Jika Cebong dan Kampret Dipakai Untuk Para Pendukung Capres, Lalu Sebutan Apa Untuk Menggantikannya

ILUSTRASI: suarasikka.com

Penulis: M Hanif Rahman 


Jelang pemilihan presiden 2019 sinisme dibangun oleh dua kubu di tahun politik. Di media sosial, muncul sebutan bagi pendukung Jokowi dengan kecebong. Sementara pendukung Prabowo disebut Kampret.

Saya tidak tahu, fenomena ini berawal sejak kapan, siapa yang memulai, dan apa tujuannya. Secara pribadi saya tidak paham … Tapi konon, hal tersebut terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pilpres 2014.

Hemat saya umpatan dan penyematan kata cebong atau kampret yang disematkan kepada seseorang merupakan bentuk kebencian, caci maki, penghinaan atau kekecewaan dan ketidak setujuan dalam masalah pilihan politik.

Hal ini sangat tidak etis selain ungkapan tersebut menunjukkan sikap kurang menghargai dengan adanya perbedaan pendapat dalam pilihan, juga membangun api permusuhan antar dua kubu, serta terlalu kekanak-kanakkan yang minim ide dan gagasan.

Kalau dilihat dari kata yang digunakan: Cebong dan Kampret. Mempunyai kemiripan dengan yang jamak diungkapkan terutama oleh orang Jawa: Asu, Celeng, Babi, Kirik, Wedus, Munyuk, Pitik, yang digunakan untuk mewakili rasa menghina, marah, benci, kecewa dan lain-lain.

Baca juga:  Wajah Alquran dalam Politik Muslim

Lantas bagaimana hukum ungkapan tersebut dilihat dari perspektif agama islam, sebab yang mengucapkan kata-kata itu ternyata juga tidak hanya orang-orang minim dalam masalah agama. Tapi mirisnya, hal itu juga diucapkan oleh ustaz-ustaz di mimbar-mimbar ceramah mereka.

Saya menemukan kutipan menarik dari Imam Nawawi dalam al-Adzkar hlm. 577

Sebagian dari kata-kata tercela yang biasa digunakan sebagai ucapan dalam pertengkaran: Hai Khimar, Hai kambing jantan, Hai Anjing dan semacamnya, ucapan ini adalah ucapan yang buruk karena dua hal: (1) kebohongan (manusia kok dikatakan hewan). (2) Menyakiti.

Selain itu, Muhammad Ali bin Muhammad Allan dalam sayarah al-Adzkar, al-Futuhat ar-Robaniyah: Ungkapan yang menerbar penghinaan tersebut menurut Ibnu Hajar dalam kitab Tambihul akhyar adalah Haram.

Imam Nawawi melanjutkan penjelasannya bahwa ungkapan-ungkapan seperti di atas adalah ucapan buruk karna kebohongan dan menyakiti. Sedangkan, hukum asal dari keduanya (bohong dan menyakiti) adalah haram secara ijma. 


Maka bila hukum ungkapan tersebut difahami dengan hukum makruh adalah sangat aneh, bahkan harusnya dijelaskan bahwa hukumnya Makruh Tahrim (makruh yang hukumnya berdosa).

Baca juga:  KH. Munawwir Abdul Fattah dan Amal Saleh

Al-Hafid Imam Assuyuti menjelaskan haramnya merendahkan, mengutuk dan mencaci maki muslim kecuali ada sebab syar’i yang memperbolehkannya.

Walhasil, berhentilah berkata cebong atau kampret, biarkan yang menyandang kata cebong atau kampret ya cebong dan kampret itu sendiri, jangan zalimi mereka dalam urusan politik dan jangan seret mereka ke ranah politik mereka sudah tenang di dalamnya masing-masing.

Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Al-Iman Bulus

Komentar Facebook
0