Nasib Film The Santri di Tangan Sineas Tersohor Livi Zheng

sumber gambar

Penulis; Qowim Musthofa

Namanya Livi Zheng, perempuan kelahiran Blitar padahal Malang, akhir-akhir ini menjadi trending topic di media sosial.

Usut punya usut, ia haus pengakuan publik tentang prestasi-prestasi yang sebenarnya tidak pernah ia capai, seperti salah satu filmnya berjudul Brush With Danger mempu menembus Hollywood, diikursertakan dalam festival film internasional, bahkan masuk nominasi oscar.

Waw. Prestasi yang membanggakan dong bagi bangsa Indonesia.

Banyak youtuber yang sudah berkomentar tentang klaim-klaim yang dikatakan oleh Livi sendiri, dari semua komentar itu tak ada satu pun, iya tak ada satu pun yang memuji film-film yang kebetulan ia menjadi sutradara, pemeran utama, produser dan pokoknya banyak dia sendiri lah.

Saya tidak akan merangkumnya di sini, tapi saya cuma memberi saran saja, bahwa di antara komentar-komentar yang bertebaran di yutub, satu yang paling ringkas, padat, dan tentunya pedas. Yakni dari tirto.id

Komentar lima menit itu sudah mencakup semua kritikan-kritikan atas klaim sekaligus membuka blak-blakan siapa sebenarnya Livi dan bagaimana ia bisa gila eksistensi.

***

Kira-kira satu bulan lagi, bertepatan hari santri dan sekaligus hari ulang tahun sabak.or.id yang pertama, akan dirilis film The Santri.

Kalau dilihat sekilas dari sop-ilernya sepertinya mengangkat keanekaragaman di Indonesia yang dipoles dengan genre action.

Dan tentunya, yang paling ingin ditekankan adalah mengenalkan Islam rahmatan lil alamin a la a la Nusantara.

Siapa yang menggarap film tersebut?

Yhaaa. Betul. Livi Zheng, senias tersohor yang katanya karyanya menembus Hollywood dan masuk nominasi oscar.

Di dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa kenapa kenapa harus Livi Zheng? Melihat Kiai Said Aqil Siraj berbicara sambil membanggakan Livi bilang di depan kamera tentang prestasi-prestasi yang diraih, yang ternyata ketahuan bodongnya.

Husnuzan saya, barangkali PBNU tidak melakukan cek ricek terlebih dahulu kepada Livi, tentang sepak terjang dengan klaim-klaimnya tersebut.

Memang, yang mengendors Livi ini orang-orang berpengaruh di Indonesia, sebut saja Luhut, Kapolri, mantan wakil presiden Jusuf Kalla, dan Khofifah.

Mungkin dari koneksi Livi di pemerintahan tersebut menjadikan pihak PBNU juga husnuzan kepada Livi.

Saya takut, lebih tepatnya khawatir tentang hasil garapan film The Santri ini sebulan lagi, akan membawa dampak buruk terhadap nama besar PBNU. Setidaknya ada tiga hal yang saya khawatirkan.

Pertama tentang adegan-adegan yang saya lihat di trailler. Misalnya adegan bawa tumpeng ke gereja. Ini ni, sepertinya Livi tidak tahu, isu-isu toleransi beragama di negara kita ini masih belum bisa menerima hal-hal yang bersifat demikian.

Hambok cari adegan yang lain, menjaga parkir ketika acara gereja kek, gotong royong ikut membantu kebersihan rumah ibadah agama lain, kerja sama di bidang apa kek. Pokoknya yang normal-normal dan rasional aja deh.

Hal ini akan membuat orang-orang yang memang tidak suka sama NU menjadi semakin tidak suka, dan yang aslinya NU garis lucu akan hijrah menjadi NU garis lurus.

Yhaaa, meskipun NU itu tidak butuh pengakuan dan eksistensi, dan kebetulan dari dulu banyak musuhnya, tapi kan ya setidaknya bisa menjaga marwah dan martabatnya sendiri.

Kedua, adegan santri putra dan putri. Saya sempet ketawa aja, dan berkali-kali terbahak-bahak. Ada adegan segerombolan santri putra-putri berangkat ngaji, bareeeeng dan serempak rame-rame semuanya pakai sandal teklek.

Adalagi adegan, tokoh utamanya yang sering disebut Gus Azmi dan putrinya Ustaz YM itu ketika di hutan, ketemuan, nganter kepergian sepertinya ke Amerika ya, ngasih buku dan tasbih, dan anehnya lagi … aneh bagi saya yang menjadi santri sudah belasan tahun.

Pakai kuda, yaaa pakai kuda. Dan itu kuda beneran. Bukan mobil merk Kuda.

Kekhawatiran saya pada poin ini adalah, banyaknya santri yang merasa tidak bisa diwakili oleh film ini, alih-alih bangga, para santri akan merasa bahwa film yang akan rilis ini justru menjadi momok bagi santri itu sendiri.

Ketiga. Ada satu adegang pemilihan santri untuk bekerja di Amerika. 

Kenapa Amerika? dan menjadi pekerja, bukan pelajar. Meski kita belum tahu konteks bekerja di Amerika itu di bidang apa dan bagaimana di film tersebut, tapi kita cukup memahami dengan kata kunci “Bekerja di Amerika” 

Rasa-rasanya, selama saya menjadi santri tidak pernah ada cita-cita bekerja di Amerika atau di luar negeri manapun, tapi kalau belajar misalnya kuliah gitu, bukan hanya saya, banyak santri yang saya temui punya cita-cita belajar ke luar negeri.

Intinya adalah belajar, bukan bekerja. Sebab santri itu dididik bagaimana menjadi pembelajar bukan menjadi pekerja. Sebab pekerjaan itu nomor sekian, pertama adalah belaja.

Kita pastinya familiar dong dengan dawuhnya Sayyid Maliki “Ma zilta thaliban” (ora gingsir-gingsir sopo siro, iku thaliban wong kang nuprih “ngilmu”) – tetaplah kamu menjadi santri (di manapun kapanpun)

Jadi, santri itu sebuah jiwa, tingkah laku dan karakter, bukan sekedar label yang bisa kita pakai dan tanggalkan semau kita.

Ya itu lah tiga kekhawatiran saya terkait film The Santri. Meskipun belum ada yang tahu secara full film tersebut, kita berdoa aja, semoga garapan Livi ini secara kualitas tidak sama dengan film-film sebelumnya yang ia garap.

Baca juga:  Pendulum Arus Baru Islam Indonesia Pasca 212

Masa iya, ide dan isi dari film itu tidak bisa mewakili banyak santri, eee garapannya juga tidak seapik Gundala. Kan sayang… ini namanya sudah jatuh ketiban nongko, ya Allah… bongko.

Semoga Livi yang sekarang tidak seperti Livi yang dulu, anggap saja film-film Livi itu sarana latihan dia untuk mengasah kemampuannya di bidang film. 

Nah ketika dia garap The Santri ini, ia sudah bisa menanding Robert Zemeckis, Joss Wedhon dan Ron Howard yang jadi satu almamater sama Livi di salah satu kampus ternama bidang perfilman di USA.

Komentar Facebook
0