun namanya tidak akan dipedulikan, tanpa ada batasan moral, etik, adat, dan lain-lain. 

Jika semuanya bisa dimanfaatkan dan dieksploitasi sebagai bahan industri mengapa tidak? orang tidak akan peduli itu kiai, dai, hingga presiden pun akan di kapitalisir. Apalagi cuma kau, Ferguso!

Pemahaman tentang tafsir surat “wal’asri” yang mengajarkan tidak boleh hidup dalam kerugian akhirnya dimanfaatkan sebaik-baiknya menjadi “urip kudu mbathi.” 


Secara kolektif bahwa manusia tak sadar hidup dalam dunia kemunafikan. bergotong royong membagun “logika mbathi” dengan menghilangkan nilai-nilai fitrah kesucian agama itu sendiri. Tak peduli ada akibat apa yang akan memakan generasi penerusnya. Selaras dengan konsep yang digagas oleh Adorno tentang kapitalisasi seni.

Baca juga:  Pendulum Arus Baru Islam Indonesia Pasca 212

Akibatnya berimbas pada sikap skeptis orang yang baru saja ingin mempelajari agama, yang berniat mencari ruang ketenangan batin, berpikir bahwa ajaran agama itu cinta damai, agama bisa menerima segala bentuk keadaan dan perbedaan. 


Namun keinginan baru itu seketika dibabat habis pada kenyataan yang dilihatnya, yaitu ketika melihat orang yang mengaku beragama justru malah saling memaki, perang sebab merasa paling benar, penghakiman, dan tuduhan yang bermacam-macam, hingga “mengkafir-kafirkan” kepercayaan lain.

Apakah itu dakwah yang diajarkan oleh Agama? 


Pertanyaannya, masih adakah nilai-nilai agama yang diajarkan sesuai fitrahnya? Ada! Bukan di kota, melainkan justru di desa-desa atau di pesantren, di tempat para kiai yang tidak pernah terjamah oleh media, atau malah tidak mau diliput media apapun. 

Disitulah nilai-nilai kemurnian beragama masih benar-benar terjaga tanpa embel-embel konsumeristik. Memberi atas dasar keikhlasan. Pembelajaran dari alif hingga ya’, bagaimana cara membaca Al Quran dengan tajwid baik dan benar, dikaji nahwu sharafnya, hingga pemahaman pada tafsir, hadist, fiqh dan tasawwufnya.

Baca juga:  Jika Ada Kiai Baru, Bagaimana Cara Santri Beradaptasi?

Maka, jangan mencari ilmu agama hanya pada instagram dan youtube saja, apalagi digunakan untuk besumpah serapah. hihi…

Carilah di pesantren dan di desa-desa.

Ilmu agama kok dipelajari secara otodidak[?]

Komentar Facebook
0