Maulid Nabi: Kami Hanyalah Orang Yang Mengharapkan Syafaatmu Kelak Di Hari Kiamat

Acara pembacaan Maulid Simtud Duror di Pesantren An Nur Ngrukem Bantul Yogyakarta 18/11/18. FOTO: Niam
Perenungan adalah suatu hal yang mewah untuk dijalani, tak semua orang mendapatkan kesempatan untuk itu. Tahu-tahu tiba-tiba waktu sudah menjadi tua, tahu-tahu sudah tak bisa menikmati masa muda, tahu-tahu ajal sudah menjemput. 


Sudah menjadi hal yang lazim bahwa mengevaluasi diri merupakan salah satu proses untuk melangkah maju ke depan. Kata teman saya, menjadi seperti anak panah yang mundur ke belakang untuk maju melewati busur dan tepat ke satu titik fokus sasaran. 


Namun, sayangnya banyak orang yang menyangka mundur untuk perenungan evaluasi hanya menghabiskan waktu. Kontempelasi merupakan sebuah hal naif yang, bila dilakukan hanya akan mencari kebodohan kita sendiri.

Menganggap bahwa apa yang kita lakukan sudah sepatutnya benar. Menyanjung diri sendiri menaikkan jumawa sampai ke angkasa, tanpa melihat bumi mana yang sedang kita pijak, sama saja bunuh diri. 


Padahal yang diperlukan untuk maju adalah membunuh kekurangan dan kesombongan, sikap jumawa yang merasa istimewa daripada yang lain.

Baca juga:  Karomah Kiai yang Berujung Perbaikan Gizi bagi Santri

Cara kita beribadah bisa menjadi salah satu hal yang harus menjadi titik evaluasi perenungan yang selayaknya dilakukan setiap hamba manapun. 


Apakah kemudian karena sudah melaksanakan perintahNya itu memberi arti kita akan mendapatkan surga?

Apakah karena sudah menghindari laranganNya otomatis kita juga terhindar dari Neraka?

Dalam banyak khazanah, hak surga-neraka mutlak kehendak Allah swt. Melaksanakan berbagai amalan ibadah bisa lebur seketika dengan adanya sifat riya (pamer). 


Bahkan dalam Nashaih al-Ibad diceritakan bahwa pribadi sekelas Imam Ghazali, hanya dihitung melalui perbuatan ikhlasnya saat memberikan minum seekor serangga dari tinta yang digunakannya untuk menulis.

Sekelas Sayidina Umar saja konon amalannya bermula dari kisahnya yang berkenan membebaskan burung emprit yang sedang dijadikan main-main oleh seorang anak kecil sehingga burung tersebut tersakiti.

Lha kalau Imam Ghazali yang merupakan rektor Nidzamiyah, dengan prestasinya yang banyak menularkan literatur keilmuan Islam yang sampai sekarang masih banyak dikaji. Dan sosok Sayyidina Umar yang tak perlu ditanya, bagaimana pembelaannya terhadap Nabi saw. Saat masa awal Islam. Dakwah perluasan wilayah hingga mencapai Romawi dan Persia.

Baca juga:  Tiga Alasan yang Mendorong Manusia dalam Menuntut Ilmu Menurut Imam Ghazali

Sedangkan kita?
Apa yang menjadi prestasi kita selama ini?
Menulis satu pakem keilmuan Islam?
Sudahkah?
Berdakwah sekuat tenaga, pikiran, harta, jiwa?
Sudahkah?

Akui saja, bahwa hamba-hamba seperti kita ini sama sekali tidak pantas untuk berlaku menjadi ‘satu-satu’-nya yang pantas untuk mendapatkan hak istimewa merasakan surga. Kita ini hanyalah satu dari sekian milyar hamba Allah yang pernah mendiami bumi. Kita tidak hebat-hebat amat sampai kemudian merasa pantas untuk disejajarkan dengan nama al-Ghazali dan Umar al-Faruq.

Maka sudah selayaknya kita itu merenungkan, siapa saya? apa yang seharusnya saya lakukan? Apa kontribusi yang pernah saya lakukan untuk masyarakat?

Dan ujung dari semua perenungan itu, akhirnya kita sadar bahwa kita hanyalah orang yang mengharapkan Syafaat pertolongan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyadari bahwa semua ibadah kepada Allah yang kita lakukan hanyalah menguap tak tersisa akibat ujub dan riya yang tak kita sadari sendiri. 


Dan kita tahu, bahwa hanya salawat kepada kanjeng Nabi shallallahu alaihi wasallam merupakan satu-satunya –the only one– yang tak terhapus karena sifat ujub dan riya (pamer).

Baca juga:  Jadi Ulama itu Berat, Kamu Tidak Akan Kuat, Jadi Ubaru Saja

1400 tahun yang lalu, jarak yang terlampau jauh untuk dapat meniru segala apa yang beliau kerjakan. Hanyalah syair pujian yang dapat kita haturkan kepadanya. Bisikan kerinduan yang tak pernah terpejam untuk sedikit berharap pantas mendapatkan syafaatnya.

Dari berbagai baju identitas yang membelenggu kami, yang saling menjauhkan antara satu sama lain sesama kami. Maafkan kami yang saling menghujat ke sana ke mari. Perkenankan kami semua, di bulan lahirmu ini untuk menghaturkan kerinduan kami.

Rindu kami padamu ya Rasul.
Rindu tiada bertepi.
Berabad jarak darimu ya rasul.
Serasa engkau di sini.

Terimalah kami dalam duduk simpuh, tak berdaya dalam kepongahan kami sendiri, yang mengaku sebagai bagian dari umatmu.


Penulis: Mujib Romadlon, Redaksi
Baca tulisan menarik lainnya yang ditulis oleh Mujib Romadlon.
Komentar Facebook
0