Ngaji Hadis Bersama Gus Rum; Larangan menggunakan Perabotan dari Emas dan Perak

Ngaji Hadis Malam Sabtu di Pendopo Parasamia Bantul oleh Gus Rum (03/11/2018) FOTO: sabak/niam 

Pada saban hari Ahad sabak.or.id secara khusus Insyaallah akan menuliskan rangkuman ngaji Bulughul Maram karya Ibn Hajar al-‘Asqalani yang diampu oleh Gus Rumaizijat yang rutin bertempat di Masjid Agung Manunggal Bantul. 


Pada kesempatan ini (03/11/2018) pembahasan sudah sampai pada bab hadis Larangan makan-minum menggunakan perabotan yang terbuat dari emas dan perak.

Mungkin praktik ini sulit ditemukan pada era sekarang, di mana hanya untuk sekedar makan minum saja harus menggunakan peralatan dari emas dan perak. Namun jika kita kembalikan pada sejarah masa lalu, makan-minum dengan cara ini biasa dilakukan oleh kaum elit bangsawan atau anggota kerajaan pada masa itu.

Buktinya, bahkan di Indonesia sendiri, harta karun artefak emas-perak pernah ditemukan di daerah Plosokuning, Wonoboyo, Klaten. Atau yang biasa disebut dengan “temuan wonoboyo”. Perkiraan harta karun tersebut berasal dari abad 9 M era kerajaan Medang (Mataram Kuno). Harta karun tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dan kebanyakan berjenis perabotan rumah tangga yang terbuat dari emas dan perak.

Secara jelas hadis Nabi saw. Melarang pemakaian perabotan emas dan perak untuk kebutuhan makan-minum. Sumber hadis ini berurutan sambung sampai pada Sahabat Hudzaifah bin Yaman. Seorang sahabat Nabi yang juga mendapat sebutan Pemegang Rahasia Rasul.

Baca juga:  Ngaji Gus Rum: Makan Memakai Piring Non Muslim, Halalkah?

Mengapa beliau mendapatkan gelar tersebut? Karena Hudzaifah selalu dapat menjadi andalan Rasulullah saw. dalam menjaga rahasia pribadi. Beliau tahu siapa saja dari golongan sahabat yang masuk daftar sebagai orang munafik, dan tak memberitakan hal tersebut sedikitpun pada orang lain. Ditambah beliau juga seorang intelijen yang handal.

Pernah suatu kali pada perang Ahzab atau Khandaq dengan kondisi yang tidak menguntungkan (angin yang kencang dan cuaca yang dingin), Rasulullah memerintahkan Hudzaifah untuk operasi telik sandi menyusup ke dalam musuh. Kala itu musuhnya adalah kafir Quraish ditambah sekutu mereka, yakni Yahudi Bani Nadzir dan Quraidzah.

Pada operasi tersebut sebenarnya Hudzaifah memiliki kesempatan untuk membunuh Abu Sufyan, namun hal itu urung dilakukan. Selain karena dapat mengungkap operasi intelijennya. Hal ini juga melawan perintah Nabi saw yang hanya menyuruhnya untuk mencari informasi terkait sejauh mana jumlah dan persiapan perang dari pihak musuh yang telah berhasil mengepung Madinah. Singkatnya perang pengepungan yang berlangsung kurang lebih 1 bulan itu dimenangkan oleh pihak Kaum Muslimin.

Larangan Hadis Nabi saw. terhadap penggunaan perabotan Emas dan perak dalam makan-minum ini bermula tatkala Hudzaifah berada di sebuah kota, ia yang tengah meminta air minum disuguhi minuman yang disajikan dalam tempat yang terbuat dari perak. Hudzaifah langsung membuangnya kemudian ia berkata:

Baca juga:  Kerendahan Hati Nabi; Menambal Gelas Sendiri Dengan Perak

Sungguh Nabi pernah berkata: Janganlah kalian minum dari gelas emas dan perak, dan janganlah makan dari piring emas dan perak. Sesungguhnya barang-barang itu adalah untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat.

Dari hadis di atas, Ulama sepakat bahwa dilarang makan dan minum dengan menggunakan perabotan yang terbuat dari emas dan perak, bahkan hukumnya haram.

Pemahamannya, jika untuk kebutuhan pokok seperti makan-minum saja dilarang, apalagi menggunakan emas-perak untuk kebutuhan lainnya (sekunder-tersier). Seperti: bejana wadah air wudu, tempat kosmetik, asbak, teko, hiasan dinding, pigura lukisan dll. tetap haram apabila semua itu murni terbuat dari emas dan perak.

Lantas bagaimana kita menyikapi fenomena masjid kubah emas? Seperti yang berada di Depok, Jakarta.

Mayoritas ulama memang melarangnya, namun ada pendapat dari Madzhab Hanafiyah yang membolehkan menghias masjid dengan menggunakan emas atau perak. Salah satu ulama Syafi’iyah yakni Imam al-Bulki juga memperbolehkan melapisi kakbah, masjid, makam para Nabi, atau wali dengan emas dengan alasan sebagai wujud ketakziman umat.

Namun, bila perabotan atau hiasan yang tidak terbuat dari emas dan perak, walaupun harganya lebih mahal daripada emas dan perak. Misalnya dihiasi berlian atau batu mulia merah delima maka tidak terlalu menjadi masalah. Karena hadis tersebut secara konteks hanya melarang penggunaan emas dan perak saja.

Baca juga:  Keharaman Mengkonsumsi Daging Keledai Peliharaan dan Kisah tentang Abu Tholhah

Coba saja kita lihat keberadaan Masjidil Haram di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah. Keduanya dihiasi dengan begitu mewahnya yang pastinya harganya sangat mahal. Kiswah Kakbah juga demikian dihiasi dengan benang emas dan kain sutra. Toh juga tidak kemudian diharamkan secara mutlak-absolut bukan?

Adanya pendapat yang membolehkan menghias masjid dengan emas dan perak (kalangan ulama Hanafiyah dan Imam Bulki) patut kita perhatikan sebagai khazanah pengetahuan agar lebih bersikap bijaksana terhadap fenomena keragaman di sekitar kita.

Tidak serta-merta hanya karena berbeda terhadap isi dari kandungan hadis. Lantas kita terburu-buru menganggap bahwa setiap orang yang melaksanakan salat di masjid kubah emas, otomatis berdosa dan masuk neraka, karena semua salatnya tidak diterima Allah swt.

Lho memangnya kita siapa, kok menganggap bahwa ibadah kita lebih baik daripada ibadah mereka?

Hal yang tidak boleh adalah: masjidnya sudah dihias sedemikian rupa dengan sebegitu mewahnya -Agar nyaman dan nikmat untuk ibadah-. Namun kita sendiri, bahkan tidak pernah meletakkan sandal kita di halaman masjid saat situasi azan tengah berkumandang.

Begitu.

Penulis: Mujib Romadlon, Guru Madrasah Aliyah Al Ma’had An Nur Ngrukem
Komentar Facebook
0