Sebagai Santri, Haruskah Bersikap atas Sahnya RUU Pesantren?


Oleh; Ade Chariri

Sebelumnya, aku sendiri bukan ahli dalam Hukum Tata Negara dan derivasinya, hanya saja punya banyak teman ngopi tentang hal itu. Namun dalam tulisan ini, aku posisikan diri sebagai “seorang pembaca” —yang pernah nyantri.

Tok!! 24 September 2019 menjadi salah satu hari bersejarah bagi santri—juga kiai—yang menjadi satu kesatuan dari sebuah adanya Pesantren, yaitu disahkannya RUU Pesantren menjadi UU Pesantren oleh DPR RI. 


Pengesahan tersebut berkelindan dengan polemik RUU KUHP, RUU KPK, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Pertahanan yang juga ingin disahkan anggota dewan menjelang masa jabatan mereka, namun Presiden belum menekennya. 

Hanya saja, RUU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, dan ini salah satu penyebab meluasnya demo mahasiswa di berbagai daerah.

Dari banyak pihak, banyak yang merasa; kok bisa ya di akhir jabatan, pemerintah dan wakil rakyat bisa seirama berdansa bersama “menjawab” tuntutan-demo atas beragam RUU yang—katanya—polemik itu. 


Dan satu hal yang sedikit luput dari publik adalah; sahnya RUU Pesantren.

Selanjutnya, perihal UU Pesantren. Dalam Naskah Akademiknya, disebutkan bahwa dasar logisnya ialah; upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tanggung jawab nasional, sebagaimana dalam UUD 1945, dan setiap manusia membutuhkan kebutuhan spiritual, berdialog dengan Tuhan YME. 


Sedangkan dasar hukumnya ialah UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Baca juga:  Dua Sejoli Santri Ndalem

Dari dua dasar di atas, lembaga pesantren menjadi satu jawabannya, hingga RUU Pesantren akhirya disahkan saat injury time kepengurusan anggota dewan dan pemerintahan pusat, dengan berbagai dinamika tentunya. 


Dinamika RUU Pesantren ini sendiri agaknya muncul secara “dingin”, paling tidak adanya surat dari pihak PP Muhamadiyah ditemani 9 ormas lainnya, meminta untuk menunda pengesahan RUU Pesantren ini, karena dua hal; belum mengakomodir aspirasi ormas Islam dan mengusulkan untuk dimasukkan dalam revisi UU nomor 20 tahun 2003.

Dari sepinya dinamika di ranah publik secara luas, muncul satu pertanyaan, adalah; sebagai santri, apa iya kita harus bersikap atas adanya UU Pesantren ini? Padahal kalau menyoal tentang UU dan sebagainya, bisa jadi banyak santri yang tidak mengerti babagan demikian, atau bahkan tidak mau mengerti sama sekali. 


Pokoknya, inginnya hanya ngaji, ngabdi, ngopi, terus happy. Meskipun di hari ini, sudah banyak santri yang “melek hukum”, yang demikian itu biasanya adalah santri-mahasiswa.

Baik, dari narasi tersebut, paling tidak, sikap kita adalah sebagai berikut;

Baca juga:  Sayyidina Umar: Prototype Penafsir Alquran Secara Kontekstual

1. Mensyukurinya

Poin pertama ini, layak untuk diikuti oleh banyak kalangan yang fokus pada dunia pendidikan, terlebih pendidikan keagamaan, lebih lagi pesantren yang “mendaku” sebagai pesantrennya Nahdliyyin. 


Baik itu pesantren salaf (tradisional), khalaf (modern) dan gabungan—sesuai dengan pasal 11 ayat 2—, sebab atas adanya UU Pesantren ini, pesantren menjadi semakin maju, baik secara keilmuan maupun teknis administrasi. 

Selain itu, ijazah lulusan pesantren akan setara dengan ijazah lembaga formal, dan juga perkara dana abadi pesantren. Serta hal-hal lain dalam UU Pesantren yang patut untuk disyukuri dengan alhamdulillah.

2. Meresahkannya

Kedua, menurutku kita perlu gelisah dan resah, jika suatu saat, mendirikan sebuah pesantren sama sulitnya dengan mendirikan sebuah LSM—misalnya—atau PMII Cabang Bantul (curhat). 


Atau dalam hal lain, sulitnya proses penyetaraan ijzazah dengan lembaga formal. Yang aku maksud sulit di sini ialah perihal administratif. 

Sebab, ketika sebuah lembaga telah ter-UU, artinya, ada hal-hal administratif yang harus dipenuhi untuk melegetimasinya pada tataran payung hukum. 

Pada umumnya dunia pesantren, khususnya salaf, tidak mau terlalu “terhegemoni” oleh hal-hal yang administratif, terlebih yang datang dari sebuah “tuntutan pihak luar” pesantren. Meski demikian, akhirnya kaum santri dipaksa untuk lebih disipilin administrasi, khususnya pihak pengurus pesantren. 

Sebagai contoh, ketika menyoal proses penyetaraan ijazah pesantren dengan lembaga formal. Bisa jadi, tidak semua pesantren yang terdaftar melalui RMI misalnya, bisa mendapatkan hak pengakuan setara, atau dengan kata lain, hanya pesantren-pesantren tertentu. Dan pada umumnya hal demikian itu karena proses administrasi.

Baca juga:  Peran Sayyidah Aisyah ra. dalam Memerangi Paham Misoginis

3. Mengabaikannya

Nah, nomor tiga ini khusus untuk kaum yang benar-benar muak dan abai. Kemuakan tersebut bisa hadir karena beberapa hal; pertama, muak dengan carut-marutnya perihal hukum negara secara umum, hingga berimplikasi pada hal-hal yang meski banyak disyukuri oleh banyak pihak, namun tetap saja ada yang abai, seperti UU Pesantren ini. 


Itu wajar. Kedua, kaum yang abai karena memang tidak passionnya dalam kepesantrenan, atau secara luas dalam dunia pendidikan keagamaan. Itu juga wajar.

Ketiga sikap di atas merupakan hasil pembacaan konyol penulis atas adanya UU Pesantren. Selanjutnya, sikap-sikap yang lain tentu ada, bahkan banyak. 


Yang jelas, di era post-truth ini jangan jadi orang kagetan. Paling tidak begitu poin dari salah satu dawuh Mbah Musthofa Bisri. Sekian.

Komentar Facebook
0