Tiga Alasan yang Mendorong Manusia dalam Menuntut Ilmu Menurut Imam Ghazali

Foto: sabak/fihri

Imam Ghazali, satu-satunya ulama yang menyandang gelar Hujjatul Islam, pada pendahuluan kitab Bidayatul Hidayah menjelaskan secara detail tentang beberapa alasan dan motivasi manusia dalam menuntut ilmu. 


Sebab kita memakai kerangka Imam Ghazali, maka yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu fardu ain (ilmu agama), bukan ilmu yang bersifat fardu kifayah, seperti ilmu kedokteran, biologi, fisika, dan semisalnya.
Setidak-tidaknya, ada tiga motivasi yang mendorong manusia bergerak untuk menuntut ilmu .

Pertama, orang yang menuntut ilmu agar dapat menopang kehidupan di dunia, seperti mencari gelar, kekuasaan, menumpuk kekayaan dan lain-lain.

Jenis ini, menurut imam Ghazali adalah khathirin, orang yang ceroboh. Guru saya mengartikan dengan orang yang tidak sadar sedang mencelakakan dirinya sendiri. Grusa-grusu.
Baca Juga 

Orang ceroboh disebabkan ia tidak menyadari hal-hal buruk yang akan terjadi di masa mendatang. Biasanya ia melakukan sesuatu tanpa pertimbangan.

Jadi begini misalnya, biar jadi sederhana.

Ketika seseorang pergi ke pesantren untuk belajar agama dengan tujuan menjadi kiai, punya pesantren bahkan punya santri banyak. Kemudian setelah berhasil dan lulus di pesantren, lalu ia pulang ke kampung halaman, eh ternyata ia tidak jadi kiai, tidak punya pesantren dan apalagi santri banyak.

Baca juga:  Karomah Kiai yang Berujung Perbaikan Gizi bagi Santri

Alhasil, ia akan merasa kecewa, dengan dirinya sendiri, dengan pesantrennya, dan naudzubillah dengan guru-gurunya.

“Mondok sudah lama kok begini-begini aja, tidak ada yang mau belajar kepada saya. Ini gara-gara sistem pesantren, gara-gara pesantren dan kiai-kiai saya dulu kurang memperhatikan nasib alumni.”

Ini bukan persoalan ilmu, pesantren, dan guru. Namun ini persoalan salahnya niat di awal ia menuntut ilmu.

Kedua, orang menuntut ilmu tapi niatnya sudah dikuasai oleh setan. Orang seperti ini menganggap bahwa ilmu semata-mata untuk mencari popularitas, menumpuk harta kekayaan, dan memperluas jaringan pengikut (kasratul atba’).

Jenis kedua ini memandang bahwa ilmu semata-mata adalah komoditas yang bisa dipergunakan untuk memuaskan ego semata.

Baca Juga

Biasanya, ini penyakitnya orang-orang besar yang sudah diakui secara keilmuannya. Imam Ghazali selanjutnya menjelaskan bahwa tipe kedua ini sudah tidak menyadari bahwa ia sudah tertipu, sehingga ia merasa sudah melakukan hal yang baik, padahal sebaliknya.

Ia sudah lupa, masih menurut Imam Ghazali, adanya hadis Nabi Muhammad “Selain Dajjal, ada sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap kalian.”

Baca juga:  Cara Melestarikan Haji yang Mabrur

“Apa itu Ya Rasulallah?.” Tanya para sahabat.

“Ulama gendeng.” (ulama su’)

Ulama-ulama, sekaligus ubaru-ubaru gendeng ini mudah ditemukan di sekitar kita, kalau mau buka Youtube, ciri-cirinya mudah saja. Jika acara ceramah berdurasi 60 menit, 10 menit pertama adem, sejuk dan menentramkan hati, tapi lebih dari 10 menit mulai ngomongin jeleknya orang lain hingga berbusa-busa, suaranya dihabiskan untuk berteriak hingga serak. Kalau bicara bahu dan bibirnya sampai bergetar sebab emosional.

Misalnya sampai berbicara di depan jamaah yang jumlahnya sak-ulaaaika “TAI, BANGSAT, MUNAFIK, KAFIR, LAKNAT, IBLIS, JAHANAM.” (sengaja pake huruf kapital ya, biar tampak serem.)

Saya jadi ingat salah satu kitab syarahnya Alhikam yang mengatakan bahwa “Orang buruk itu selalu berkata buruk, kalau orang baik pasti bicaranya baik. Manusia itu hanya berbicara sesuatu yang ia miliki, jika ia berbicara buruk berarti dia memang mempunyai keburukan itu.” 


Ilmu yang pada dasarnya untuk mencerahkan, justru menyesatkan, bukan hanya ia sendiri, tetapi juga para pengikutnya.

Ketiga, Nah ini kategori ideal, yaitu orang menuntut ilmu, yang niatnya agar bisa menambah bekal kelak di hari kiamat dan tidak ada niat lain selain mencari ridhanya Allah. Orang seperti demikian adalah orang yang beruntung (faizin), kata Imam Ghazali.

Baca juga:  Jadi Ulama itu Berat, Kamu Tidak Akan Kuat, Jadi Ubaru Saja

Orang model begini tidak mudah kecewa, tidak mudah putus asa dan tidak mudah menyerah. Apa pasal?.

Sebab tolok ukur dalam mencari ilmu adalah Allah, bukan selain Allah. Jadi di dalam hatinya yang ada hanya Allah, selain Allah adalah hal yang tidak penting untuk dipikirkan apalagi dijadikan pertimbangan.

Misalnya, orang model pertama ini belajar suatu ilmu, setelah selesai dan berhasil, eh ternyata ilmu yang dimiliki itu tidak berguna secara finansial, mencari kerja dan menghasilkan uang misalnya.

Dalam kondisi seperti demikian, ia tidak akan merasa kecewa dan menyesal mempelajari ilmu tersebut, alih-alih ia akan berprasangka baik kepada Allah, bahwa barangkali Allah sedang mempunyai rencana lain yang lebih baik.

Demikian lah tipologi orang menuntut ilmu dalam perspektif Imam Ghazali di kitab Bidayatul Hidayah. Semoga kita termasuk golongan yang ketiga dan dijauhkan dari golongan pertama dan kedua.

Eh, ngomong-ngomong emang ilmu itu salahnya apa sih? Kok di mana-mana dituntut?


Penulis: Qowim Musthofa, Redaksi.
Baca esai menarik lainnya yang ditulis oleh Qowim Musthofa.
Komentar Facebook
0