Ngaji Gus Rum: Makan Memakai Piring Non Muslim, Halalkah?

FOTO: sabak/niam

Penulis: Mujib Romadlon

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sehingga keseharian kita banyak dijumpai interaksi dengan sesama muslim. Namun, tak bisa dipungkiri pula bahwa keseharian kita juga akan menjumpai interaksi terhadap penganut agama lain. Di satu sisi, kita sebagai muslim diwajibkan untuk berusaha melaksanakan aturan-aturan syariat Islam, di sisi lain kita juga harus melaksanakan toleransi antar umat beragama, sebagai implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Seperti ketika kita mendapatkan undangan jamuan makan dari kawan non-muslim. 


Atau bagaimana sikap kita apabila ada tetangga non-muslim yang memberikan makanan kepada kita?

Di satu sisi, kita harus menjaga halal-haram makanan/minuman yang datang ke tubuh kita. Di sisi lain mereka adalah kawan yang akrab. Buktinya mereka berkenan untuk berbagi makanan dengan kita. 


Entah dengan cara mengundang anda pada sebuah acara jamuan. Atau dengan memberikan sebagian makanan mereka kepada anda.

Dalam aturan pun sudah jelas, bahwa kita tidak boleh memperlakukan seorang kawan non-muslim secara antagonistik. Seolah mereka ingin menjerumuskan dan menjebak supaya kita tidak menaati aturan agama kita sendiri. Dan dalam konteks masyarakat yang sudah begitu terbuka akan informasi. Rasanya janggal sekali apabila di era digital ini, masih ada orang yang tak tahu bila Islam melarang babi dan anjing untuk di makan.

Baca juga:  Ngaji Gus Rum: Menyamak Kulit Bangkai

Nah, Ngaji kitab bulughul maram episode kali ini menceritakan hukum tersebut:

Bagaimana sikap seorang muslim terhadap alat dan perabotan bejana yang dimiliki oleh orang non-muslim?

Hal ini bisa saja terjadi, barangkali dikhawatirkan kalau-kalau kawan non muslim itu pernah memasak dan memakan bahan makanan yang termasuk najis, melalui perantara bejana/wadah yang mereka miliki.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perkenalkan dulu periwayat hadis kali ini.

Namanya adalah Abu Tsa’labah al-Khisani. nisbahnya kepada Khusyain ibn al-Namir dari kabilah Qudha’ah. Nama aslinya adalah Jartsum ibn Nasyir. 


Beliau turut menyertai Bai’at Ridhwan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam beliau juga turut serta dalam perang Hunain dan Rasulullah telah menetapkan harta perang untuknya ketika perang Khaibar. 

Sahabat Abu Tsa’labah ini meriwayatkan sebanyak 40 hadis. Ia meninggal dunia pada tahun 75 Hijriah ketika sedang sujud dalam salatnya.

Hadisnya berbunyi:

Dari Abi Tsa’labah al-Khusyani ra. berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tinggal di tengah-tengah ahli kitab, bolehkah kami makan dengan menggunakan bejana mereka?.” 


Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjawab “Janganlah makan dengannya kecuali jika tidak ada yang lainnya. Maka cucilah dahulu dan makanlah.” 

Hadis tersebut membolehkan kita untuk menggunakan wadah mereka sesudah mencucinya terlebih dahulu dengan air, agar kita lebih yakin akan kesuciannya.

Baca juga:  Ngaji Gus Rum; Meskipun Bangkai, Kulit Binatang Bisa Disucikan Dengan Disamak

Faktor latar belakang hadis ini ialah ruang-lingkup sahabat Abi Tsa’labah al-Khusyani yang hidup bertetangga di komunitas Ahli kitab dengan tradisi berburu menggunakan anjing. 


Sehingga muncul dugaan, bahwa kebanyakan alat/perabotan makan mereka adalah najis. Sebab mereka para ahli kitab sepertinya tidak membahas secara mendetail terkait permasalahan cara bersuci dari najis. (HR. Bukhari No. 5488).

Jadi hadis tersebut diasumsikan muncul adanya praduga, ‘Jangan-jangan piring ini pernah terkena terkena anjing atau babi’, Atau mungkin diasumsikan pernah menjadi tempat daging bangkai hewan yang tidak disembelih sesuai dengan syariat.


Hukumnya pun bukan najis berat (mughaladah) tapi hanya sedang (mutawasithah), jadi najisnya pun akan hilang saat piring-piring itu dicuci biasa dengan diguyur menggunakan air.

Namun perlu dipahami pula, sebuah status hukum itu harus didasarkan pada sesuatu yang nyata, tidak cukup hanya dengan praduga. 


Kalau kita pernah melihat secara langsung non-muslim mengatakan bahwa piring itu pernah dipakai untuk wadah anjing atau babi, barulah saat itu status hukumnya menjadi pasti. 

Dan pada saat itulah, kita diharamkan menggunakan piring itu sebelum kita sucikan sesuai syariah.

Namun bila kita hanya menyangka dan menduga-duga, dan si pemilik piring pun tidak secara jelas terbukti bahwa piring itu pernah terkena anjing atau babi, maka status hukum piring itu masih sesuai asalnya, yaitu tidak najis. 


Atau minimal sesuai dengan keadaan fisik yang anda lihat, bersih dan suci.

Baca juga:  Jangan Memahami Hadis Secara Sepotong: Ketahuilah Keseluruhan Konteksnya

Dari hadis tersebut kita diberikan sebuah petunjuk untuk preventif (ihtiyath) alias untuk berlaku hati-hati, jangan-jangan ada najisnya. Karena konteks hadis tersebut muncul dari lingkungan sahabat Abu Tsa’labah yang dimungkinkan adanya najis. 


Maka baiknya, jika bisa guyurlah wadah tersebut dengan air terlebih dahulu. Siramlah piring tersebut dengan air, lalu gunakan sebagai tempat makanan.

Namun, bila tidak dapat dilakukan itu juga tak mengapa. Karena secara lahiriyah piring itu suci, maka hukumnya tetap suci.


Seandainya tanpa disadari ternyata piring/wadah makanan tersebut najis, insya Allah kita terbebas dari dosa. Kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban Allah atas segala hal yang di luar kuasa kita.

Penulis menambahkan, nahnu nahkumu bi al-dzhawahir wallahu yatawallas-sarair. Kita hanya bisa menetapkan hukum berdasarkan hal yang nyata (lahiriyah), sedangkan yang tersembunyi biarkan menjadi urusan Allah semata.

Baca Esai menarik lainnya yang ditulis oleh MUJIB ROMADLON atau Baca juga Kumpulan Tulisan Ngaji Gus Rum.

Komentar Facebook
0