Evolusi Santri Mulai Snouck Hingga Jokowi Administratorrr Esai 23 Oktober 2018 0 5 min read Foto Drama dalam rangka Perayaan Hari Santri Nasional di Lapangan Trirenggo Bantul. Senin/22/10/2018. sabak.or.id/niam SABAK.OR.ID – Indonesia mempunyai segerombolan kaum yang menakutkan, yang disebut santri, cirinya menggunakan peci dan sarung semaunya, bau rokok, dan gudigen. Sudah tahun ketiga, euforia hari santri nasional menggema di seantero Indonesia. Berbagai event banyak terselenggara pada tiap kontingen dan wilayah, hingga perayaan pusat. Event demi event tidak hanya menyuguhkan hal-hal yang biasa dilakukan santri sebagai identitasnya, seperti ngaji, ngabdi dan ngopi. Namun sudah menyentuh pada identitas ideologi. Kalau dulu, identitas santri yang sudah-sudah itu tidak perlu digaungkan, sebab santri belum menjadi trend seperti hari ini. Lain cerita untuk sekarang, santri dan pesantren adalah embrio dan algojo kemenangan bangsa Indonesia atas penjajah melalui resolusi jihad Mbah Hasyim Asy’ari. Sayangnya, hal tersebut tidak tertulis dalam buku-buku sejarah, sejarah dengan begitu empuk dipelintir oleh yang berkepentingan, paling tidak hal itu tertuang dalam pelajaran IPS tingkat sekolah. Era sekarang, di negeri hukum yang semuanya serba diatur dengan undang-undang dan keputusan tertulis, haruslah menjadi tolok ukur untuk melakukan preservasi pesantren, makanya berbagai lobying dan pendekatan terhadap pemerintah dilakukan para pentolan pesantren. Dengan demikian, ketika sudah resmi menjadi sebuah keputusan presiden, artinya, santri resmi menjadi bagian intim dari negara. Hal ini untuk menangkal gerakan radikalis, fundamentalis, sparatis dan lain sebagainya, atau bahkan gerakan muslim kagetan yang inginmengubah ideologi negara. Padahal, pemahaman tentang pesantren sebagai bagian intim dari Indonesia sudah terjadi –paling tidak- sejak jaman Snouck Hurgronje (1857-1936). Saat Snouck melakukan riset tentang Islam di Indonesia, hingga konon hafal kitab-kitab otoritatif, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Alfiyah Ibn Malik dan lainnya. Ia menemukan satu ciri dari Indonesia yang diwakili oleh pesantren dan kaum santri. Ia menyatakan bahwa di Indonesia ada segerombolan kaum yang menakutkan yang disebut santri, cirinya menggunakan peci dan sarung semaunya, bau rokok, dan gudigen (penyakit kulit khas pesantren). Image itulah yang dulu terkonstruk sebagai identitas santri, yang (sebenarnya) bertahan hingga era modern, sebelum masuk era millenial seperti sekarang. Paling tidak yang aku alami sendiri yang sejak kecil sudah nyantri mondok-mondokan. Lebih lanjut, Clifford Geertz (1926-2006) juga memasukkan santri dalam kamus risetnya, trikotomi; abangan, santri dan priyayi. Santri ditempatkan dalam kelas sosial pemegang otoritas keagamaan sebagai manifestasi moral negara. Dari sini, ada semacam kenaikan kelas, image santri dari Snouck ke Geertz. Esensinya, sejak dulu santri sudah menjadi bagian integral dari Indonesia, mulai dari sudut keagamaan, sosial budaya, hingga ekonomi. Maka, tidak heran sebenarnya bagaimana pengakuan terhadap santri di hari ini sangat prestis, karena sejarah sebenarnya sudah bercerita. Meskpiun di jaman Snouck dan Geertz, belum ada hari santri nasional, namun santri sudah menjelma sebagai ruh pemikiran Indonesia. Di era millenial ini, image santri sudah bukan lagi hanya bisa ngaji dan ngabdi, sudah banyak santri yang tidak gudigen selama mondok, pake peci dan sarung yang bener dan mahal, juga tidak bau rokok. Namun, santri millenial hari ini banyak menjadikan kompetisi menjadi kolaborasi, hingga bermunculan banyak identitas baru bagi santri. Seperti dalam dunia maya ada santriseleb, santrikeren, santripreneur, santrikece, dan sebagainya. Pun santri yang melek digital, melek literasi, melek media, melek sastra, melek budaya, melek konteks, sampai santri melek terus; ngopi. Bahkan, santri era sekarang sudah ada yang sekelas Kiai, seperti memakai sarung kelas wahid; BHS, kokonya Alfath, pecinya Awing, rokoknya Amild. Terlepas itu, santri berevolusi dengan sangat santun dan teduh sejak dulu hingga sekarang. Maka, tidak heran jika Martin van Bruinessen mengatakan bahwa “salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan lemabaga-lembaga serupa di luar Jawa serta Semenanjung Malaya” (Bruinessen, 2012). Penulis: Ade Chariri, Mahasiswa Hermeneutika Alquran Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Baca esai menarik lainnya yang ditulis oleh Ade Chariri Komentar Facebook 0Baca juga: Teladan Santri untuk Seorang Pemimpin